▪︎▪︎Belve Princiella Pov▪︎▪︎
Herodotus castle, 10 AM.
"Bangunlah. Sudah berapa lama kau tertidur," aku mendengar seseorang berbisik padaku. Suara–nya samar-samar, tapi terasa begitu menusuk.
Aku sangat ingin membuka mataku, untuk melihat pemilik suara itu. Kemudian, aku membuka mulutku, mengambil nafas dalam karena bibirku terasa kering. Namun sebuah benda hangat justru menyambutku, jadi, aku refleks menutupnya kembali. Tapi benda itu memaksa untuk masuk, bersama dengan cairan kental yang terasa di lidahku. Rasanya getir, seperti buah yang belum matang. Bau amis yang perlahan terasa, membuatku ingin muntah.
Heuungghh.
Lenguhku, sembari berusaha membuka mataku yang terasa begitu berat. Sebenarnya.... aku takut membuka mataku, tidak siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi saat aku bangun. Mataku sudah terbuka sempurna, tapi semua yang aku lihat masih buram. Aku hanya bisa melihat langit-langit ruangan yang tinggi. Lampu-lampu teratur dengan sempurna, membuat cahaya tidak terlalu mencolok penglihatanku. Mungkinkah ini di rumah sakit?.
Tunggu sebentar.... apa ini surga? Seingatku aku mati karena tenggelam. Ternyata mati tidak seburuk yang aku kira. Kalau tau begini, lebih baik aku mati dari dulu saja, agar hidupku yang menyedihkan segera berakhir. Tapi, aku merasa ada yang aneh. Sebentar, biar aku ingat-ingat lagi....
Boy menyuruhku memetik apel yang berada di dekat sungai, lalu aku didorong seseorang hingga mati? Tidak tidak. Sepertinya tidak sesingkat itu kejadianya, kurasa ada kelanjutannya, setelah aku terseret sungai. Aku...... oh! Ternyata aku berhasil naik ke daratan, lalu aku.... aku? Apa yang terjadi padaku setelah itu, ya?.
"Tidak ada apapun yang terjadi padamu," aku langsung mengalihkan pandanganku, mencari pemilik suara itu.
Ternyata, disampingku ada siluet seorang pria yang tengah duduk. Aku belum sempat melihat wajahnya, tapi karena panik aku segera memalingkan wajahku. Kemudian segera bangun dari tempat tidur, dan berusaha duduk. Tapi, kepala–ku jadi sakit, karena bergerak secara tiba-tiba seperti tadi. Apalagi karena kepala–ku masih terbalut perban, dan terasa sedikit perih.
"Akhirnya kau bangun," aku terdiam ketika lelaki ini memelukku tiba-tiba. Dia memendamkan kepalanya, di sela-sela leherku, yang langsung membuatku merinding. Tapi tubuhku masih terasa lemah, dan tidak kuat menahan tubuh besarnya. Rasanya, dadaku sampai sesak ketika dia memelukku dengan erat.
Aku mencium bau maskulin yang menempel ditubuhnya, rasanya begitu tenang saat mencium harum itu. Lalu terbesit suatu pikiran, apakah dia Malaikat? Apakah boleh, malaikat memperlakukan orang mati seperti ini?. Dan lagi, Aura lelaki ini terasa begitu mencekam dan kuat. Bukannya malaikat punya aura tenang ya?.
Rasanya, udara disekitarku pun berat karena kehadirannya. Aku yang tidak tau harus berbuat apa, hanya diam menunggu pria ini melepaskan pelukannya. Aku bahkan belum melihat dengan jelas wajahnya, tapi harum maskulin ditubuhnya membuatku semakin terlarut. Aku memejamkan mataku. Menikmati harum yang tak pernah aku cium sebelumnya, namun membuatku nyaman.
"Kemarikan tangan–mu," ujarnya sambil menarik tanganku. Aku melihat matanya sekilas, tajam dan mengintimidasi. Raut wajahnya terlihat marah, dia berdecak pelan Lalu mengecup? Mengecup tanganku.
"Jangan pernah lakukan itu lagi," aku sontak menarik kembali tanganku. Aku masih belum bisa mengeluarkan kata-kata, aku tidak paham dengan apa yang sedang terjadi. Jadi aku terus menundukkan kepalaku, pria didepanku ini.... dia terus menatapku dengan mata tajamnya.
"Kau bingung, hm?" tanyanya. Jadi aku memutuskan untuk bertanya, dari pada tersiksa oleh kebingungan ini. Perlahan aku mengangkat pandanganku, mata kami bertemu dan itu membuatku takut.
"Apa aku masih hidup?" tanyaku pelan. Aku berharap, jawaban yang dia berikan adalah, 'Kau sudah mati'. Tapi pria ini justru menaikkan sebelah alisnya, seolah menganggap remeh pertanyaanku itu. Asal dia tau, aku ini sedang serius.... benar-benar serius.
"Menurutmu?" tanyanya balik dengan santai, sambil mendekatkan wajahnya padaku. lalu dia.... mengecup bibirku.
Rasanya seperti tidak asing, benda hangat dan lembut ini sudah menyentuh bibirku beberapa waktu lalu. Itu artinya, dari tadi dia sudah menciuminku?!. Tidak mungkin. Jantungku seolah berhenti untuk sesaat, sekujur tubuhku panas dan tidak bisa melawan sama sekali. Tangan kekarnya perlahan terasa dipipiku, dan karenanya aku segera menutup mataku kaget.
Mungkin karena aku jarang bercengkrama dengan seseorang, jadi aku kerasa kaget dan merinding secara bersamaan. Berbeda denganku, dia sepertinya sangat menikmati ciuman ini. Bahkan sesekali mengeluarkan suara aneh, yang membuat bulu kuduk–ku berdiri.
"Aku tidak mau melakukan ini," Kalau aku mengatakan itu, apakah dia akan memukulku? apakah dia akan menyiksaku.
Akhirnya ciuman itu berakhir, tapi aku masih enggan untuk membuka mataku. Masih takut untuk menatap wajahnya, apalagi jika mata kami saling bertemu. Sedangkan pria ini, dengan tenangnya menyelipkan helaian rambutku. Sikapnya baik, walaupun tadi menciumku tanpa izin. Tapi kenapa auranya terasa begitu menyeramkan? Kenapa aku begitu takut padanya?.
"Maaf, Tuan. Kurasa ada kesalah-pahaman disini, sebenarnya ini dimana?" tanyaku sambil memberikan jarak untuk posisi kami. Aku masih merasakan tatapannya terus melekat padaku, dia seolah mengunciku didalam padangannya.
"Rumahku," Jawabnya singkat. Lalu kembali duduk dikursi yang berada di belakangnya. Dia terlihat begitu berwibawa, dengan setelan jas tiga potong hitamnya.
Aku menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku, berniat duduk saja agar lebih sopan. Namun aku segera menutup tubuhku kembali, saat melihat pakaian yang sedang aku pakai. Hanya kaos putih polos ukuran besar, jadi hanya menutupi sebagian pahaku. Untung saja, selama aku tidur sepertinya selalu ditutupi selimut. Jadi pria ini tidak melihat bagian bawah tubuhku, tapi..... kenapa dia senyum-senyum sendiri sambil menatapku?
"Apa ini bajumu?" tanyaku sambil merapatkan diri menggunakan selimut. Lagipula, aku merasa kedinginan karena cuaca di tempat ini memang dingin mungkin.
"Iya. Bajumu kotor jadi aku membuangnya," jawabanya membuatku ber-oh paham. Tapi sedetik kemudian, aku membulatkan mataku kaget karena menyadari suatu hal. Yaitu, siapa yang mengganti pakaianku?.
"Si-siapa yang mengganti bajuku?" tanyaku dengan gugup, dan malu secara bersamaa. Apakah dia yang menggantikan pakaianku?.
"Kau tidak perlu tau," jawabnya singkat. Jujur saja aku ingin marah, tapi aku sadar.... kalau aku pasti kalah.
Aku menyibakkan rambut panjangku ke belakang, dan lagi-lagi aku menyadari sesuatu. Rambutku sudah bersih, dan harumnya sangat enak. Jadi aku sudah dibersihkan juga, dan bagaimana dengan pakaian dalamku? Apa sudah di ganti juga? Sebaiknya aku memeriksanya sekarang juga. Astaga! aku ingin meledakkan diri sekarang juga, kenapa yang menolongku tidak perempuan saja. lagipula, sejak awal, pria didepanku ini sudah menunjukkan raut muka yang susah ditebak.
"Aku ingin ke kamar mandi. Tutup matamu sebentar saja," ujarku pelan. Lalu aku duduk dipinggir ranjang, dengan selimut yang masih menutupi. Tapi pria ini tak kunjung menutup matanya, dia justru menyender dengan santai sambil terus menatapku.
"Untuk apa aku menutup mata? aku sudah melihat semuanya," jadi benar dia yang mengganti bajuku?. Sebenarnya ada apa dengan hidupku ini, astaga. Hidup ini tak pernah tenang.
"Itu kamar mandinya, mau aku temani?" kali ini dia melontarkan pertanyaan aneh. Mana mungkin, aku mau ditemani laki-laki asing ke kamar mandi. Aku yang kesal, segera berlari menuju pintu putih itu.
"Kau keterlaluan," gerutuku saat melewatinya, tak berani berkata lebih keras dari itu.
***
▪︎▪︎Derren Gardolph Pov▪︎▪︎
"Untuk apa aku menutup mata? aku sudah melihat semuanya " ucapku menggoda Belve, ia terlihat sangat terkejut hingga membulatkan matanya.
Ini pertama kalinya aku sedekat ini dengan manusia, jadi aku sedikit menjaga jarak agar tidak kehilangan kendali. Menurut sepengetahuanku, manusia tidak punya kekuatan khusus seperti kami, mereka hanya mahluk biasa. Mereka hanya meneruskan keturunan, lewat marga dari kekuarga. Mereka tidak saling berebut jabatan dengan beradu kekuatan. Tapi, manusia memiliki jiwa sosialitas yang tinggi, dan hati mereka tidak sekejam mahluk immortal.
Saat pertama kali melihat Belve terbaring di ranjangku, rasanya ingin sekali aku melahapnya dengan taringku lagi. Tapi untungnya, aku masih bisa menahan nafsuku untuk sekarang. Dan saat dia bangun, aku langsung memeluknya dengan erat.
Aku tahu dia sedang ketakutan, tangannya masih gemetar semenjak aku menciumnya tadi. Lucu tidak lucu, Belve mengira dirinya sudah mati tadi. Mana mungkin aku membiarkannya mati begitu saja, apalagi karena hal konyol. Belve selalu bereaksi lucu saat aku menjahilinya, dan itu membuatku dan Rodolph menahan tawa.
Sebenarnya, bukan aku yang mengganti pakaian Belve. Omega di kastil inilah yang menggantinya, saat dia masih tidur. Yaaa karena aku tidak akan sanggup menahan nafsu, jika melihat Belve tanpa pakaian. Bisa-bisa aku melahapnya dengan ganas.
"Kau keterlaluan," ucapnya saat melewatiku menuju kamar mandi. Aku tahu dia marah, tapi dia pandai menyembunyikan perasaannya. Sedangkan aku tersenyum tipis, kemudian menghubungkan mindlink–ku dengan Edmond.
"Kau mendapatkan sesuatu?" tanyaku.
"Tentu, Alpha. Belve princiella, bukanlah anak kandung keluarga Thornley. Mereka menemukan Luna Belve dihutan, 17 tahun yang lalu. Tepatnya saat perang sedang terjadi," Edmond menghela nafasnya sebentar.
"Atas permintaan Alpha Meirion, Luna Belve ditunjuk untuk memimpin kerajaan bersamamu. Dialah pemilik cakaran Alpha Meirion, yang sudah Alpha ketahui dulu," lanjutnya.
Aku sudah melihat tanda cakarnya tadi, saat Belve masih tidur. Tapi, ada sesuatu yang janggal didalam tubuhnya. Kenapa ada api Phoenix, yang keluar dari tubuhnya saat pertama kali kutemukan.
Takdir Phoenix, adalah takdir besar yang hanya dimiliki beberapa mahluk saja. Ada keuntungan memiliki takdir Phoenix, karena takdir itu bisa melindungi pemiliknya. Tapi, Phoenix sendiri juga bisa menarik kesedihan. Bahkan, beberapa pemilik Phoenix lebih memilih mengakhiri hidupnya. Menurut legenda, itu karena mereka tidak kuat dengan sakitnya takdir.
"Edmond. Apa ada penjelasan, kenapa Belve bisa memiliki takdir Phoenix? Bahkan setelah Ayahku memberinya tanda?" tanyaku pada Edmond, yang mungkin sudah menggali lebih dalam informasi tentang Belve.
"Keluarga Thornley, tidak memperlakukan Luna dengan baik. Bahkan beberapa kali, Luna telah melakukan percobaan bunuh diri." Jelasnya.
"Phoenix bisa muncul, karena trauma kesedihan yang sangat mendalam. Dan api Phoenix yang Alpha lihat, bisa dan dirasakan oleh Rodolph saat itu. Jadi dia bisa tau keberadaan Luna," aku mengangguk pelan. Jika menurut Edmond, Phoenix muncul karena trauma yang mendalam, aku paham betul.
"Oh ya, carikan aku letak rumah keluarga Thornley. Aku ingin bertamu," ujarku sambil merapikan dasi yang aku pakai. Lalu aku memutuskan mindlink kami secara sepihak.
"Tuan," aku terkejut mendengar suara Belve yang sedikit melengking dari kamar mandi. Tadi, aku terlalu fokus mendengarkan penjelasan Edmond, jadi tidak mendengar suara Belve. Dia hanya memunculkan kepalanya saja, terlihat enggan untuk keluar dari kamar mandi.
"Kau memanggilku?" tanyaku memastikan.
"Iya, apa kau punya pakaian lain? Aku kurang nyaman menggunakan ini," tanyanya dengan suara yang begitu pelan. Jika aku manusia biasa, pasti tak akan bisa mendengarnya.
"Tidak. Pakai saja itu atau tidak usah mengenakan pakaian," jawabku mengancamnya sebagai candaan, aku hanya masih penasaran dengannya.
"Tapi..." belanya sambil meremas pakaiannya.
"Aku tidak menerima penolakan," Potongku yang membuatnya terdiam beberapa detik, apa dia marah?
****
▪︎▪︎Author Pov▪︎▪︎
Belve berjalan pelan, menuju lelaki yang sedang duduk diam di kursinya. Belve agak takut mendekati Derren, tapi jika Belve tidak melakukan apapun maka dia tidak akan mendapatkan jawaban. Tapi pria di depannya ini sangat menakutkan, seperti akan memakan Belve kalau dia membuat kesalahan.
"Bisakah tuan beritahu aku, dimana ini? Aku bisa meminta Ayah menjemputku," tanyanya setelah dia merasa cukup dekat dengan posisi Derren.
"Tatap aku jika ingin bicara," jawab Derren sembari berdiri. Derren baru sadar, bahwa Belve sangat kecil jika di bandingkan dengan dirinya. Derren melangkah mendekati Belve, lalu berdiri tepat berada di depannya. Belve hanya diam menuduk, dia tak berani jika harus menatap mata tajam itu.
"Kau tidak ingin bicara? baiklah aku pergi," ucap Derren sambil membalik badannya, berniat pergi.
"Tunggu..." Belve menahan lengan kokoh Derren, yang tengah tersenyum puas disana. Namun dia sembunyikan, ketika kembali menghadap gadisnya itu agar tidak ketahuan.
Belve diam, dia masih menyiapkan keberaniannya menatap Derren. Derren memasang muka dinginnya, yang membuat aura mencekam semakin menakuti Belve. Sebenarnya wajah dingin Derren itu bawaan lahir, tapi banyak orang yang salah mengartikan bahwa dia sedang marah. Belve yang merasa ditunggu, akhirnya memberanikan diri mendongakkan kepalanya pelan. Kemudian menarik nafasnya dalam, untuk memulai kata-katanya.
Satu detik....
Dua detik....
Akhirnya ia berhasil menatap manik abu pekat milik Derren, mata itu sangat kuat hingga membuat Belve terdiam beberapa saat. Derren yang juga tengah menikmati manik biru milik Belve, hanya diam. Derren tenggelam dalam indahnya mata itu.
"Aku ingin pulang," gumam Belve pelan.
Derren terdiam, darah mengalir dari pelupuk matanya. Netra abu-abu milik Derren, telah berubah menjadi netra merah pekat. Nafas Belve terhenti beberapa saat, karena begitu terkejut. Sebenarnya, siapa pria didepannya ini? Kenapa matanya bisa berubah secepat itu?. Dan saat itu juga, Belve merasa telah memanggil Monster dalam diri Derren.
"Kau tidak akan pergi kemanapun," ucap Derren dingin.
Belve segera memundurkan dirinya, takut jika Derren akan melukainya. Sedangkan Derren berfikir, kenapa dia semarah itu? Mungkin, karena ini pertama kalinya Derren bertemu seseorang yang berharga. Padahal Derren dan Belve baru saja bertemu, tapi perasaan Derren memaksa untuk menahan Belve bersamanya.
Derren mengikuti langkah kecil Belve, sambil menggeram pelan. Lalu Belve mempercepat langkah mundurnya, hingga punggungnya membentur rak buku besar. Belve yang menyadari sesuatu akan jatuh, segera melindungi kepalanya.
Craaang!!
Derren melindungi Belve dengan tubuhnya sendiri, sebuah hiasan vas yang lumayan besar menjatuhi kepala Derren. Wajah Derren kini penuh dengan darah segar yang menetes, dan itu membuat Belve gemetar hebat. ia memegang erat bajunya sendiri, merasa bersalah sekaligus kasihan.
"Tuan!?" Belve panik melihat darah yang mengalir semakin banyak. Tapi Belve tidak melihat lukanya disebelah mana, jadi dia tak bisa menutupinya. Derren berlutut di lantai yang penuh pecahan kaca, lalu Belve dengan refleks menahan tubuh Derren. Padahal tubuhnya jauh lebih kecil, dari tubuh Derren.
"Maaf...... maaf," ucap belve kembali. Lalu setengah memeluk tubuh Derren, untuk mengangkatnya ke ranjang. Belve mengutuki dirinya sendiri, karena telah membuat orang yang tidak ia kenal ini celaka. "Aku mengacau lagi," gumamnya.
"Bertahan sebentar," Belve berlari menuju kamar mandi dengan panik. Namun saat itu juga, Derren tengah tersenyum penuh kemenangan.
"Kau benar-benar penipu yang handal," ucap Rodolph yang paham kelakuan tuannya itu. Dia tidak menyangka, Derren akan melakukan sejauh ini untuk menahan Belve agar tetap tinggal.
"Tentu saja. Kalau tidak aku tidak akan mendapatkan pelukanku," jawab Derren dengan bangga.
Itu terjadi, karena Derren bisa melihat aura kemanusiaan Belve sangat kuat. Maka dari itu, Belve lebih memilih untuk menolong Derren dari pada pergi. Padahal Belve bisa memanfaatkan kesempatan itu, untuk kabur. Walaupun Belve bukan pelakunya, tapi dia merasa paling bersalah disini.
Pantas saja tak seperti biasanya, tubuh kuat Derren tak akan koyah dengan luka seperti itu. Apalagi jika bukan karena sihir, lukanya tidak seberapa. Derren bisa menyembuhkanya, hanya dalam beberapa menit. Tapi demi gadisnya, ia rela menahan sakit untuk beberapa waktu. Selang beberapa detik, Belve kembali dengan ember kecil di tangannya dan sebuah handuk di pundaknya. Ia terlihat sangat tergesa-gesa, sepertinya Belve benar-benar khawatir.
"Tahan sedikit, ini mungkin akan sakit," ucap Belve. Setelah sampai di pinggir ranjang, sambil memeras handuknya.
"Aku bisa menahan beribu pecahan Vas bunga jika kau mau," gerutu Derren dalam pikirannya yang sudah gila. Jika itu membuat Belve tetap berada disisinya, Derren akan melakukan apapun itu. Sedangkan Belve dengan teliti, mengusap wajah Derren dengan handuk. Dia takut Derren kesakitan. Maka dari itu, Belve dengan sangat pelan membersihkan sisa darah yang ada.
"Aargghhh," geram Derren yang pura-pura kesakitan.
"Maaf, aku akan pelan-pelan." Belve mengelus wajah Derren dengan lembut, membuat Derren nyaman dengan sentuhan tangan lentiknya itu.
Derren menatap wajah Belve sepanjang pengobatan, bibirnya kecil dan wajahnya sangat tenang jika tidak ketakutan. Tangan Belve menutup mata Derren, supaya di bersihkan sisa darahnya. Sesekali Derren kembali berpura-pura kesakitan, agar tidak ketahuan berbohong.
"Tadi... eeuumm matamu berdarah, harus aku bagaimanakan?" tanya Belve dengan polos. Ia telah selesai dengan darah di pelipis Derren, tapi masih bingung dengan matanya.
"Cukup jangan tinggalkan aku, dan aku takkan menangis," jawab Derren. Yang langsung membuat Belve merinding, karena suara berat Derren yang mengintimidasi.
"Siapa nama, Tuan?" akhirnya Belve memutuskan untuk bertanya. Belve merasa aneh, jika ia bicara dengan seseorang yang bahkan namanya saja tidak ia tahu.
"Derren gardolph," jawab Derren singkat.
"Baiklah, Tuan Derren. Apa.... eumm apa kau benar-benar, mengeluarkan air mata darah?" rasa penasaran Belve akhirnya dia utarakan. Sebagai gadis normal yang hidup selama 17 tahun di muka bumi, dia tidak pernah melihat air mata darah tentunya.
"Ya. Itu karena kau," jawab Derren kembali.
"Kenapa denganku?" tanya Belve lagi, sambil membereskan handuk yang penuh darah itu.
"Aku merasa sakit jika kau meninggalkanku," ucap Derren tentu saja dengan melebih-lebihkan. Air mata darahnya itu, hanya akan keluar jika kekuatan Demon miliknya memaksa menguasai tubuh.
Derren mempunyai 2 kekuatan mata, yaitu mata serigala sebagai tanda jika dia itu Werewolf. Dan mata king Demon, yang telah dia kalahkan dimasa lampau. Mata Demon akan muncul karena emosi yang menggebu, bisa di artikan emosi kesedihan ataupun kemarahan.
"Aku bahkan tidak mengenalmu," Belve menghela nafasnya. "Tunggu tunggu.... apa kau manusia?"