Qiana menghela napas kasar setelah melihat kalender yang ada diponselnya, gajian masih minggu depan, tapi uangnya benar-benar tinggal satu lembar, seratus ribu.
"bentar lagi, perpecahan terjadi di dompet" Qiana beralih menatap nanar uang seratus ribu miliknya yang sebentar lagi akan terpecah menjadi pecahan-pecahan 'dolar'.
"andai-" belum selesai Qiana berucap, dia langsung menggelengkan kepalanya, mengusir hal yang menurutnya buruk tersebut. -Berandai Valdo mengganti uangnya-
"gak boleh gitu, Qian. Namanya nolong, jangan di pikirin lagi, nanti Allah ganti lebih banyak" pesan Qiana kepada dirinya sendiri. Jika Valdo tidak mengganti uangnya, dia harus percaya jika Tuhan akan memberikan balasan yang lebih besar. Asal dia ikhlas. Sudah terhitung tiga minggu sejak pertemuan dengan Valdo dan hingga saat ini, laki-laki itu belum ada menghubunginya. Itulah yang buruk, harusnya dia tidak boleh mengingat kebaikan yang sudah dia ingat apalagi mengharapkan balasan, takutnya malah jadi tidak ikhlas dan pertolongan yang dia lakukan sia-sia.
"Qi! lo yang post foto terbaru?" Qiana langsung mengalihkan pandangannya, menatap kearah suara.
"bukan, itu Edo yang posting" jawab Qiana.
"tolong lo benerin ya, itu captionnya ada yang typo"
Qiana mengangguk patuh kepada ketua tim. Segera dia melakukan pekerjaan yang perintahkan. Meng-edit caption foto di i********:.
***
Menikah, cepat menikah, segera menikah, menikah dalam waktu dekat. Semua kata yang rutin di ucapkan oleh kedua orangtuanya itu terus memenuhi kepala Valdo. Selama ini, kedua orangtuanya memang tidak pernah menuntut apapun darinya. Mereka sangat membebaskan Valdo untuk memilih dan menjalani hidup seperti yang dirinya sendiri inginkan.
Semua memang karena pamannya yang tukang pamer. Kalau saja sang paman tidak memamerkan cucu barunya kepada kedua orangtuanya. Mungkin orangtuanya tidak akan merengek dan meminta agar dia segera menikah. Valdo belum ingin menikah, bayang-bayang Bunga yang berselingkuh membuat dia belum siap untuk kembali menjalin hubungan. Apalagi berkomitmen serius seperti pernikahan.
Tapi dia juga tidak ingin mengecewakan kedua orangtua yang selama ini selalu mendukungnya. Orangtuanya selalu ada di setiap momen penting dalam hidupnya, salah satunya saat dia mulai merintis restoran, kedua orangtuanya benar-benar sangat mendukung, bahkan juga membantu ketika dia kekurangan modal atau pemasukan yang sangat kecil untuk menggaji para pegawainya, hingga kini bisnisnya berjalan dengan sangat lancar dan cukup besar. Jasa kedua orangtuanya benar-benar sangat besar untuknya.
Ponselnya berbunyi, sebuah notifikasi pesan muncul dari sang ibu yang lagi-lagi mengirim dia pesan dengan topik yang sama.
Ibu
Bang Valdooo, jangan lupa dipikirin calon mantu buat ibu. Ibu tunggu kabar baiknya, segera. Atau mau ibu cariin calonnya? ibu punya banyak kenalan kok.
Menghela napas, Valdo mengacak rambutnya. Lagi-lagi sang ibu menodongnya. Hingga rasa kesal itu harus dia tahan saat pintu ruangannya di ketuk, dan Valdo mempersilahkan orang tersebut masuk.
"permisi pak, untuk kontrak kerjasama dengan pihak burger big apa sudah bapak baca?" tanya Sari, asisten Valdo.
"kontrak?" ulang Valdo.
"iya pak, kontraknya sudah saya berikan tiga hari yang lalu dan saya sudah ingatkan bapak -lagi- kemarin perihal kontrak tersebut"
"saya lupa. Akan saya baca sekarang" jawab Valdo. Gara-gara topik pernikahan, dia jadi kurang fokus terhadap pekerjaan.
"baik pak." Sari kemudian pamit keluar dari ruangan Valdo.
"kontrak?" Ulang Valdo pelan, kata itu tiba-tiba begitu menempel didalam kepalanya dan didetik selanjutnya, seperti mendapat ilham, Valdo menepuk tangannya sekali, wajahnya terkejut karena senang. Akhirnya dia memiliki cara untuk mengabulkan permintaan kedua orangtuanya. Ternyata secepat itu pertolongan bisa datang kepadanya.
"iya, kontrak. Gue cukup nikah kontrak beberapa tahun. Terus gue pisah, cari calon istri lagi yang bener-bener gue pengen." ucap Valdo dengan wajah bahagianya. "tapi siapa cewek yang mau gue ajak nikah kontrak?"
Valdo mengetuk-ngetuk jarinya di meja, kembali berpikir untuk mencari kandidat yang tepat, apakah harus meminta bantuan sang ibu? Valdo jelas langsung menggeleng, tentu saja dia tidak akan melakukan hal itu, bisa-bisa wanita itu melaporkan rencananya kepada sang ibu. Matilah dia, hingga otaknya mengingat satu nama. Qiana!. Perempuan yang sudah menolongnya. Jika Valdo ingat dan perhatikan, dari segi tempat tinggalnya, perempuan itu sepertinya berasal dari keluarga biasa atau mungkin pas-pasan. Selain itu, kalau Valdo perhatikan lebih detail, Qiana juga memiliki tampang lumayan cantik, cukup diberi perawatan sedikit, wajahnya tidak akan kalah cantik dengan Bunga, si mantan kampr*t.
"pas!" Valdo langsung menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi yang dia duduki. Akhirnya, dia bisa tenang, rasanya beban yang menggelayutinya terhempas begitu saja. Luar biasa! Bravo! gila memang. Tapi tidak masalah untuk dicoba.
***
"eh Kak Valdo, ada apa ya?" Qiana cukup terkejut melihat Valdo -sosok yang sempat dia harapkan mengganti uangnya- duduk di depan kosan kecil miliknya.
"bisa kita bicara?" tanya Valdo langsung. Dia sudah cukup lama menunggu dan tidak ingin basa-basi. Dia harus segera eksekusi sebelum desakan untuk menikah kembali hadir dari orang tuanya.
"bicara apa?" Qiana balik bertanya.
"bagaimana kalau berbicara di dalam?"
Qiana melihat ke sekeliling, ada beberapa tetangga yang Qiana tahu tengah mencuri dengar. Dia lalu mengangguk sebagai jawaban. Melangkah lebih dulu, Qiana mengeluarkan kunci kosan dalam tasnya. Membukanya lalu mempersilahkan Valdo masuk.
"silahkan duduk senyaman Kak Valdo" ucap Qiana setelah kembali menutup pintu. Valdo duduk di karpet yang ada dekat kasur. Isi kosan atau mungkin 'kontrakan kecil' ini benar-benar sederhana. Bahkan kamar Valdo di rumahnya jauh lebih besar.
"jadi, Kak Valdo mau bicara apa?" tanya Qiana kemudian setelah ikut duduk.
Valdo menghela napas, katakanlah dia gila karena menawarkan pernikahan kontrak kepada seorang perempuan yang belum dia kenal dekat. Tapi dia juga tidak memiliki cara lain, hanya itu yang ada di otak Valdo.
"jadi?" Qiana mengerutkan kening, meminta Valdo segera berbicara.
"ayo kita menikah" ucap Valdo dengan cepat dalam sekali tarikan napas.
"apa?!" refleks Qiana berteriak.
"bukan pernikahan serius. Pernikahan kontrak" Valdo kembali menjelasakan dengan cepat.
"apa?!" Qiana kembali berteriak. Jawaban pertama Valdo mengejutkan, dan jawaban kedua cukup gila. Qiana benar-benar dibuat terkejut hingga gila dalam satu momen.
"Pernikahan kontrak" ulang Valdo
"Kak Valdo gila?!" lagi-lagi Qiana berteriak.
Valdo langsung menggeleng "aku serius, aku mau kita menikah. Menikah kontrak" ulang Valdo dengan yakin, tidak terlihat sedikitpun keraguan diwajahnya.
Qiana speechless. Bisa-bisanya seseorang mengajaknya untuk menikah kontrak. Mempermainkan sebuah pernikahan yang sakral.
"gak. Aku gak mau!" tegas Qiana langsung menolak.
"kamu gak harus jawab sekarang. Dengar Qian-" Kedua tangan Valdo langsung memegang bahu Qiana, meminta agar perempuan itu menghadapnya. "kita menikah dua tahun, ini gak gratis. Setelah kita cerai, aku akan kasih kamu uang satu milyar, atau lebih. Aku mohon, tolong pikirkan lagi, jangan terburu-buru" lanjut Valdo.
"kak-" Valdo langsung meletakkan jarinya di bibir Qian. Menghentikan ucapan Qiana. Dia tahu Qiana akan menolak. Jadi sebelum penolakan itu kembali keluar, dia harus menghentikannya.
"aku akan datang lagi nanti. Tolong dipikirkan baik-baik. Ini kartu namaku. Aku belum sempat menghubungi kamu karena lupa meminta nomor kamu kepada ibu," Valdo bangun setelah menyerahkan kartu nama miliknya, dia mengusap kepala Qiana pelan sebelum keluar dari kosan sempit itu. Meninggalkan Qiana yang terdiam, masih sangat terkejut.
***
Lagi-lagi Qiana menghela napas kasar, ditatapnya wajah itu dari cermin. Dia tertawa seperti perempuan gila, bukan karena bahagia, tapi tertawa karena tidak percaya bahwa hal bodoh baru saja terjadi dalam hidupnya.
"memang aku terlihat begitu murahan sampe dia nawarin kawin kontrak?" tanya Qiana pada dirinya sendiri.
"gila! Bisa-bisanya aku ditawarin kawin kontrak! Benar-benar gila" omel Qiana.
"gak ada ujan, petir bahkan mendung, bisa-bisanya hal gila itu terjadi ke aku. Dikata hidupku sinetron. Menyebalkan!"
"aku jelas-jelas akan menolak. Gak usah pake mikir. Aku akan langsung nolak!" Qiana benar-benar tengah berapi-api. Harga dirinya terasa hilang, dia seolah dianggap rendah oleh Valdo.
Segera diraihnya ponsel dan kartu nama milik Valdo yang tergeletak diatas kasur, jam baru menunjukan pukul sembilan malam. Laki-laki itu pasti belum tidur. Terlalu siang untuk laki-laki seumur Valdo tidur di jam sembilan. Segera dia mengetik nomor Valdo di layar ponselnya, sisa dua angka terakhir, hingga layar ponsel Qiana berubah karena ada panggilan masuk. Ibunya menghubungi.
"assalamualaikum, neng" suara embut langsung Qiana dengar saat panggilan telepon tersebut dia angkat.
"waalaikumsalam bu"
"neng tos uwih (udah pulang??"
"atos (udah) bu, atos di kosan. Ada apa bu?"
"neng, tadi ada yang nagih hutang lagi. Minta segera di lunasi. Gimana atuh? Ibu jual sawah atau rumah aja ya neng"
Qiana menghela napas. Obrolan dengan sang ibu tidak akan pernah jauh dari hal ini "Bu, kalau sawah di jual, tetep gak bisa lunasin hutang bapak. Bunganya juga gak bakal kebayar. Kalau ditambah jual rumah juga gak cukup. Hutang bapak besar bu. Kalau kita jual, yang ada hutang gak kebayar, rumah sama sawah malah lepas" jelas Qiana, entah sudah berapa kali dia berbicara tentang hal ini dan dia tidak akan bosan. Baginya, sawah dan juga rumah itu sangat penting dan menjual keduanya tidak akan menjadikan itu solusi.
"terus gimana atuh neng, ibu dikasih waktu satu bulan doang"
Qiana diam, meminjam ke bank juga tidak mungkin, dia masih memiliki tunggakan bekas membayar cicilan hutang juga. Semacam gali lobang dan tutup lobang, dan kalau mengajukan lagi, pasti akan sulit.
"neng..." panggil Elis. Memastikan Qiana masih ada di sambungan telepon.
"iya bu" sahut Qiana.
"Gimana neng? Ibu jual aja ya, rumah sama sawah. Terus ibu pindah ke Jakarta, tinggal sama neng"
Qiana menarik napas dalam. Dalam hati mengutuk ayahnya yang begitu jahat. Biar saja dia durhaka. Toh ayahnya juga sosok ayah durhaka "jangan dulu bu. Biar Qian mikir, kalau ada, Qian nanti coba pinjem."
"pinjem kesiapa neng? Kan besar nominalnya. Lagian ibu capek harus ngadepin masalah ini, masalah yang kayanya seumur hidup ibu gak akan pernah selesai"
"siapa aja. Pokoknya ibu tenang dulu, biar Qian juga tenang dan bisa mikir solusinya"
"neng..."
"iya bu?"
"maaf ya, kamu malah nanggung beban berat begitu"
Qian menggigit bibirnya, menahan agar dia tidak menangis. Teringat tangisan sang ibu setiap para penagih hutang itu datang dengan galaknya. Mencaci, menghina, Qiana dan sang ibu begitu kenyang mendengarnya.
"udah bu. Sekarang ibu istirahat. Qian gak mau kalau ibu sakit. Jangan bahas jual rumah atau sawah lagi ya bu. Insyaallah nanti ada jalan keluarnya" ucap Qian dengan suara bergetar. Menahan tangis.
"iya neng. Neng juga, jaga kesehatan"
"iya. Qian tutup ya bu. Assalamualaikum"
"waalaikumsalam"
Sambungan telepon terputus. Qiana langsung menangis dengan kencang. Tidak peduli jika tangisnya akan didengar oleh penghuni kosan sebelahnya. Kata-kata benci keluar dari mulutnya untuk sang ayah yang tidak tahu ada dimana.
Laki-laki yang begitu jahat dan tega. Laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab terhadap apa yang dia lakukan dan terhadap keluarganya sendiri. Bukan malah kabur setelah membuat keributan dan hutang yang menggunung. Qiana benci sosok itu. Meskipun ayah sendiri, tapi sosok itu penoreh luka paling dalam untuknya dan juga ibunya. Dia benci. Sangat.
***
Qiana membuka matanya yang terasa begitu berat, setelah semalam menangis cukup lama, Qiana tertidur begitu saja. Kepalanya juga terasa pusing. Hari ini dia akan membolos. Dia tidak bisa bekerja dengan kondisi seperti ini. Pikirannya kacau, kepalanya sakit, tubuhnya lemas. Kalau dipaksa bekerjapun, dia tidak akan fokus dan hanya akan menerima omelan.
Setelah mengirim pesan kepada teman kantornya tentang dia yang tidak akan masuk kerja. Qiana lalu beranjak menuju kamar mandi untuk gosok gigi dan mencuci wajahnya.
Qiana mendengar bunyi mangkuk yang di pukul dengan sendok, tanda penjual bubur sudah datang. Teringat semalam dia tidak makan, segera Qiana mengambil dompet dalam tasnya lalu menarik uang sepuluh ribu.
"pak mau satu" pesan Qiana.
"Qi, gak kerja?" tanya Ira, penghuni kamar kosan yang ada di sebelah kanan kosan Qiana.
"lagi kurang sehat Ra, libur dulu"
"semalem kamu yang nangis?"
Qiana tersenyum tidak enak "maaf ya kalau ganggu"
"gak apa-apa. Abis putus sama pacar?"
"engga. Mana ada pacar"
Ira tertawa pelan "dikira abis putus"
"gak ke kampus Ra?" Qiana mencoba mengubah arah pembicaraan.
"mau, tapi nanti siang" jawab Ira. Perempuan itu masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir. Dia dan Qiana sebenarnya ada di angkatan yang sama, hanya saja Qiana sudah lulus sedangkan Ira masih berkutat dengan skripsi. Bukan karena dia bodoh, hanya terlalu malas. Itu kata Ira sendiri.
Setelah pesanan bubur mereka siap dan membayarnya. Segera mereka kembali ke kosan masing-masing. Qiana mengisi perutnya terlebih dahulu dengan air hangat dari dispenser sebelum menyantap bubur.
"mau seenak apapun. Kalau mood lagi ancur begini semua hambar" keluh Qiana setelah menelan suapan pertama buburnya. Tapi bagaimanapun, Qiana harus terus menyuapkan bubur itu kedalam mulutnya. Tidak mungkin dia membuangnya hanya karena moodnya buruk. Sayang uang sepuluh ribu miliknya.
Ditengah kegiatan sarapan yang malas tersebut, mata Qiana menangkap kartu nama milik Valdo. Kepalanya langsung menggeleng guna mengusir bisiskan-bisikan setan. Dia masih punya harga diri. Belum segila itu untuk menerima tawaran Valdo. "iya. Aku masih punya harga diri. Pernikahan bukan buat mainan. Pernikahan itu sakral dan aku mau hanya sekali seumur hidup!" yakin Qiana.
"tapi uangnya lumayan. Satu milyar" bisikan setan itu kembali terdengar.
"Engga! Gue belum segila itu buat nerima tawaran Kak Valdo!" Qiana mencoba melawan bisikan lagi.
"satu milyar, bisa bayar hutang. Gak perlu jual rumah dan sawah!"
"ibuuuuuuuuuuuuu" teriak Qiana karena bisikan setan itu semakin menjadi. Semakin menggiurkan dan bisa mempengaruhinya. Tidak!!!
***