4. Kamu sudah memenuhi hatiku Arisa.

2045 Words
Ceria Ren memanggil nama Arisa sambil meraih ujung rambutnya. "A ... Ri ... Sa ..." "Kenapa?" tanya Arisa yang masih sibuk dengan pekerjaannya. "Hari ini biar Ren antar lagi ya!" kata Ren manja yang disambut senyuman dari beberapa orang yang menyaksikan hal tersebut. Sejak kejadian itu, Ren benar-benar telah berhasil lebih dekat dengan Arisa. Bahkan sekarang Ren secara rutin mengantar Arisa pulang kerja dan kebiasaan itu pun kini menjadi hal yang biasa terjadi di antara mereka. Bahkan rekan kerja di kafe yang lain juga sudah tidak merasa asing dengan kebiasaan tersebut. "Hmmm.. aku merasa tidak enak jika harus di antar olehmu terus menerus, Ren." Arisa tidak menghentikan Ren yang masih saja bermain pada ujung rambutnya yang panjang itu. Ia menatap Ren dengan tatapan yang fokus dan mata yang penuh dengan binar indah. "Aku sudah bilang, kan. Jika rumahku itu searah. Jadi bisa sekalian. Lagian, jika kita bisa pulang bersama kenapa kamu harus repot naik kendaraan umum," dalih Ren yang sebenarnya sudah diketahui oleh semua orang. Arisa tersenyum lebar mendengar ungkapan Ren tersebut, beberapa orang yang juga mendengarkan itu ikut tersenyum lembut. Namun, senyuman itu pun berubah menjadi sebuah tawa meriah saat Ren kembali melanjutkan ucapannya. "Yah, dengan aku mengantarkan kamu setidaknya aku bisa dapat makan siang gratis seperti sekarang!" Tawa renyah menghangati suasana kafe tersebut, begitu pula dengan Arisa. Arisa tertawa sambil menutup mulutnya dengan punggung tangannya. Arisa terlihat begitu anggun dengan segala tindakannya. Tingkah konyol Ren memang sudah tidak asing lagi bagi pada rekan kerjanya. Ren juga sangat rajin dan giat dengan pekerjaannya. Ren termasuk orang yang tidak mengeluh dan terus bekerja dengan sangat efisien. Hal tersebut membuat para rekan yang sebelumnya sering meyuruhnya ini itu pun semakin berkurang dan sudah mulai banyak rekan kerja yang menyukai dirinya dan yang paling dekat dengannya saat ini tentu saja Arisa. Sebab sebelumnya memang Ren sering membantu banyak pekerjaan dari Arisa. Semula semuanya memang baik-baik saja. Ren masih sering bercanda dan membuat Arisa tertawa renyah. Hingga saat Ren mengantar Arisa ke rumahnya dan Arisa membisikkan sesuatu yang benar-benar membuat jatung Ren berdebar tidak karuan. "Mau sampai kapan kamu pura-pura tidak mengenalku?" bisik Arisa di telinga Ren. Hembusan napas ringan terasa lembut di balik terlinga Ren, jari kelingking Arisa melekat pada pipi Ren, suara halus nan merdu terdengar berbisik pada telinga Ren. Debaran jantung Ren juga sangat tidak karuan. Ia juga berkeringat dingin, sebab takut ketahuan telah mendekati Arisa dengan maksud tertentu. "A-apa aku ketahuan?" benak Ren yang masih terkejut dengan bisikan Arisa. Kemudian, Arisa pun memiringkan kepalanya, ia berdeham sambil mencari arah pandangan mataku yang sudah tertunduk. "Hmmm.. Ren.. Halooooo!" Arisa melambaikan tangannya di depan wajahku. Mencari fokus pandanganku yang sebenarnya sudah nyaris akan pingsan. "Ah.. maaf aku kaget kamu berbisik di telinggaku!" dalih Ren seraya mengusap pelan daun telinga yang tadi merasakan lembutnya hembusan napas dari bisikan Arisa. "Ffftt.... Ren, Ren.. Kamu benar-benar lucu." Saat itu Arisa terkekeh geli, sementara Ren berpikir keras sejauh mana Arisa sudah mengetahui tentang dirinya. Ekspresi terkejut memang tak bisa Ren sembunyikan, tapi ia juga tak ingin gegabah dengan mengakui semuanya para Arisa. Apa lagi, Arisa tidak mengatakan hal lain selain berpura-pura tidak mengenal dirinya. "Ja-jangan ketawa dong.. Malu nih.." Ren tersipu malu setelah mengatakannya. Tawa malah kembali menghiasi wajah mungil Arisa dan Ren cukup bersyukur begitu Arisa kembali membuka suaranya, Arisa tampaknya tidak menyadari sejauh itu. "Hmmm.. kamu yang ada di rumah Jimmy kan?" tanya Arisa. Semoga saja apa yang Ren pikirkan adalah benar, Arisa hanya menyadari sampai di situ saja. Tentu saja, Ren tidak mengelak akan hal tersebut, Ren menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Aku kaget waktu tahu ternyata kamu juga bekerja di kafe itu." Setidaknya kedekatan Ren dan Arisa benar-benar berlangsung secara alami. Lowongan pekerjaan itu juga sebuah keberuntungan besar bagi Ren untuk bisa lebih dekat dengan Arisa tanpa dicurigai. Lalu, pertemuannya di rumah Jimmy bisa juga dianggap sebagai sebuah kebetulan belaka. Faktanya kala Arisa mengunjungi rumah Jimmy, Ren benar-benar terkesan tak peduli apapun dan hanya fokus pada game yang ia mainkan saja. "He he he.. padahal waktu di rumah Jimmy kamu sangat dingin Ren." Ren menggaruk kepalanya yang sejatinya tidak gatal. Ia pun mematikan sepeda motornya yang sebelumnya masih menyala saat mengantar Arisa di depan rumahnya. "Ah, waktu itu aku benar-benar lelah saat menjadi kurir dan satu-satunya hiburan dan juga liburanku adalah dengan bermain game. Jadi aku terlalu fokus dengan gameku." "Maaf, habisnya kalau sudah main game itu memang harus fokus. Apa lagi jika sedang genting. Rasanya memang tidak bisa ditinggalkan." Ketar-ketir Ren menjelaskan hal itu, namun apapun yang keluar dari mulut Ren lagi-lagi hanya menjadi kekeh tawa dari Arisa. "IIich... kenapa kamu ketawa terus sih, Arisa?" Tanpa sadar Ren bertanya sambil menyeka rambut Arisa yang terhempas angin. Ren menyisipkan rambut tersebut ke balik telinga Arisa dengan lembutnya. Pandangan mata yang hanya terfokus pada helaian rambut tersebut. Membuat siluet Ren terlihat gagah dan begitu mempesona. "Ren apa kamu mau minum teh sebentar?" Tiba-tiba pula ajakan itu terucap dari bibir Arisa yang tentu saja tidak akan ditolak oleh Ren yang memang mengincar hal tersebut sejak lama. "Apa boleh?" tanya Ren malu-malu. "Te-tentu saja, kan aku yang mengajakmu!" sambut Arisa dengan nada suaranya yang sedikit tinggi karena turut malu. Akhirnya dengan malu-malu Ren masuk ke rumah tersebut. Rumah yang sangat mewah dan tak sebanding dengan pekerjaan Arisa di kafe tersebut. Di dalam rumah mewah itu, Ren dipersilahkan duduk dan Arisa memintanya untuk menunggu. Ren pun duduk manis di sofa sambil menunggu Arisa mengganti pakaiannya yang lebih nyaman. Ren sejujurnya sangat ingin mengelilingi rumah tersebut. Mencari jejak keberadaan Jimmy sang sahabat yang ia duga bisa saja bersama dengan Arisa selama ini. "Aku ingin mencari Jimmy. Aku sungguh ingin mencarinya di setiap sudut rumah ini.' Sudah sejak awal Ren mengantar Arisa pulang, Ren kerap menatap jauh ke arah rumah mewah itu. Ia menelisik halam rumah yang luas itu, melihat ke jendela-jendela. Ren berharap bisa mendapatkan sosok Jimmy di rumah tersebut yang akan membuatnya semakin yakin akan keberadaan sahabat baiknya itu. Hanya saja, ia masih tidak punya keberanian hingga sejauh itu. Apa lagi tampaknya rumah itu juga memiliki CCTV dan Ren tak ingin niatnya itu diketahui oleh Arisa begitu saja. "Aku sangat penasaran, tapi jika aku ketahuan sekarang semua usahaku akan sia-sia dan aku akan kehilangan kesempatan untuk mencari keberadaan Jimmy." Tekad kuat dari Ren itu membuat setiap langkah yang Ren ambil sangat hati-hati. Ia tak ingin Arisa curiga dan menghilangkan kesempatan emasnya. "Tidak apa, perlahan saja. Aku akan melakukannya pelan-pelan dan aku harap Jimmy akan baik-baik saja sampai aku bisa bertemu dengannya." Banyak hal yang ingin Ren tanyakan pada sahabat baiknya itu, ia tak mengerti apa alasan dari Jimmy yang tiba-tiba menghilang dan meninggalkan dirinya seperti saat ini. Apa lagi ia sempat mendengar pembicaraan yang mencurigakan dari sahabatnya itu. Terlebih lagi, Arisa juga belum menceritakan apapun tentang Jimmy padahal Airsa tahu jika Jimmy dan Ren saling mengenal dekat. Ada dua kemungkinan yang Ren pikirkan kala itu, bisa saja Arisa memang tidak akan membahas hal tersebut atas permintaan Jimmy atau Ren memang tidak di anggap penting oleh Arisa. Apapun alasannya, yang jelas Ren tidak akan menyerah untuk mencari jejak dari sahabatnya itu. "Ren, maaf sudah menunggu lama!" Arisa yang telah selesai dengan urusannya itu pun kini kembali ke ruang tamu. Menghampiri Ren yang masih menunggu dengan sabar dan memecah sedikit lamunannya. Ren tersenyum ramah, hangat dan dengan polos Ren langsung bertanya tentang Jimmy pada Arisa. "Hmmm.. Maaf jika pertanyaanku agak tidak sopan. Tapi, apa boleh aku tahu kamu punya hubungan apa dengan Jimmy?" Ren sengaja bertanya tentang hal itu, menurutnya akan lebih mencurigakan jika Ren tidak bertanya apapun. Sebab, Arisa sendiri sudah menyadari jika Ren dan Jimmy saling berhubungan. Bahkan mungkin saja jika Jimmy sudah pernah bercerita tentang Ren pada Arisa. Bertanya tentang Jimmy adalah pilihan yang tepat bagi Ren. Ia pun bisa menutupi fakta jika ia sempat melihat Arisa dan Jimmy di belakang kafe saat itu. Benar saja seperti dugaan Ren, pertanyaan itu tidak dicurigai sama sekali oleh Arisa. Ia menjawab dengan santai pertanyaan dari Ren itu. "Hmm... kami satu kampung halaman. Terkadang kami saling berkumpul bersama teman-teman yang lain. Jimmy adalah salah satu dari kami. Yah, dia juga sempat menceritakan tentang kamu Ren. Tapi, katanya kamu tidak pernah mau jika di ajak bergabung." Arisa menjelaskan dengan santai dan mengalir begitu saja tanpa ada getaran ketir dari ucapannya. Arisa bahkan sampai tahu jika Ren selama ini sangat betah di rumah jika sudah pulang dari bekerja, gemar bermain game dan menghindari banyak perkumpulan sosial. Sehingga alasan itu pula yang membuat Ren kerap menolak ajakan Jimmy untuk ikut bergabung bersama teman-temannya. "Aku hanya seorang kurir, pekerjaanku banyak aku habiskan di jalanan. Sedangkan uang untuk segala kebutuhan terus semakin bertambah. Jika saja aku tidak melihat lowongan pekerjaan di kafe itu. Mungkin sisa waktu yang aku miliki selain menjadi seorang kurir hanya berakhir dengan bermain game saja!" "Aku tidak percaya diri untuk bermain dan nongkrong bersama teman-teman. Aku saja masih menumpang pada Jimmy, aku tidak punya cukup uang untuk bergaul." Ren menjelaskan dengan rinci sedikit kisah hidupnya dan Arisa mendengarkan dengan baik tiap cerita yang Ren ungkapkan. "Hmm.. tidak bisa di pungkiri juga kan. Jika bermain dan nongkrong itu membutuhkan dana. Yah, setidaknya selama aku bekerja di kafe aku punya teman sesama rekan kerja dan ada kamu juga Arisa." Cerita singkat itu berakhir dengan Ren dan Arisa yang saling memandang, bertatapan dengan dalam di atas sofa. Pandangan yang tanpa sadar terus membuat Ren semakin mendekat ke arah wajah Arisa yang cantik. Tidak bisa di pungkiri jika sosok Arisa sangat mempesona. Parasnya sangat cantik, bola matanya yang bersinar terang dengan alis tipis yang berjajar rapih, hidung mancung dengan kulit wajah yang putih mulus bak porselin. Di tambah lagi bibir merah merona Arisa yang lembab dan ranum. Menambah kecantikan yang terpancar dari sosok Arisa. Mungkin jika Ren tak sengaja melihat sosok Arisa beberapa kali, bisa saja Ren juga akan mengira jika Arisa adalah seorang gadis yang polos. Meski faktanya Arisa tidak sepolos itu, Arisa adalah wanita panggilan dan diam-diam Ren bahkan memiliki kartu nama dari sosok Arisa yang bekerja sebagai wanita panggilan itu. Menyadari jika Arisa tidak sepolos itu, Ren pun semakin berani mendekatkan dirinya pada Arisa. Ia ingin punya dalih yang tepat untuk bisa terus berada di dekat Arisa demi bisa menggali lebih banyak informasi tentang Arisa dan menemukan Jimmy secepat mungkin. "Jadi, Arisa.. artinya kamu tidak memiliki hubungan khusus dengan Jimmy kan?" tanyaku begitu saja dengan jarak wajah kami yang bahkan hanya tinggal 5 CM saja. Arisa menggelengkan kepalanya, tanpa mengedipkan matanya sedikitpun dan Ren juga tidak goyah dengan apa yang ia lakukan. Ren meraih pipi lembut Arisa, menyisipkan jemarinya di antara pipi dan telinga Arisa sambil terus mendekatkan wajahnya pada Arisa hingga hidung mereka pun saling menempel. "Aku tertarik padamu selayaknya seorang pria pada wanita." Pernyataan itu saja seharusnya sudah bisa membuat Arisa paham dengan maksud ucapan dari Ren. Sebuah pernyataan dari pria dewasa terhadap seorang wanita yang menarik perhatiannya. "Jadi maksudmu, kamu ingin menjadikan aku wanitamu?" tanya Arisa lagi dengan napasnya yang kini sudah menderu dengan cukup kencang dan terasa hangat. Ren tersenyum lembut sambil terus mendekap Arisa dengan eratnya jemarin Ren yang melekat di pipi lembut nan empuk milik Arisa tersebut. "Sebaliknya, aku ingin kamu menjadikan aku milikmu!" Jawaban Ren tentu membuat Arisa sedikit kebingungan. Tapi itu tidak akan berlangsung lama sampai Ren melanjutkan kembali ucapannya. "Kamu sudah memenuhi hatiku Arisa. Aku tak bisa lagi bertahan apa lagi berpaling. Aku hanya ingin mengungkapkannya tak peduli kamu akan memiliki perasaan yang sama denganku. -----" Ren menjeda ucapannya, ia kembali memandang wajah Arisa, mengambil sedikit jarak meski hidung mereka sebenarnya sudah saling melekat. Ren ingin mengungkapkan segalanya dengan Arisa yang mampu melihat pandangan mata Ren yang penuh akan keyakinan. "Tapi, jika kamu merasakan hal yang sama. Maka aku akan menjadi pria yang paling bahagia di dunia ini," sambung Ren lagi yang kini langsung menyambar bibir ranum dari Arisa tanpa mendengar apa jawaban Arisa tentang perasaannya. Ciuman itu berlangsung lambat, bibir yang saling melekat dan debaran jantung yang begitu sibuk berdetak. Ren tak ragu-ragu dengan tindakannya. Meski ia juga merasakan getaran yang luar biasa serta rasa takut dan gugup yang menjalar di seluruh tubuhnya. Tapi, mana mungkin ada pria yang tidak menikmati sebuah ciuman. Apa lagi jika pasangannya itu memiliki paras yang rupawan dengan tubuh yang molek dan indah. Ren pun semakin memanas, ia meraih pinggang Arisa dan melingkarkan lengannya. "Buka mulutmu sedikit," pinta Ren kemudian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD