Bab.7 Sisi Gelap Liam

1603 Words
Kehidupan malam dan hingar bingar night club itu adalah hal biasa bagi Liam, yang memang punya tugas mengontrol keamanan tempat hiburan milik bosnya itu. Mirror sendiri adalah salah satu night club elite terbesar, jadi tidak mengherankan kalau pengunjungnya selalu penuh. Namun, justru itu yang membuat beberapa pesaing melakukan hal kotor untuk menumbangkan tempat ini. Waktu sudah melewati tengah malam. Berdiri menghadap dinding kaca besar di salah satu sisi ruang lantai tiga, Liam menatap hiruk-pikuk di bawah sana. Lautan manusia yang berjubel, gemerlap lampu warna-warni dan dentum suara musik sudah terlalu akrab berteman dengan hidupnya. “Bang Ibra bilang kamu mau ambil beberapa orang baru dari tempat Om Bimo?” tanya Leon, penanggung jawab tempat ini. “Hm,” angguk Liam kemudian beranjak duduk di sofa. “Red Flag menjadi pemilik baru Octagon, dan sudah pasti kelakuannya akan semakin brutal untuk bikin gaduh di sini. Aku tidak mau ambil resiko mempertaruhkan keselamatan pengunjung. Om sendiri sudah dengar kan yang terjadi di Crown semalam?” lontar Liam menerima gelas minuman yang disodorkan Leon. “Crown nyaris terbakar hingga ada beberapa pengunjung jadi korban terluka. Cara mainnya terlalu kotor dan sama sekali tidak memikirkan nyawa pengunjung yang tidak tahu apa-apa,” sahut Leon dibuat gedek dengan otak jahat Cakra Pangestu. “Dia bukan hanya menjadi pemilik baru Octagon, tapi juga mengambil alih perusahaan adik tirinya yang belum lama ini mati karena kecelakaan. Aku malah curiga adik tirinya sengaja dibunuh. Buktinya sekarang perusahaannya juga dia makan, padahal masih ada pewarisnya,” ucap Nova menunjukkan pesan di ponselnya yang baru dia terima. Liam menyeringai, sepertinya kali ini dia mendapat teman main yang lumayan licin. Mengingat Cakra juga cukup punya taring di pasar gelap, jadi sudah pasti tidak bisa disepelekan begitu saja. Mau seperti apa sepak terjangnya Liam tidak peduli, tapi kalau sudah berani menyenggol daerah kekuasaannya maka jangan harap dia tinggal diam. “Kamu masih menunggu bocah itu di rumah sakit kan, Liam? Sudah sempat menjenguk ayah Bang Bian? Bagaimana keadaannya?” tanya Leon. Liam yang sedang mengetik pesan di ponselnya tampak mengangguk. Tadi sore dia datang sebentar di ruang rawatnya, tapi buru-buru pergi karena Ganesh bangun dan rewel mencarinya. “Pembuluh darah di otaknya pecah, ditambah faktor usia. Sepertinya kemungkinan bisa sadar lagi itu tipis.” “Kolot sih! Sudah tua bukannya legowo, malah makin nyinyir dan sok ngatur!” dengus Nova. Bukan maksud mereka mengolok musibah yang menimpa keluarga Bian, tapi ayahnya memang luar biasa kolotnya. Liam menekan tombol kirim, tetap merasa khawatir Ganesh terbangun dan rewel lagi. “Ganesh masih panas? Kalau dia bangun dan rewel, segera hubungi aku!” Liam tidak langsung menyimpan ponselnya, tapi menunggu beberapa saat balasan dari Shera. Bisa saja dia menelpon, tapi kasihan kalau mengganggu tidurnya. Karena Liam tahu Shera juga lelah dan kurang tidur dari kemarin. “Ini lagi demam. Tadi sempat cari kamu, tapi tertidur setelah diberi obat turun panas. Dia tidak rewel kok.” Tanpa sadar Liam tersenyum melihat kiriman foto dari Shera. Ganesh tertidur pulas dengan memeluk boneka dragonnya. “Aku mulai curiga, jangan-jangan benar kamu kecantol janda! Sudah kayak orang nggak penuh, nyengir-nyengir gitu lihatin ponsel!” olok Nova cengengesan dilempar topi oleh Liam. “Mulut sialan!” umpat Liam keki lagi-lagi mendengar ledekan seperti itu. “Tapi katanya cantik? Siapa tahu memang jodoh,” timpal Leon. “Mulut ngawur mereka nggak usah didengar, Om! Aku beneran cuma merasa kasihan ke bocah itu kok,” sanggah Liam menyimpan kembali ponselnya. Pintu diketuk, seorang anak buah mereka masuk menghampiri Liam. “Ada beberapa baru masuk, wajah lama yang sebelumnya pernah bikin gaduh disini. Sudah dipantau,” lapornya. Mereka bertiga beranjak ke dinding kaca, lalu menatap ke arah lantai bawah. Biasanya Liam hanya datang kontrol di saat weekend, selebihnya Nova yang selalu disini. Tapi, sepertinya sekarang dia terpaksa lebih sering nongkrong disini. “Aku turun dulu!” ucap Nova bergegas keluar dari sana. Mata Liam berkilat tajam. Berhadapan dengan Red Flag itu hanya soal waktu, karena dia yakin cepat atau lambat mereka pasti akan bertemu langsung. “Kalau sampai ada anak buahnya berani bikin ribut disini, akan aku obrak-abrik tempatnya. Lihat saja! Mulai banyak tingkah dia, tanpa melihat siapa yang sedang coba dia sikut!” ucap Liam meraih sebatang rokok dan menyalakan pematiknya. Asap mengepul pekat dari hembusan mulutnya. Takut, itu satu kata yang tidak pernah ada di kamusnya saat berhadapan dengan musuh. Mereka tidak pernah merecoki pihak lain, tapi juga pantang disenggol. Terutama bagi yang berani bikin gaduh di Mirror, apalagi sampai mengotori tempat ini dengan menjual obat terlarang. Tidak akan ada kata ampun, karena biarpun tempat hiburan malam Mirror tegas tidak membiarkan ada transaksi kotor disini. “Kemarin juga ada yang datang saat lagi full pengunjung, tapi mungkin karena melihat ada Jingga disini jadi langsung keluar lagi,” ujar Leon. “Cih, mereka benar-benar sudah mengamati siapa saja yang harus dihindari disini! Kalau bisa berpikir secermat itu, kenapa otaknya t***l tidak bisa membaca peta lawan,” dengus Liam. “Pak bos bilang apa soal Cakra?” tanya Leon. “Tunggu sampai mereka lebih dulu menyenggol kita, baru babat habis. Sekarang dia sengaja mengirim orang untuk memancing. Kalau bukti belum ada, sudah tentu kita yang nantinya akan disalahkan jika datang membalas,” sahut Liam. Dia meletakkan sisa rokoknya di asbak, lalu menyambar topinya. Begitu keluar dari ruang kerja Leon, suara keras dentuman musik sontak memekakkan telinga. Liam beranjak ke arah tangga. Mirror mempunyai tiga lantai. Lantai dasar untuk club, lantai dua untuk VIP room, sedang lantai tiga sebagai ruang kerja, ruang aula anak buah mereka dan beberapa ruang private party. Di tangga lantai dua ada Nova yang sedang berdiri bertopang dagu dengan tatapan awas. Liam menyandar tangga. Gemuruh suara teriakan dan musik berbaur dengan asap rokok juga bau alkohol menyengat. Dia bukan penyuka dunia malam berisik seperti ini, tapi inilah tanggung jawabnya. Nova menyikut pelan lengan Liam, lalu mengedikkan dagunya. “Yang kaos putih menggerombol di bangku pojok!” Mata Liam menatap nyalang tingkah mereka yang urakan. Sengaja pura-pura mabuk, lalu mulai main tubruk dan sikut pengunjung lain untuk memancing keributan. Tanpa sepatah katapun Liam segera beranjak turun bersama nova dan beberapa anak buahnya. Melewati kerumunan pengunjung yang penuh sesak, dia menuju ke meja itu sebelum mereka mulai bikin ulah. Liam menyambar botol minuman disana, lalu meneguk isinya sebelum meletakkan lagi dengan kasar. Mereka mendongak kaget, terlebih begitu tahu Liam yang tiba-tiba sudah disana. “Sudah bosan hidup, ya?!” ucap Liam yang kemudian duduk di kursi paling pinggir, merangkul bahu pria yang paling bersemangat ingin membuat keributan. “Memangnya salah kami apa? Hanya datang bersenang-senang seperti yang lain! Ini klub, orang datang untuk minum dan hura-hura. Bukankah begitu?” elaknya. “Iya, tapi hura-hura versi kalian disini itu beda dengan mereka. Aku punya gudang yang lebih nyaman di atas, cocok untuk menemani kalian hura-hura. Mau coba?” balas Liam menyeringai. Pria itu meringis, menggeliat menahan sakit karena cengkraman keras yang seperti mau meremukkan tulang bahunya. Mata mereka mulai jelalatan mendapati Nova dan para anak buahnya yang berdiri di belakang Liam. “Jangan coba-coba bikin gaduh disini! Crown bisa kalian obrak-abrik, tapi berani onar di Mirror, aku lempar kalian ke neraka!” Pria itu menepis tangan Liam dari bahunya. Mereka tampak waspada melihat Liam yang terkekeh menakutkan. “Aku tidak paham maksud kalian. Rusuh Crown apa hubungannya dengan kami?” Mereka tetap kukuh mengelak. “Kalau ini, paham kan?” Liam balik bertanya dengan pisau lipat mungil yang ujung runcingnya menekan leher pria itu. Mereka terkesiap, tangan Liam kembali merangkul seolah sedang akrab dengan teman hang out nya. Klub sedang ramai-ramainya, mana mungkin dia akan membuat keributan di sana dengan menghajar para cecunguk itu. “Jangan pikir kami bodoh tidak tahu siapa yang mengirim kalian rusuh di Crown, disini dan tempat lain! Mau bikin ulah seperti apapun terserah, tapi jangan di tempatku. Paham?!” Pria itu kembali meringis saat Liam menekan pisau lipatnya. Ukurannya yang kecil dan suasana ruangan yang remang membuat tidak ada yang menyadari dia sedang ditodong belati di lehernya. Tapi jangan salah, meski begitu sanggup membuat mereka menggelepar bermandikan darah. “Aku sudah bilang, kami datang untuk bersenang-senang. Tidak paham dengan omongan ngelanturmu itu!” Tepat saat suara musik sedang melengking keras, Liam menghujamkan pisau itu ke paha pria di sampingnya. Dia berteriak menjerit kesakitan, tapi mana ada yang mendengar. Orang-orang disekitarnya sudah mulai high dan bahkan banyak yang teler. Mana sempat peduli dengan teriakan disana. Yang lain sudah mau berdiri, tapi pria itu menggeleng. Salah mereka sudah meleset memperhitungkan keadaan, karena tidak tahu ada Liam disana. “Begini, apa sudah cukup membuatmu senang? Atau mau aku patahkan sekalian?!” Dia menggeleng, tapi yang dilakukan Liam selanjutnya membuat yang lain ikut meringis. Liam menyingkirkan pisau lipatnya, lalu meraih botol minuman dan menyiramkan ke paha pria itu. “Berani berteriak, akan aku seret kamu naik ke atas! Kita lanjut permainan disana!” Nafas pria itu sampai tersengal menahan sakit. Gemetar dengan wajah meringis kaku. Liam tertawa tergelak, lalu menghabiskan sisa minuman di botol. “Minggat dari sini sekarang juga! Bilang ke bosmu, berani kirim cecunguk lagi untuk bikin rusuh disini, aku hancurkan tempatnya!” ucap Liam kembali menyulut rokoknya. Menghisap dalam, lalu menghembuskan keluar menikmati rasa puasnya melihat mereka kocar-kacir pergi. Seperti inilah dunia yang dia pijak. Bertaruh nyawa itu hal biasa, karena sejak awal Liam memang sudah mengabdikan hidupnya. Hutang budi mereka sekeluarga, rasanya tidak akan pernah lunas meski dia bayar seumur hidup. “Aku pulang dulu!” ucapnya ke Nova, sebelum kemudian melangkah keluar dari sana. Liam langsung ke rumah sakit, tidur sebentar karena besok juga harus ke kantor. Sepertinya mulai sekarang hidupnya akan semakin sibuk lagi, karena ada Ganesh yang meminta waktu dan perhatiannya. Tidak apa, toh dia juga menikmati perannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD