BAB 20

1079 Words
BAB 19   Pagi mulai menyongsong. Perjalanan Ko Ji untuk sampai ke desa juga tidak mudah. Di jalan mereka harus menghadapi beberapa zombie juga untuk bisa kembali. Meski malam tidak terjadi pergerakan dari para zombie, tapi mereka sangat sensitive dengan suara. Sehingga kemunculan Ko Ji dengan mobilnya tentu menarik perhatian mereka yang ada di pinggir jalan atau bahkan menghalangi jalan.   Sedang di ujung sana, para penduduk terutama bibi Bae, tentunya sudah merasa pasrah dengan keadaan. Satu jam sudah berlalu. Lalu gerbang benar-benar telah tertutup sempurna di seluruh tempat di desa Sobong. Kawat-kawat yang terbuat dari besi anti karat dahulunya telah dibuat untuk menangkal serangan binatang seperti babi hutan untuk masuk ke ladang mereka. Besi tersebut sangat kuat hingga sekarang. Setiap tiang yang tingginya mencapai lima meter itu dialiri oleh listrik bertegangan tinggi jika diaktifkan. Dan pagar kawat besi itu mengitari desa hingga mencapai ujung pintu selatan yang jaraknya sama luasnya dengan desa kecil Sobong ini.   Untuk pintu sendiri menggunakan pintu beton yang setara dengan pintu anti peluru. Sangat kuat dan kokoh dan takkan bisa roboh meski diserang oleh ratusan gajah sekalipun. Karena itulah untuk menutupnya saja membutuhkan waktu hingga satu jam lamanya.   Pembangunan pagar ini diinstruksikan oleh kepala desa mereka yang terdahulu. Dimana, kepala desa tak menghendaki kemajuan jaman merusak budaya dan warisan nenek moyang yang ada di desa Sobong. Di jaman ini, banyak sudah desa-desa yang tersingkir dan telah terpengaruh dengan modernisasi. Menyisakan sedikit desa yang alami dan asri. Karena alasan itulah, desa Sobong dan beberapa desa lain mengolah dan mengendalikan ekonomi sendiri. Mereka membangun dan menolak ikut dalam wacana pemerintah untuk membuat desa hidup bersama dengan gedung-gedung tinggi. Desa Sobong lantas membangung tembok sebagai bentuk protes kebebasan berpendapat kepada pemerintah. Dan pertama kalinya tembok ditutup saat itu ketika walikota menginginkan desa Sobong dihancurkan.   Dalam perdebatan yang sengit, akhirnya pemerintah pusat mengabulkan beberapa keinginan desa Sobong. Menimbang maraknya aksi protes dan juga dukungan terhadap desa-desa kecil, akhirnya desa inipun dijadikan mascot negeri  ini dan juga dinobatkan sebagai pusat warisan dunia untuk negeri ini. setelah hari itu, gerbang tak pernah diturunkan lagi. Tidak pernah ada lagi kekacauan setelah hampir tiga puluh tahun berlalu.   Lantas di masa genting seperti ini, seluruh penduduk desa sungguh sangat bersyukur bisa melindungi diri mereka dan keluarga dengan adanya tembok tinggi tersebut. Meski begitu tak semua warga desa yang bersyukur telah selamat dari serangan zombie. Nyatanya bibi Bae masih terpukul dengan belum kembalinya kedua keponakan serta kedua anaknya.   “Aku tidak terima ini! tidak adil! Kenapa kalian tak mau menunggu anak-anakku kembali!”   “Istriku..sudahlah –“   Paman So Man berusaha menenangkan istrinya. Namun situasi dan kondisi psikis bibi Bae tentu saja takkan mendengarkan bujukan apalagi rayuan siapapun. Untuk melampiaskan kekesalannya, bibi Bae memukul-pukulkan tangannya terus menerus ke gerbang beton itu. Sambil meringis sedih, ia terus meminta pintu dibukakan agar anaknya bisa kembali.   “Anakku ada di luar sana. Mereka pasti ketakutan. Tolong buka pintunya. Aku ingin menjemput anakku.”   Tangisan bibi Bae mencubit hati orang-orang yang mendengarkannya. Tapi bagaimana larutnya kesedihan itu, tak ada yang bisa mereka lakukan. Karena ini semua demi hajat orang banyak yang harus dilindungi.   “Anakku –“   “Sayang. Bersabarlah. Aku yakin mereka selamat di sana.”   Paman So Man masih berusaha membujuk istrinya. Meski dengan tubuh yang lelah dan hati yang berduka, pria enam puluh tahun itu tetap berusaha tegar di depan semua orang. Terutama untuk sang istri tercinta yang sangat terpukul hatinya.   “Bagaimana bisa kau setenang ini! apa yang kau lakukan di sini! Seharusnya kau menolong mereka!” bentak bibi Bae yang meluapkan kekesalannya pada sang suami. Meski terus disalahkan, paman So Man hanya diam mendengarkan. Ia sama sekali tak membantah apalagi melawan. Semua demi menenangkan dirinya sendiri agar tak ikut larut dalam kesedihan dan berusaha membangkitkan kembali suasana hati sang istri yang mungkin akan sedih berlarut-larut.   “Lihat! Ada banyak orang di sana!” teriak salah satu warga yang mengintip dari pagar kawat.   Mereka melihat sesuatu terjadi di luar. Terlihat satu orang berlari menuju gerbang desa. Pria tersebut tampak kusut dan ketakutan. Menghindari sesuatu di belakangnya. Tak lama, muncul lagi beberapa orang yang juga dalam keadaan yang sama. Mereka berlari dengan kencang menuju gerbang dengan wajah penuh ketakutan.   “Mereka datang! Mereka datang ke sini!”   “Siapa? Siapa?”   Keributan itu disadari oleh bibi Bar dan suaminya. Mereka kemudian ikut mengintip dari pagar kawat untuk melihat apa yang sudah terjadi. Ternyata yang datang meminta pertolongan bukan hanya satu atau dua orang saja. Melainkan ada banyak yang lainnya ikut berlari ke gerbang. Masalahnya, mereka tak bisa begitu saja masuk ke dalam desa. Karena pintu tersebut benar-benar telah tertutup dan membutuhkan waktu yang lama pula untuk membukanya kembali.   Teriakan minta tolong terus bersahutan. Mereka meminta untuk dibukakan pintu. Mendengar dan melihat hal itu, kepala desa masih belum memberi tanggapan. Ia masih memantau apakah yang diluar sana benar-benar manusia yang meminta pertolongan, atau malah zombie yang tengah menyamar.   Kehebohan pun terjadi. Dari banyaknya orang yang berlarian, bibi Bae melihat seseorang yang ia kenal dengan pasti. Kedua orang tersebut lari ketakutan untuk menghindari sesuatu di belakang mereka yang ternyata adalah para mayat hidup yang mengejar mereka.   Kehebohan semakin menjadi ketika zombie tersebut berhasil menangkap salah satu dari mereka dan hal tersebut disaksikan oleh para warga desa Sobong. Satu persatu mereka ikut bergidik ngeri melihat zombie-zombie tersebut. Mereka mengejar apapun dan memakan siapapun yang mereka lihat.   Bibi Bae yang menyaksikan itu, tiba-tiba tersenyum bahagia. Ia lantas mendekati kepala desa setelah melihat anak tertuanya ada diantara mereka.   “Buka pintunya pak. Anakku ada di luar sana.”   Bibi Bae memohon dengan penuh pengharapan. Apa yang dikatakan oleh bibi Bae pun dibenarkan oleh para warga. Mereka ikut menyakinkan kepala desa bahwa benar anak keluarga Han ada di luar.   “Ini sudah terlambat bu. Kita tak bisa membuka gerbangnya. Lihat mereka dikejar oleh siapa? Ini berbahaya!”   Begitulah ucapan kepala desa terhadap rengekan bibi Bar tersebut. Melihat tidak adanya rasa simpati yang muncul dari kepala desa tersebut, So Man yang sejak tadi diam karena tak ingin terlibat ataupun membuat keributan pun tiba-tiba mengancam kepala desa tersebut.   “Apa kalian tidak mendengar teriakan minta tolong itu? Apa sudah tidak ada hati nurani dalam diri kalian?”   Sambil bertanya, So Man dengan kencang pula memiting leher pemimpinnya yang sama sekali tak mengendahkan permohonan istrinya tersebut. Dalam keadaan kacau balau, semua mulai menunjukkan sifat asli mereka.   Ada yang menyerang ada pula yang mencegah. Tak sedikit pula yang pasif dengan memilih mengamankan diri mereka sendiri. Lantas..siapakah yang akan bertahan dalam situasi ini? Pembangkang atau penurut?   . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD