▪︎▪︎Author Pov▪︎▪︎
Seorang gadis manis berusia 17 tahun, tengah membolak balik bukunya dengan teliti di atas meja perpustakaan. Rambut hitam pekat dia ikat agar tidak mengganggu konsentrasinya, dan memang udara sedang terasa gerah sekarang. Padahal sedang musim dingin, dan salju sebentar lagi turun.
Gadis itu memiliki netra berwarna biru laut. Warna yang menenangkan, serta menenggelamkan. Diseragamnya yang lusuh, terdapat name tag sebagai tanda pengenal bertuliskan, Belve Princiella.
Dia anak rajin disekolah dan mendapat beasiswa penuh, tanpa membayar sepeserpun. Kepintarannya yang diluar nalar manusia itu, membawa banyak keberuntungan bagi Belve. Belve akan menjadi beban untuk keluarga angkatnya, jika tidak berusaha sendiri. Belve bahkan tidak akan bersekolah, jika saja tidak mendapat tawaran beasiswa.
Sesekali, Belve menghela nafasnya kasar. Seharusnya, tugas-tugas ini tidak ditujukan untuk ya. Namun karena seseorang memintanya, dengan waktu yang minim. Belve pergi mengganti bukunya, dengan buku lain yang ada di rak-rak perpustakaan. Sambil terus berusaha, agar selesai secepat mungkin.
"Ayolah, hanya beberapa soal lagi!" ujarnya menyemangati diri sendiri. Belve memijit batang hidungnya pelan, guna mengurangi rasa pusing yang ada.
"Buku tentang sejarah Mesir ada di rak nomor 7, aku akan menyelesaikan 3 soal ini dulu," gumam Belve pada dirinya sendiri.
Tapi, baru saja ia menaiki anak tangga, suara bel masuk kelas terdengar diseluruh area sekolah. Belve merapikan bukunya yang berserakan, lalu berlari dengan terbirit-b***t, berusaha sampai dikelasnya tepat waktu. Belve ingat, seseorang pasti telah menunggunya. Orang yang menyuruh Belve, mengisi soal-soal yang menumpuk itu.
"Bukankah kau pintar? Kenapa mengerjakan punyaku saja lama sekali?!" bentak seorang anak laki-laki, seumuran dengan Belve di ujung lorong. Bisa diketahui kalau lelaki ini bukan anak baik-baik, dilihat dari cara mengenakan seragamnya yang tidak rapi.
lelaki itu tidak memakai Almamater, dan tidak memakai dasi dengan benar. Parahnya lagi, ia mempunyai tatto berbentuk elang dilehernya. Seharusnya, pihak sekolah tidak mengizinkan murid untuk berseni di atas tubuh mereka. Namun, peraturan sekolah selalu kalah dengan orang yang berharta.
"Maaf, Boy, aku sudah berusaha secepat mungkin. Seharusnya kau memberitahu aku kemarin," jelas Belve pada lelaki yang ia panggil, Boy. Sebenarnya, itu hanya nama panggilan saja. Namanya aslinya adalah, Jameson Thornley.
"Jadi kau menyalahkan aku?!" bentak Jameson, sembari menarik rambut Belve kasar. Jameson menatap tajam Belve, yang ketakutan setengah mati. Beruntung, mereka sedang berada dilingkungan sekolah, jadi Jameson tidak akan memukul Belve seperti dirumah.
"Maaf..."
"Dia ini sebenarnya siapa? Jameson bilang dia hanya anak yang Ayahnya temukan dihutan," bisik salah satu murid yang kebetulan lewat. Belve hanya melirik sekilas, dia sudah terbiasa dengan bisikan-bisikan menyeramkan itu.
"James! Kenapa kau tidak menjual dia saja? Aku yakin banyak lelaki hidung belang yang mau membelinya," ujar Teman perempuan Jameson yang memiliki rambut pirang itu. Belve melirik tajam kearah perempuan itu, sebenarnya dia tidak terima jika seseorang mengatainya seperti itu. Tapi jika melawan, sama saja Belve masuk kedalam jebakan mereka.
"Lihat! Berani-beraninya dia menatapku seperti itu," cetus si rambut pirang. "Kenapa ada orang seperti dia di dunia ini?" lanjutnya.
Belve kembali menundukkan kepalanya, tak mau memperpanjang masalah mereka. Belve sudah cukup lelah, menghadapi masalah sebelum ini. Tapi kata-kata gadis itu, membuat Belve berpikir.....
"Kalian pikir, aku mau ada di dunia kejam seperti ini?"
"Tidak! Aku tidak ingin ada disini"
"Kenapa ada orang menyedihkan ini?"
"Semua orang membenciku, sampai aku ikut membenci diriku sendiri.:
Keluarga Thornley, memutuskan memanggil Jameson dengan panggilan, Boy. Karena dia adalah anak satu-satunya keluarga Thornley, yang kebetulan laki-laki. Sedangkan Belve adalah anak angkat mereka. James Thornley merupakan Ayah dari Jameson, yang menemukan Belve dihutan saat berkerja.
Pekerjaan sang Ayah adalah seorang pemburu, ia akan mengasilkan uang dari menjual kulit hewan buruannya. James bisa menghasilkan uang yang banyak, berdasarkan jenis kulit yang dia jual. Karena merasa ingin memiliki anak perempuan, akhirnya james membawa Belve kerumahnya. Dia berniat membesarkan Belve, bersama Istrinya, dan Jameson yang hampir berumur 1 tahun. Jameson dulunya tak bersikap sekejam ini pada Belve, namun seiring bertambahnya usia. Jameson sadar akan posisi Belve di keluarganya, yaitu hanya sebatas benalu yang numpang dirumahnya. Tak jarang pula, Jameson bersikap semena-mena pada Belve. Sedangkan orang tuanya, hanya diam tanpa membela salah satu ataupun menengahi mereka.
"Tck, sampah!" cetus Jameson pada Belve. Lalu mereka memasuki ruang kelas yang kebetulan sama, diikuti Belve di belakangnya. Sedangkan Belve berusaha menahan tangisnya, tak mau air mata itu jatuh untuk kesekian kalinya. Hal yang paling Belve benci adalah.... ketika dia sudah berusaha memberikan yang terbaik, namun masih merasa tidak berguna, atau tidak di hargai.
Walau keluarga Thornley selalu bersikap jahat padanya, Belve masih merasa beruntung karena mereka mau membesarkannya sampai sekarang ini. Setidaknya Belve berfikir, dia hanya harus berjuang sampai lulus dan mendapatkan pekerjaan. Agar bisa menghidupi kebutuhannya sendiri.
Belve begitu menghargai keluarga angkatnya itu, sampai-sampai dia tak akan marah atau dendam saat di sakiti. Jika saja Belve sudah tidak kuat dengan perilaku keluarganya, dia hanya bisa menangis. Berharap menghilang dari dunia kejam ini. Tapi takdir selalu berkata lain, Belve selalu terbangun di dunia yang sama dan keadaan yang sama. Teringat masa kecil Belve dan Jameson , Belve berfikir saat itulah akhir hidupnya.
▪︎▪︎ Flashback ▪︎▪︎
"Belve lihatlah, ada ikan kecil yang sangat lucu! Kau pasti menyukainya," teriak Jameson kecil, pada Belve yang tengah sibuk memetik bunga. Merasa terpanggil, Belve pun mengedarkan padangannya, mencari arah suara yang ternyata sedang berada dipinggir danau.
"Cepat! dia berwarna emas dan ekornya sangat panjang," teriaknya kembali yang membuat Belve semakin penasaran. Kira-kira ikan secantik apa yang membuat Jameson mau mengajaknya bicara, biasanya Jameson saja tak mau melihat Belve.
"Aku segera datang," Belve berlari kecil, setelah meletakkan seikat bunga yang baru saja ia petik. Kemudian mendekati bibir danau, yang sebenarnya cukup berbahaya bagi anak-anak seperti mereka. Belve pun mengikuti apa yang Jameson lakukan, tiarap sambil berpegangan pada rumput yang ada. Belve semakin mendekatkan tubuhnya, agar bisa melihat dengan jelas kedalam air.
"Dimana? Aku tidak melihatnya," tanyanya heran. Karena ikan yang sedang ia cari tak kunjung muncul, hanya rerumputan didalam air yang tenang.
"Lihatlah lebih dekat, dia bersembunyi di balik batu."
Jawab Jemason dengan yakin, sambil menunjuk batu yang memang ada didalam kolam. Belve yang merasa penasaran segera mengunci pandanganya ke batu tersebut, namun ia masih belum menemukan apapun.
"Boy, Dimana? Hanya aakhhg—!" Dengan gerakan cepat, tiba-tiba Jameson mendorong kepala Belve masuk kedalam air. Menekan kuat tengkuk leher Belve, hingga pemiliknya tak bisa membela diri. Belve tidak bisa menahan nafasnya karena terlalu panik. Hidung Belve perih, dengan air danau yang masuk dengan paksa.
Hal yang membuat Belve sakit hati adalah, ketika samar-samar ia mendengar tawa puas Jameson diatas sana. Matanya perih karena air danau yang tidak begitu bersih, Belve menggerakan kakinya yang masih didarat dengan sekuat tenaga, tapi hasilnya nihil. Belve menangis sekuat kuatnya, berharap bisa menyalurkan rasa sakit lewat tangisannya. Namun hanya air mata yang keluar, lalu bersatu dengan air danau. Dadanya mulai sesak, matanya memanas seiring deru nafas yang melemah.
Merasa sudah tidak ada perlawanan, Jameson melepaskan tubuh mungil itu. Lalu mendorongnya dengan kuat, sehingga tubuh Belve perlahan mulai tenggelam kedasar danau yang gelap. Jameson berdiri dan tersenyum bangga, lalu berjalan santai menuju kediamannya. Tawa puas Jameson terdengar, kemudian menepuk-nepuk kedua tanganya seolah membersihkan kotoran yang ada.
"Ah.. she is dead," gumamnya dalam hati. Jameson terlihat sangat puas dengan apa yang baru saja dia lakukan, membunuh seorang anak yang tidak bersalah. Dalam pikiran Jameson, Belve itu bisa membuat kasih sayang keluarganya terbagi. Jadi, itulah alasannya tidak menyukai Belve semenjak masuk sekolah.
Sedangkan disisi lain, seekor ikan emas kecil berenang mengitari tubuh Belve yang mulai kehilangan kesadarannya. Ikan itu memiliki warna menyilaukan, sehingga air danau yang peruh pun menjadi terang.
"Senang bertemu denganmu," ucapnya sambil mendekati wajah Belve yang pucat pasi. Ikan itu mencium kening manis milik Belve, kemudian mengitari tubuh Belve kembali. Namun gerakannya berbeda dengan sebelumnya, kali ini seolah sedang menggambarkan sesuatu. Sebuah titik cahaya biru mulai muncul didada Belve, tapi lama-kelamaan cahaya itu semakin terang, seiring gerakan sang ikan.
Belve yang sendari tadi menutup matanya, perlahan mulai sadar. Mulutnya ikut terbuka, mengambil nafas sebanyak-banyaknya hingga kesadarannya terkumpul. Belve diam beberapa detik. Mengamati dimana keberadaanya, dan sedang apa dia disana. Alangkah terkejutnya Belve saat mengetahui ia masih hidup, dan parahnya, sekarang dia masih berada didalam danau. Ada rasa syukur karena dia diberi umur lebih untuk hidup, tapi juga rasa sedih. Kenapa dia kembali hidup, setelah mengalami kematian yang begitu menyakitkan?.
Seharusnya semuanya sudah selesai, Belve lebih heran ketika menyadari bahwa dia tak menahan nafasnya sekarang. "Aku bernafas didalam air?" tanya Belve pada dirinya sendiri.
Pandangan Belve yang tadinya buram, sekarang bisa melihat dengan jelas keadaan danau yang luas. Banyak ikan-ikan kecil, dan hewan air lainnya. Ternyata dibalik gelapnya danau, terdapat begitu banyak kehidupan yang tidak Belve ketahui. Tiba-tiba rasa panik menghampiri dirinya, bagaimana jika keajaiban ini hanya berlangsung sementara? Belve bisa tenggelam lagi nanti.
"Aku akan mati lagi jika terlalu lama disini," gumam Belve. Belve melihat ikan emas itu, lalu tersenyum lembut padanya. Entah mengapa Belve merasa ada yang spesial dari ikan cantik ini, namun pikiran itu buru-buru ia tepis. Belve berusaha mencapai daratan, dengan skill berenangnya yang payah, membuat waktu menggapai daratan terasa begitu lama. Kaki Belve terasa pegal, memang belajar berenang itu sangat penting sebenarnya. Setelah Belve mencapai daratan, tubuh kecilnya terbaring lemah di rerumputan basah sembari mengatur nafas. Kepalanya masih pusing karena udara yang semakin menipis, musim dingin telah tiba membuat tubuh Belve seperti mati rasa.
"Boy..." ucapnya pelan. Seketika dia teringat, bahwa Jameson lah yang membuat hidupnya hampir berakhir.
Tapi memang Belve tadi sudah tak bernafas, hanya saja sel-sel tubuhnya masih berfungsi. Dan beruntungnya ikan itu datang disaat yang tepat, jadi masih ada kesempatan menyelamatkan Belve. Ia tak habis pikir dengan kelakuan Jameson yang semakin menjadi, sudah berkali-kali sejak Belve kecil Jameson sering kali menyelakainya. Belve berdiri dengan susah payah, sambil merasakan nyilu pada tulang-tulangnya yang kedinginan setelah keluar dari air.
Dengan sisa tenaga yang ada, Belve berjalan pelan melalui hutan yang berada didekat perumahan mereka. Tapi jarang ada orang datang, karena para penduduk menganggap hutan itu sebagai hutan keramat. Dikabarkan, kalau banyak orang yang hilang setelah memasuki hutan itu, mereka mempercayai adanya monster yang memakan manusia disana.
Belve berjalan tertatih menuju rumah, tak mau mati kedinginan karena salju yang mulai turun. Ia beberapa kali terjatuh, tak kuat menahan dinginnya udara yang membuat tubuhnya seperti mati rasa. Pakaiannya terasa begitu berat, padahal hanya atasan lusuh dan celana pendek kesayangannya. Tiba- tiba kepalanya merasa pusing, lalu tubuhnya terhuyung kebelakang dengan begitu saja.
"Hei nak!" ucap wanita paruh baya, yang dengan cepat menahan kepala Belve agar tidak mengenai bebatuan. Wanita itu tengah membawa tumpukan kayu di punggungnya, sepertinya untuk persiapan musim salju.
"Dingin," air mata Belve menentes dengan bebasnya. Ia menggengam erat jubah hangat Wanita yang tidak ia kenali, tapi setidaknya Belve merasa tenang karena ada sesorang di jalanan sepi. Itupun jika dia mau membantu Belve.
"Tahan sebentar, aku akan membawamu ke rumahku," iapun segera membuka jaket tebal yang dia pakai. Berusaha menutupi tubuh Belve, agar udara dingin tidak terlalu menusuk di kulit anak malang ini, pikir Wanita itu.
"Belve? Belve!" terdengar teriakan pria yang datang dari arah perumahan. Belve dan Wanita tua itu mengedarkan pandangan mencari sumber suara.
Ternyata itu adalah James, ayah angkat Belve yang datang dengan nafas bersengal-segal. Setelah memastikan kalau anak yang dia lihat adalah Belve, dia segera mungkin James Mengambil Belve dari pangkuan Wanita itu. Jameson kemudian membungkusnya dengan jaket hangat yang sebelumnya ia pakai.
"Boy bilang kau pergi berenang kedanau, aku sudah mengatakan Belve! Jangan pernah mendekatkan diri ke danau terkutuk itu!" bentak James sembari mengangkat tubuh anaknya yang lemah.
"Tapi ayah.... aku...."
"Aku tidak ingin mendengarkan alasan lagi Bel! kau sudah cukup besar, untuk mengerti ucapanku dan juga Ibu," potongnya sebelum Belve selesai bicara. James melangkahkan kakinya, meninggalkan Wanita yang sendari tadi mengamati Belve dan James.
"Terimakasih Bibi," ucap Belve pelan saat langkah kaki James membawanya lebih cepat. Si Wanita hanya tersenyum hangat, merasa tenang bahwa Belve sudah aman bersama ayahnya.
Sesampainya dirumah, James membuka pintu dengan keras membuat seisi rumah menatapnya terkejut. Terlebih lagi Jameson, dia membulatkan matanya penuh dan bibirnya terbuka melihat siapa yang Ayahnya gendong sekarang. Belve Princiella.
"Kau menemukannya?" sambut seorang Wanita paruh baya yang medekati suaminya khawatir.
Dia adalah Latavia Thornley, Istri dari James. Marga Belve tentu berbeda dengan keluarganya sekarang, nama Belve Princiella ditemukan disebuah gulungan kertas saat Belve ditemukan. Belve membuka matanya, menatap Ibunya dengan sedih, lalu beralih menatap Jameson di ujung ruangan yang masih tak percaya jika Belve masih hidup.
Jameson bergumam, dengan raut wajah yang menahan amarah, "Kenapa dia masih hidup sial! Bahkan menemukan tubuhnya didalam danau akan sulit."
"Dimana Ayah menemukannya? Apa Ayah menyelami danau?" tanya Jameson saat Ayahnya duduk bersamanya diperapian rumah, Sedangkan Ibunya tengah menggantikan pakaian Belve dan memberinya obat.
"Tidak, aku menemukannya sedang bersama wanita diperjalanan. Kemungkinan, Bel berjalan sendiri dari arah danau. Lalu bertemu wanita itu," jelas James, pada Anaknya yang hanya mengangguk pelan, padahal didalam pikirannya sedang kacau.
Jameson mengerutkan dahinya, "Belve berada dibawah air, hampir selama satu jam tanpa gas bantuan itu mustahil! Tadi tubuhnya juga sudah tidak bergerak, jadi kupikir dia sudah mati," gumam Jameson.
Disisi lain, Latavia tengah mengeringkan rambut basah Belve dikamar, sambil menyisirnya dengan suasana hening. Ibunya sibuk menyisir, sedangkan Belve masih terlarut dengan kejadian yang baru saja dia alami. Lagi pula, memang Belve tidak pernah bicara banyak dengan keluarga Thornley, Belve takut kalau dia salah bicara nanti dia akan tambah di benci.
"Apa kau tidak mendengarkan omongan Ibu, Bel?" kata-kata tak bisa keluar dari mulut Belve, tentu saja dia masih shock. Lima, enam detik tak ada jawaban, pertanyaan selanjutnya kembali dilontarkan oleh Latavia.
"Jelas jelas, Ibu dan Ayah sudah bilang. Kau dan Boy! Khususnya kau Bel, bagaimana bisa kau masuk kedalam danau sedalam itu?!"
"Boy mendorongku kedalamnya, Ibu!" Jawab Belve dengan suara tak kalah kencang tanpa pikir panjang, membuat sang Ibu menghentikan aktivitasnya.
"Jangan menjadikan Anakku, sebagai perantara kesalahanmu!" bentak Latavia keras sambil menampar pipi tirus milik Belve. Sedangkan James dan Jameson yang mendengarnya dari ruangan sebelah, segera pergi ke kamar mencari sumber suara.
"Apa yang terjadi, Ibu?" Tanya Jameson setelah membuka pintu dengan kencang, bahkan Belve dan Ibunya juga ikut kaget.
"Apa yang terjadi, kenapa kau berteriak, Sayang?" saut james ketika memasuki kamar kecil milik Belve. Ralat, lebih tepatnya adalah gudang.
Belve sudah tidur sendirian di gudang dari umur 7 tahun, Latavia bilang Belve terlalu berisik karena menangis setiap malam. Alasannya adalah mimpi buruk, Belve yang selalu ketakutan dan tersiksa, membuat mimpi buruk selalu datang. Akhirnya Belve pindah kamar, dan dia bisa menangis sepuasnya, untuk menumpahkan rasa sedihnya setiap malam.
"Jujur pada Ibu, Boy. Apa kau yang mendorong Bel masuk kedalam danau?"
Tap♡ buat tetep dukung Minky yaa, tulis komentar kalian dikolom komentar jika berkenan.
See you in next part