5. Awalnya Terpaksa

1333 Words
Melalui lirikan mata, Elang mengamati perempuan yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Perempuan yang baru sehari lalu ia nikahi karena paksaan kedua orang tuanya. Jujur, Elang sedikit shock saat melihat perempuan itu untuk pertama kali. Bagaimana tidak jika ternyata perempuan yang telah menjadi istrinya itu memiliki usia jauh lebih tua darinya. Ah, sebenarnya Elang sudah pernah mengira jika perempuan yang akan papa nikahkan dengannya pastilah seumuran dengan almarhum kakak perempuannya yang bernama Anya. Usia Elang dengan almarhum Anya terpaut enam tahun. Meski sudah menduga, tapi hal itu tak terlalu Elang ambil pusing. Toh, pernikahan ini hanyalah status karena Elang tak akan pernah memberitahukan mengenai hal ini pada orang lain, terutama pada teman-temannya. Bisa-bisa Elang akan menjadi bahan godaan habis-habisan jika seandainya teman-temannya tahu jika dia telah memilih menikah di usia yang sangat muda. Apalagi menikahi perempuan yang usianya jauh lebih tua di atasnya. Mereka pasti akan mengira jika Elang adalah penyuka spesies tante-tante. Sekali lagi Elang memperhatikan semua pergerakan Kiran. Mulai dari keluar kamar mandi lengkap dengan baju tidur berlengan pendek sepanjang atas paha. Lalu perempuan itu begitu saja menaiki ranjang miliknya. Elang meradang, jangan harap dia akan tidur satu ranjang dengannya. Bisa Elang pastikan jika Kiran tak akan selamat jika berani memilih tidur seranjang dengannya. Ibarat singa kelaparan diberi mangsa makanan yang menggiurkan. Mana mungkin bisa ditolak. Elang beranjak dari sofa dan segera menaiki ranjang miliknya, membuat Kiran menoleh sekilas. Diluar prediksi Elang, rupanya Kiran tak jadi merebahkan diri. Justru mengambil satu buah bantal dan berjalan menuju sofa yang tadi ia duduki. Tanpa kata meski ekor mata Elang masih mengawasi. Perempuan itu kini telah merebahkan tubuhnya di sana, di atas sofa. Bahkan Kiran tak menghiraukan keberadaan Elang sama sekali. Padahal jelas-jelas Kiran melihat Elang yang sebesar ini tapi mulutnya tak mau mengeluarkan sepatah katapun untuknya. Oke baiklah, selamat menikmati tidur di sofa. Batin Elang mengejek akan keberadaan perempuan yang telah resmi menjadi istrinya. Tak lagi menghiraukan Kiran yang sudah lelap dan tampak nyaman. Elang pun memilih menarik selimut dan membungkus tubuhnya. Berbaring miring membelakangi Kiran, lelaki itu pun kini juga mulai berusaha memejamkan mata. Berharap dengan keberadaan Kiran di dalam kamar tak akan mengganggu tidurnya malam ini. *** Antara mimpi atau nyata, Elang merasakan ada seseorang yang menggoyang pundaknya. Semakin lama bukan lagi tepukan melainkan pukulan ringan. Mau tak mau ia mulai berusaha membuka mata. Dengan sedikit memicingkan mata hal pertama yang Elang lihat adalah seorang bidadari yang sedang berdiri di hadapannya menatapnya dengan penuh kelembutan. "Hei ... bangunlah. Mama memintaku membangunkanmu. Turun dan sarapan." Kiran berucap sebal, pasalnya Elang ini susah sekali dibangunkan. Andai bukan karena Mama mertuanya yang minta, sudah pasti Kiran enggan melakukannya. Biarkan saja bocah tengil itu tetap bersenang-senang dalam mimpi. Elang ... Bibir lelaki itu menyunggingkan senyuman. Nyawa seolah belum kembali sepenuhnya karena bidadari yang ia lihat masih berdiri di hadapannya. Astaga! cantik sekali perempuan ini. Dalam hati Elang bergumam. "Malah senyum-senyum. Dasar bocah aneh." Tingkah Elang membuat Kiran makin kesal. Memilih membalikkan badan berniat meninggalkan bocah itu. Namun, sebuah hal tak disangka terjadi. Elang menarik pergelangan tangan Kiran hingga tubuh wanita itu sedikit oleng dan terduduk di tepi ranjang. "Aduh!" Kiran menepis kasar tangan Elang. Lalu berdiri lagi sambil berkacak pinggang. Wajah sangar ketika marah. Elang mengamati penampilan Kiran pagi ini. Nyawa sudah terkumpul sepenuhnya ketika Kiran memukul lengannya barusan. Cantik dan ... wangi. Dua kata untuk menggambarkan wanita yang masih berdiri di depannya saat ini. Mendapati Kiran yang sudah serapi ini menimbulkan tanya dalam benaknya. "Mau pergi ke mana pagi-pagi seperti ini," kata menyerupai sebuah tanya. "Kerja. Lagian ini sudah siang bukan pagi-pagi buta. Cepatlah bangun. Semua sudah menunggumu untuk sarapan." Kiran berkata seperti itu sambil berlalu meninggalkan Elang keluar dari dalam kamar. Elang melirik jam yang ada di atas nakas. Enam empat puluh menit. Segera ia beranjak bangun karena pagi ini ada kelas pagi. Dan tunggu sebentar, Elang menyadari sesuatu jika dia tadi memuji Kiran cantik. Sepertinya ada kelainan dalam otaknya. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu semalam otaknya langsung konslet. Menggeleng-gelengkan kepala sembari ngeloyor pergi ke dalam kamar mandi. Ia tak boleh telat lagi pagi ini. Mandi kilat juga dandan cepat. Menuruni tangga sedikit berlari bahkan dua undakan dia turuni sekaligus. Memasuki ruang makan dan mendaratkan p****t di salah satu kursi kosong sebelah perempuan itu. "Pagi, Ma ... Pa." Elang menyapa kedua orang tuanya mengabaikan keberadaan Kiran yang duduk di sebelahnya. Mulai meminum s**u dan mengambil sandwich, menu sarapan wajib yang harus Elang konsumsi. Pria muda itu memang gemar meminum s**u. Bukan s**u seperti yang anak-anak sering minum, melainkan s**u khusus pria dewasa yang berfungsi untuk menambah masa otot. Dan sandwich yang selalu Elang makan untuk sarapan pagi juga bukan sandwich sembarangan karena kandungan yang terdapat di dalamnya benar-benar harus sesuai dengan takaran gizi seimbang. Roti tawar gandum, d**a ayam tanpa lemak, aneka sayuran seperti selada, tomat dan mentimun. Hanya dia saja yang selalu memakan sarapan dengan menu berbeda. Sementara yang lain sarapan sesuai dengan yang dibuat Mbak Tutik, asisten rumah tangga di rumah ini. "Elang! " Suara berat Arman mengalihkan fokus Elang yang sedang menikmati sarapan. "Ya, Pa." Jawaban singkat terlontar dari mulut Elang yang masih sibuk mengunyah makanan. "Hari ini kamu antar Kiran pergi kerja, ya?" Pinta Arman sukses menghentikan aktifitas yang Elang lakukan. Menatap sang Papa dengan kernyitan di dahi. Ia protes seketika. "Kenapa harus Elang. Dia kan bisa pergi kerja sendiri." Kata-kata sarkas yang Elang lontarkan membuat Arman tidak suka dan tidak enak hati pada Kiran. "Kiran tidak membawa mobil. Jadi bagaimana bisa dia pergi kerja kalau kamu tidak mau mengantarnya." Arman masih berusaha membujuk. Namun, perempuan bernama Kiran menyela obrolan Elang dengan Arman. "Eum Om ... eh, Pa. Kiran naik ojek online saja," ucapnya dan hal itu pula yang membuat Elang menolehkan kepala ke samping. Melihat Kiran yang tersenyum manis pada Arman. Dalam hati Elang mencebik kesal. Pantas saja papanya menyukai perempuan itu. Pandai bersikap manis rupanya. "Kiran tidak boleh naik ojek online. Perempuan bahaya naik ojek," ucap Rania mencela dan melarang Kiran. Memandang putranya dan kembali berkata, "Sudahlah Elang, antar Kiran sebentar saja. Nanti Elang pakai saja mobil Mama. Jangan bawa motor." "Tapi, Ma!" Masih berusaha mengelak dan mendapati pelototan mata dari Rania membuat Elang berdecak. Tak ada bantahan jika mamanya sudah berucap. *** Meskipun dengan sangat terpaksa Elang mengantar Kiran juga pergi bekerja. Kalau tidak karena mamanya pasti Elang juga tak akan mau repot-repot mengantar, apalagi tempat Kiran bekerja dan tempat Elang kuliah beda arah. Dalam hati masih saja menggerutu karena Elang akan telat di jam pertama kuliah. Menghentikan mobil tepat di pelataran parkir sebuah gedung perkantoran. Perempuan itu membuka seat belt-nya lalu membuka pintu mobil. "Terima kasih sudah mengantarku." Hanya kata itu yang Kiran ucapkan sebelum benar-benar keluar dari dalam mobil. Elang yang masih saja acuh dan berusaha tak peduli, nyatanya melirik juga begitu Kiran pergi meninggalkannya. "Untung saja dia masih mau berterimakasih padaku. Jika tidak ... jangan harap aku mau dia repotkan kembali dengan hal-hal seperti ini. Aku ini menikahinya untuk jadi suami, bukan sopir pribadi yang harus mengantar jemputnya." Gerutuan Elang sembari menjalankan kembali mobil meninggalkan kantor Kiran. Melirik arloji yang melingkar di tangan kanannya. Dua puluh menit lagi kelas akan dimulai. Semoga saja tidak terlambat nanti. Dengan kecepatan penuh Elang melajukan mobil. Lima belas menit berlalu dan Elang berhasil juga memasuki area kampus tempat ia mengenyam pendidikan selama empat tahun ini. "Woy, Bro! Tumben lu bawa mobil. Mana motor lu." Baru juga Elang memarkirkan mobil di pelataran parkiran kampus, Reza dan Dimas, dua orang sahabatnya sudah mencerca dengan pertanyaan seputar mobil milik mamanya yang kini dia pakai. Maklum saja, Elang memang tak terbiasa pergi kuliah dengan membawa mobil. Ke mana pun dia pergi pasti selalu bersama motor kesayangannya. Jadi tak heran jika dua sahabatnya terheran-heran melihat Elang keluar dari dalam mobil. "Mobil Mama," jawab Elang singkat. "Tumben. Memang habis antar Mama lu ke mana?" Tanpa menjawab, Elang hanya mengedikkan bahu tak acuh berjalan meninggalkan mereka berdua. "Woi ... Kita ditinggal!" Reza dan Dimas menyusul Elang, lima menit lagi kelas akan dimulai. Dan mereka harus bergegas meninggalkan pelataran parkir jika tidak ingin terlambat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD