Nathan menurunkan Anya di sebuah halte sesuai dengan permintaan gadis itu usai ia menerima sebuah pesan dari Jacob yang memberitahukan kehadiran Valerie di kantornya. Nathan merasa bersalah, namun Anya yang meminta. Nathan sadar jika Anya terus memperhatikannya, hingga perubahan pada dirinya yang tiba-tiba.
Anya berjalan dengan banyak pertanyaan di kepalanya usai apa yang ia lihat di hadapan matanya. Nathan, nama itu yang sejak kemarin membuatnya penasaran.
“Anya!”
Suara milik Casey yang sangat Anya kenal. Ia menoleh, dan benar saja, Casey memanggilnya dari dalam mobil VW putih yang dikendarainya. Anya berdiri di atas trotoar, menunggu Casey memarkir mobilnya dan berjalan mendekat.
“Kau habis darimana?” tanya Casey.
Anya tersenyum manis saat menerima kecupan di pipi dari sahabatnya.
“Aku baru kembali mengantar kue. Kau sendiri dari mana?” Anya berbalik bertanya. Mereka jalan bersama menuju kerumah bibi Sue.
“Aku ingin memberikan ini untukmu.”
Casey menyodorkan dua buah paper bag kehadapan Anya. Mata biru Anya membulat dan langkah keduanya berhenti ditengah jalan, di antara orang-orang yang berlalu-lalang.
“Apa ini?” tanya Anya curiga. Casey tersenyum manis. “Buka saja sendiri,” Casey menyahut dengan santai. Keduanya kembali melanjutkan langkah menuju ke rumah.
Sesampai di dalam rumah, hanya ada kekosongan. Sebuah pesan ditinggalkan bibi Sue di depan pintu lemari es.
“Kau ingin aku buatkan sesuatu?”
Casey menggelengkan kepala untuk tawaran Anya. Ia duduk di salah satu sofa butut dalam rumah Bibi Sue.
“Banyak ya pesanan kue yang harus kau antar? Sampai lewat jam makan siang.”
Sudah hampir seminggu mereka tidak bertemu, dan Anya merasakan kerinduan untuk setiap ocehan Casey yang cenderung posesive.
“Aku pergi makan siang dengan seorang teman.”
“Apa? Seorang teman? Siapa? Dave?” buru Casey penasaran hingga perlu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Anya tersenyum lebar.
“Kau ini. Bukan. Aku baru mengenalnya kemarin.”
“Apa? Baru kemarin? Dan siang ini kalian makan siang bersama? Oh good news, Anya Thomson,” kelakar Casey dengan wajah semeringah. Anya tersenyum kian lebar, wajahnya tampak merona. “Tampan?” selidik Casey.
Anya mencoba mengingat tampilan Nathan. Tak dapat Anya pungkiri, Nathan memang pria yang tampan. Dengan mata hijau dan rambut coklat yang sama dengan dirinya. Anya mengangguk pelan.
“Kau mengenalnya di mana? Siapa namanya?” Casey kian penasaran dan tingkat antusiasnya meningkat.
“Kau ini cerewet sekali,” seloroh Anya sebelum keduanya terkekeh.
“Aku sahabatmu, aku hanya ingin memastikan pria itu baik atau tidak.”
“Ya Tuhan, Cas. Kau lebih berisik dari Bibi Sue,” timpal Anya atas sikap Casey. Casey menarik tubuhnya, ia menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa dengan bibir yang melancip. “Aku bertemu dengannya di La Faye.”
“La Faye?” Seketika Casey terduduk tegak. Mata coklatnya membulat, tertuju sepenuhnya pada Anya yang mengangguk pelan dengan seulas senyum menghiasi wajahnya. “Aku hampir menabraknya,” imbuh Anya. Casey terdiam, larut dalam pikirannya, wajah Nathan melintas dalam pikirannya. La Faye, restoran milik sepupunya, Nathan.
“Cas. Casey.” Anya memanggil nama Casey, menyentaknya kembali ke dunia nyata. Mata coklat Casey tampak berbinar terkejut.
“Seperti apa ciri-cirinya?”
“Apa?”
Casey mengangguk cepat sambil berkata, “Iya ciri-ciri pria itu,” buru Casey membuat Anya menatap dengan kening berkerut dan curiga. Wajah Casey tampak serius menatap Anya.
“Hmmm, mungkin kau bisa membantuku mencari tahu tentang dia, Cas.”
“Maksudmu?”
“Aku mencari tentang dirinya, tapi tidak kutemukan. Ada banyak nama Nathan dan---” Kalimat Anya berhenti saat di dapatinya Casey yang membeku, “Cas. Casey.” Tak ada jawaban.
Seketika dunia Casey berhenti saat Anya menyebutkan nama sepupunya. Tak salah lagi menurut Casey, tak ada nama lain Nathan di La Faye. “Cas, Casey.” Anya sekali lagi memanggilnya dan kali ini ia menepuk punggung tangannya. Spontan Casey mengerjap kaget. “Kau kenapa? Aku takut kau jantungan,” seloroh Anya yang disambut cengiran lebar dari Casey.
“Aku baru teringat ada urusan yang aku lupakan, An. Aku harus pergi.”
Casey beranjak dari sofa, dan disusul Anya sebelum ia berkata, “Aku belum membuka bungkusan darimu.”
“Buka saja nanti. Kabari aku setelah kau mencobanya, An. Aku harus pergi. Salam untuk Bibi Sue.”
Dengan tergesa-gesa Casey meninggalkan kediaman keluarga Platas. Meninggalkan sahabatnya di dalam rumah sederhana itu dengan kebingungan. Casey mencoba menghubungi Nathan di ponselnya. Cukup sekali dering terdengar sahutan dari seberang saluran.
“Di mana?”
“La Faye,” sahut Nathan sebelum Casey memutus teleponnya dan membuat Nathan bingung.
Tak sampai dua puluh menit mobil VW yang dikendarai Casey telah menepi di bahu jalan dengan mulus. Ia berhambur keluar dengan cepat. Memasuki resto La Faye dengan kepala menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok Nathan di antara keramaian resto.
Bukan hal yang sulit ia menemukan Nathan dengan suara denting piano yang mengalun. Nathan dan piano, bagai sepasang jodoh. Suara denting piano seketika berhenti saat mata hijau Nathan mendapati kehadiran Casey.
“Jangan katakan kau datang untuk menyuruhku pulang juga,” tukas Nathan saat langkah Casey kian mendekat. Casey tak langsung merespon. Ia hanya menatap sepupunya. “Aku tampan ya?” goda Nathan yang membuat Casey meringis lebar.
“Tampan tapi menyebalkan,” timpal Casey.
Nathan beranjak dari kursi piano dan menggiring Casey untuk duduk di salah satu meja di sudut ruangan. Banyak tamu yang datang. Suara riuh percakapan, gelak tawa dan dentingan sendok dan garpu di atas permukaan piring.
“Kenapa kau mencariku?” tanya Nathan penasaran. Tidak biasanya Casey datang ke restonya. Sepanjang ingatan Nathan, Casey hanya datang saat peresmian saja. Mereka duduk berseberangan.
“Kau akan menetap disini?”
Pertanyaan yang membuat alis Nathan naik sebelah.
“Sepertinya.”
“Kenapa?” lanjut Casey. Kali ini Nathan terdiam, ia mencondongkan tubuhnya sedikit kedepan, menatap Casey dengan lurus.
“Sedang memata-mataiku?” tuduh Nathan.
“Tidak,” Casey menyahut. Wajahnya tampak datar, ia menyembunyikan tujuan kedatangannya dari Nathan. “Lantas?” Kali ini Casey yang terdiam, menatap Nathan dengan menyelidik. Casey mencoba mencari jawaban untuk Nathan. Ingatannya kembali teringat pada percakapannya dengan Anya.
“Aku pergi makan siang dengan seorang teman.”
“Kau melamun?” Suara Nathan menyadarkannya dari lamunan. Casey menghela napas pelan. “Aku melihatmu di sebuah restoran tadi siang.”
Casey mencoba untuk mengarang cerita dari apa yang Anya katakan padanya. Nathan terkekeh. Ia melambaikan tangan pada salah seorang pelayan dan meminta untuk disediakan minum. Ada jeda sampai seorang pelayan membawakan dua buah gelas dan sebotol wine.
“Sejak kapan kau suka gosip?”
“Sejak … sudah jawab saja pertanyaanku,” kilah Casey sambil menerima gelas kaca berkaki dari tangan Nathan. Sekali lagi Nathan terkekeh.
“Iya, aku makan bersama seseorang.”
“Siapa?”
Nathan mengurungkan niatnya untuk menyesap wine dalam gelasnya. Mengamati Casey dengan pandangan mata menilai. “Cerewetmu masih sama, melebihi Mamaku. Kau tahu itu?” Nathan mendengus. Ia meminum wine dalam gelasnya. Casey memutar bola matanya. Ia tak pernah berhasil mengintrogasi Nathan untuk urusan hati. Casey menyadari kebekuan Nathan sejak malam tragis beberapa tahun lalu.
“Dia gadis yang cantik. Aku bertemu dengannya di sini.”
Nathan memulai ceritanya. Casey terdiam, menatap Nathan terkejut karena ia tak menyangka Nathan akan memulai ceritanya. “Aku harap kau tidak mengatakan hal ini pada siapa pun, termasuk….” Casey langsung mengerlingkan sebelah matanya sambil menggerakan jarinya di depan bibir bagai gerakan mengunci bibir, tanda rahasia aman.
“Kau percaya cinta pada pandangan pertama?”
Pertanyaan yang membuat mata coklat Casey membulat. Ia terkejut dengan kata cinta yang terselip dalam pertanyaan Nathan barusan.
“Kau berbicara tentang cinta?” Casey seakan tak percaya dengan yang didengarnya.
“Entahlah, aku belum pernah merasakan perasaan ini seumur hidupku.”
Nathan kembali meminum winenya yang tinggal setengah hingga tandas.
“Dia tak hanya cantik. Dia polos dan lucu,” imbuh Nathan, membuat Casey mengerutkan kening. “Aku mengajaknya makan siang sebagai bayaranku karena telah membantunya mengantar kue.”
“Bayaran?”
Nathan menceritakan kejadian tadi pagi yang dialaminya bersama Anya yang berujung makan siang. Casey tidak heran dengan sikap Anya yang sederhana. Ia tidak akan terima bantuan orang lain dengan begitu saja. Ia selalu menghargai setiap orang.
“Aku tidak berhasil mengantarnya sampai ke rumahnya.”
“Kenapa?” tanya Casey.
Nathan tersenyum miring. “Karena Paman Jacob mengirim pesan kalau Mamaku ada di kantornya.”
Nathan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ekspresi Nathan berubah saat ia mulai masuk dalam pembahasan sang mama. Casey dapat mengerti dengan kondisi hubungan Nathan dengan mama-nya.
“Aku tak ingin membahasnya, Cas.”
Casey mengangguk pelan sebelum mencicipi wine di tangannya. “Kau tahu siapa nama gadis itu?” tanya Casey kali ini. Nathan tersenyum, wajahnya kembali terlihat tampan dimata Casey. Senyum khas milik Nathan. “Anya Platas, atau… aku lupa nama keluarganya, aku tahu dari Luke.”
Tidak salah lagi dugaan Casey. Pria yang dimaksud Anya adalah Nathan. Dan gadis yang diajak makan siang Nathan adalah sahabatnya Anya. Sebuah ide konyol terbersit dalam benak dan kepala Casey. Nathan menatap Casey dengan tatapan curiga usai senyum aneh terpampang di wajah sepupunya.
“Kau sangat mencurigakan,” seloroh Nathan yang disambut Casey dengan senyum manis yang tak biasa.
***
Casey pergi dari resto satu jam setelahnya. Usai keduanya bercerita tentang banyak hal. Nathan kembali ke dalam ruangan miliknya di dalam resto. Ruang kerja yang sengaja dibuat oleh Nathan jika ia butuh tempat untuk merenung seorang diri. Merencanakan semua kehidupannya.
Dihempaskannya tubuh lelah bersama pikiran kusutnya ke atas kursi kebesarannya. Nathan menghela napas dalam, menyingkirkan sesak pada dadanya. Dirasanya hari terasa berat jika harus bersentuhan dengan kehidupan Mama-nya. Namun seulas senyum manis yang menemaninya makan siang membuat dunia Nathan bersinar dan membuatnya tersenyum seorang diri.
Untunglah tidak di hadapan Casey, ia yakin sepupunya itu akan meledeknya habis-habisan tanpa ampun.
Sebuah amplop coklat tergeletak di atas meja kerja Nathan. Amplop coklat pemberian Jacob yang hingga kini belum juga dibukanya. Rasa gamang mendesir dalam benak Nathan.
“Aku harus menemuinya,” desis Nathan sambil meraih amplop coklat itu. Ia menarik tali yang melilit pada bulatan kecil yang terpasang di amplop. Memutarnya tiga kali dan ujung amplop terbuka. Nathan mengeluarkan semua isi amplop diatas meja. Seketika dunia telah menimpa dirinya, menghempaskannya hingga ke dasar. “Tidak mungkin,” desah Nathan dengan frustasi.
***