Mulai Agresif

1186 Words
Rafka mendengkus pelan melihat ekspresi tak suka yang ditunjukkan sang kakak. "Aku lagi nggak pengen debat sama Mama, atau pun kamu. Kalian berdua sama saja! Keterlaluan!" balas Rafka dengan raut wajahnya yang terlihat sinis ketika menatap ibu dan kakaknya bergantian. Entah untuk alasan apa, Mas Edgar tiba-tiba bangkit berdiri. Ia lantas melepas paksa pegangan tangan Rafka yang mencengkeram tanganku. "Aku yang akan menemaninya," tutur Mas Edgar sambil menatapku. Menghadirkan sebuah desiran aneh yang aku tak mengerti apa artinya. "Baguslah!" Terlihat Rafka membuang napas kasar mendengar kesiapan sang kakak menemaniku ke dokter kandungan. Untuk pertama kalinya. "Tapi kalau kamu sampai melalaikan tanggung jawabmu, sekali lagi aku tegaskan, aku siap mengambil alih tanggung jawabmu itu," timpal adik iparku saat kedua matanya beralih menatapku. "Tolong jangan mengigau lagi, Rafka!" tantang mertuaku sambil bangkit berdiri saat mungkin tak habis pikir ketika mendengar pernyataan anak bungsunya yang memang mengejutkan. "Aku tidak sedang mengigau atau pun bermimpi. Aku siap menjadi ayah dari anak Afifah. Aku bersumpah, aku benar-benar siap menikahinya seandainya Edgar menyia-nyiakannya, Ma!" balas Rafka dengan intonasi tinggi. Aku menatap haru saat kata-kata itu terlontar dari bibir Rafka. Bukan! Bukan karena aku jatuh cinta pada adik iparku. Tapi ... aku merasa tersanjung karena ternyata masih ada yang peduli denganku. Dan setelah ini, aku berharap kepedulian pada diriku akan muncul di hati suamiku suatu saat nanti. Apa ini artinya … aku telah jatuh cinta pada ayah janin yang kukandung? Entahlah. Aku pun tak mengerti. Mas Edgar menyusul langkahku ke kamar saat aku melepas pelan cekalan tangannya. "Pinter banget kamu, ya, cari bala bantuan buat musuhin aku!" geram Edgar sambil mencengkeram pergelangan tanganku begitu kami sudah masuk ke dalam kamar. "Mas! Kamu apa-apan, sih!" Aku menghempaskan dengan kasar tangan suamiku. Lelaki 26 tahun yang berdiri di hadapanku seperti tak menyangka bakal mendapat perlawanan dariku. Maklum saja, selama ini aku memang selalu diam saat suami dan mertua menindasku. "Berani kamu!" Mas Edgar mengangkat tangan seperti siap melayangkan tamparan di pipiku. Membuatku menarik langkah mundur saat mengantisipasi dia benar-benar akan melakukan kekerasan dalam rumah tangga. "Kamu kejam!" bentakku dengan air mata bercucuran membasahi pipi. Sungguh, bukan kehidupan rumah tangga seperti ini yang kuharapkan. Melihatku meneteskan air mata, lelaki tinggi dan berkulit putih yang berdiri dengan jarak tak sampai dua meter di hadapanku, menatap dingin padaku. Terlihat dia menurunkan tangan yang semula seperti siap melayang di pipiku. "Kalau kamu cuma menikahiku demi mengejar warisan dari kakekmu, seharusnya kamu tidak usah menyentuhku dan membuatku hamil!" ucapku lantang sambil menangis sesenggukan saat meluahkan kekesalan. Rasa sakit hati yang selama ini kutahan tak dapat dipendam lagi. Mas Edgar terdiam kaku melihat kemarahanku yang diiringi tangisan. "Apa kamu pikir aku bahagia dengan kehamilan ini? Enggak!" desisku sambil menajamkan pandangan menatap lelaki berwajah tampan yang sayangnya memiliki kelakuan b***t. "Kenapa kamu nggak gugurin aja, kalau kamu nggak suka?" balas Mas Edgar enteng. Jelas sekali dia tak mau disalahkan. "Apa kamu pikir aku gila?" cicitku sambil menatapnya geram. Membuatnya terdiam. "Aku bisa pergi sendiri ke dokter kalau kamu keberatan nemenin aku," ucapku sambil memalingkan wajah. Menghindari tatapannya. "Afifah." Entah untuk alasan apa lagi, suara Mas Edgar terdengar melunak kali ini. Membuatku hampir tak percaya mendengar ini. Sungguh, baru kali ini aku mendengarnya berbicara sedikit lembut padaku. Aku menoleh dan menatap nanar wajahnya. Mencari-cari alasan paling masuk akal kenapa suaranya terdengar sedikit melembut. Mungkinkah suamiku yang pemabuk kini sudah sedikit melunak hatinya? "Siap-siap, ya, jangan lupa pakai gamis yang longgar," pinta Mas Edgar tanpa terduga. Membuatku seperti tengah berada di alam mimpi saat ini. Apakah benar dia mulai perhatian pada calon bayi kami? Masih dengan mata berkaca-kaca, aku menganggukkan kepala. Sedikit perhatian yang ia curahkan telah mampu membuat hatiku tersentuh. Tanpa banyak bicara lagi, aku berjalan ke arah lemari. Mengambil gamis yang sekiranya paling cocok untuk dipakai saat ini. Mas Edgar duduk diam di tepian ranjang kala menungguku berganti pakaian. Saat tengah berganti baju, dari pantulan cermin, aku bisa menangkap kala sepasang mata lelaki berparas rupawan itu seperti sedang melihatku dengan pandangan aneh. Kalau boleh aku menyimpulkan, sepertinya dia tertegun melihat bentuk tubuhku yang sekarang mulai melebar di beberapa bagian. Terutama bagian pinggul dan bagian atas tubuhku. Kenapa dia bisa terlihat keheranan seperti itu? Bukankah dia sudah terbiasa melihat seluruh tubuhku saat aku tengah dipaksa melayani nafsunya? Ah, iya! Lupa! Bukankah dia selalu menyentuhku dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar? Aku lantas memoles wajah dengan bedak dan gincu tipis-tipis saja. Lagi-lagi, aku melihat Mas Edgar seperti ertegun saat melihatku tampil sedikit berbeda. Apa yang terjadi padanya? Harus aku akui, bedak dan gincu bisa membuatku sedikit terlihat segar, tapi, selama ini aku memang tak punya banyak waktu untuk merias wajah. Karena pekerjaan rumah adalah prioritas. "Udah?" tanya Mas Edgar ketika melihatku telah selesai bermake-up meski make-up sederhana. Aku mengangguk kaku. Selepas memastikan aku siap, Mas Edgar bangkit dan lantas mengganti kaos yang ia pakai dengan kemeja. Melihatnya berganti pakaian, membuat mataku tak berpaling dalam sedetik pun. Fisiknya yang proporsional dan paras wajahnya yang mengagumkan, memang tak semudah itu membuatku mengelak kalau dirinya memang mempunyai daya tarik tersendiri. Aku begitu membenci kenapa tiba-tiba ada rasa yang mendorongku untuk mendekatinya. Tanpa pikir panjang, aku lantas berjalan menghampiri Mas Edgar yang tengah berdiri di depan lemari jati mewah di kamar kami. Menyebalkan! Kenapa harum tubuh lelaki pemabuk ini sangat menarik indra penciumanku? Ingin rasanya memeluk dan mengendus wangi tubuh ayah dari janin yang kukandung. Tapi kutahan, gengsi juga rasanya kalau sampai berbuat konyol seperti itu. "Kamu … kenapa?" tanya Mas Edgar saat mungkin menyadari aku berdiri tak tenang di belakangnya. Aku menggeleng cepat. Tak ingin terlihat canggung atau pun gugup saat kedapatan mendekati dirinya. "Ya udah, ayo berangkat sekarang." Aku mengangguk pelan ketika dia mengajakku pergi dengan nada yang masih terdengar lembut. Begitu aku dan Mas Edgar hampir keluar kamar, tampak ibu mertua menghadang kami dengan tangan menyilang di depan d**a. Terlihat Bu Melanie menatapku dengan pandangan sinis ketika aku dan putranya jalan beriringan. "Halah! Perempuan kampung seperti dia tidak perlu ditemani sebenarnya, Gar. Bukankah dia sudah terbiasa mandiri sejak kecil?" Ibu mertuaku mengompori anak sulungnya yang jalan berdampingan denganku ketika keluar kamar. "Mas …." Spontan, aku menggamit mesra lengan Mas Edgar tanpa tahu malu. Membuat suamiku jadi sedikit salah tingkah di depan ibunya. Bu Melanie nampak geram melihatku tampak bermanja-manja dengan putranya. Aku tahu, aku bukanlah wanita yang diinginkan olehnya menjadi menantu. Itu karena status sosialku yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Bukan seperti Kayla yang kaya itu. "Dedek pengennya deket Papanya terus," ucapku sambil terus menggandeng mesra lengan suamiku. Membuat Mas Edgar terkejut saat melihat tingkahku yang terkesan mengada-ada. "Alasan aja dia tuh, Gar! Padahal … dia sendiri yang gatal! Dasar perempuan miskin!" Mertuaku jelas geram dengan sikapku yang memang sedikit berlebihan. Tanpa banyak bicara, aku mengecup lembut pipi suamiku. Membuat Mas Edgar tersentak saat menyadari aku telah melakukan sesuatu yang pasti tak pernah terpikir olehnya. Jangankan dia, aku saja tak pernah merencanakan tentang ini. "Afifah!" Mas Edgar mendelik padaku, seperti tak terima aku menciumnya. Lebih-lebih mertuaku. Dia tampak semakin geram dengan sikapku yang semakin menjadi ini. Aku menyeringai tajam menatap ekspresi tidak suka yang ditunjukkan ibu mertua, saat melihat menantu miskinnya ini mencium anak kesayangannya. Apakah sekarang aku sudah masuk kategori menantu kurang ajar?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD