T W O

1104 Words
Elena baru saja bangun ketika sinar matahari masuk melalui celah gordennya yang terbuka karena tertiup angin. Ia lantas mengerjap pelan sambil menghalangi sinar matahari dengan tangannya. Lalu dengan tubuh yang terasa semakin sakit karena terjatuh kemarin, ia pun memilih untuk segera bangun meski harus menahan sakit di pergelangan kakinya. Dengan langkah yang tertatih, ia berjalan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil minum lantaran kerongkongannya yang terasa kering. "Selamat pagi, Nona." Salah satu pelayan menyapanya, yang dibalas Elena dengan anggukan pelan. Untuk sejenak Elena memilih untuk duduk di kursi makan karena tidak kuat berdiri terlalu lama. Ia pun meringis sambil mengusap pergelangan kakinya yang kini membiru. "Nona ingin sarapan apa? Biar saya siapkan." "Buatkan saja aku s**u hangat dan juga roti untuk sarapan. Dan tolong antar ke halaman belakang." ucap Elena yang langsung dituruti oleh pelayannya. Setelah itu Elena pun berjalan pelan menuju halaman belakang rumahnya untuk duduk di sana sambil menikmati matahari pagi. Elena duduk di salah satu kursi santai, menyandarkan punggungnya ke bantalan kursi lalu memejamkan matanya, membiarkan matahari pagi menyinari kulitnya. Ketika mendengar suara langkah kaki, Elena lantas membuka matanya, mengerjap beberapa saat untuk memperjelas pengelihatannya. Dan ketika pandangannya jelas, ia seketika menegakan punggungnya saat melihat pria kemarin yang kini berada di seberang kolam renang, berdiri di depan paviliun yang di sediakan untuk para pelayan dan juga bodyguard keluarganya. Elana pun bergegas berdiri, mengabaikan rasa sakit di kakinya untuk menghampiri pria itu dengan emosi yang tertahan sejak kemarin. Sialan! Bagaimana bisa pria itu berada di sini? Apa dia mengikuti Elena sampai ke sini? "Hei, Kau!" panggil Elena sinis, membuat pria itu yang tadinya tengah meregangkan otot tubuhnya langsung menoleh, menatap Elena dengan kening berkerut. "Ya?" "Kenapa kau bisa ada di rumahku?! Kau pasti mengikutiku 'kan?" tuding Elena. Dahi pria itu semakin mengernyit melihat Elena yang menunjuk-nunjuk padanya. Ia lantas menatap wanita di hadapannya itu dari atas sampai ke bawah, dan ia langsung menyadari jika wanita ini adalah orang yang ia bantu kemarin malam. "Jawab aku! Kenapa kau bisa ada di sini?!" tanya Elena lagi, menuntut pria di depannya ini untuk segera menjawab. Tapi pria itu hanya menatapnya lekat tanpa berniat menjawab. Elena berdecak, ganti menatap sang Ayah yang baru saja keluar dari paviliun. "Daddy!" menatap sinis pada pria tadi, Elena kemudian mendekati Ayahnya dengan langkah tertatih. "Kau sudah bangun, sayang?" Elena mengangguk pelan sambil merangkul lengan Ayahnya itu. "Dia siapa, Pa? Kenapa bisa ada di sini?" ia menunjuk pada pria tadi. Christoper mengikuti arah tunjuk Elena dan tersenyum tipis saat pria tadi menunduk hormat padanya. "Oh. Dia Jacari, bodyguard baru kita." "Apa?!" Elena membelalak terkejut, menatap Jacari dengan pandangan tak percayanya. Sialan! Bagaimana bisa pria itu menjadi bodyguard keluarganya?! "Dan dia juga bertugas untuk mengawalmu kemanapun kau pergi." "Papa!" Elena menunjukan raut protesnya. "C'mon! Aku bukan anak kecil lagi yang harus dikawal bodyguard." "Tidak, sayang. Ini sudah menjadi kesepakatanku dan juga Mamamu." "Tapi–" "Ayolah, ini semua demi kebaikanmu. Kau tahu 'kan jika Papa sangat menyayangimu dan tidak ingin sesuatu terjadi padamu." "Ayolah, Pa..." Elena menunjukan wajah memelasnya, berharap jika sang Ayah akan sedikit melonggarkan penjagaannya terhadap Elena, namun peraturan tetaplah peraturan, tidak bisa diganggu gugat lagi. Jadi Elena hanya bisa menghela nafas panjang sambil menatap melas Ayahnya yang berjalan menuju Jacari untuk menepuk pundak pria itu singkat. Setelah Ayahnya pergi, kini tinggal Elena dan Jacari di sana. Keduanya saling diam, membiarkan keheningan melanda. Tapi itu hanya beberapa saat saja, karena setelahnya Jacari lebih dulu melangkah mendekat. Elena sontak memundurkan langkah, sialnya ada kolam renang di belakangnya, jadi ia tidak bisa mundur lebih jauh lagi. "Mau apa kau?" tanya Elena dengan dagu yang terangkat. Matanya memandang Jacari dengan sinis, begitu terlihat sekali rasa tidak suka yang ditunjukan oleh wanita itu. Jacari menggeleng pelan, ia yang tadinya berniat menanyakan keadaan kaki Elena kini memilih untuk memundurkan langkah, menunduk hormat pada Elena lalu berbalik memasuki paviliun tempatnya tinggal untuk sementara waktu. Sementara Elena hanya bisa menganga melihat Jacari yang pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa. Bodyguard kurang ajar! Bagaimana bisa dia pergi begitu saja saat sang majikan masih berdiri di sini?! Elena benar-benar tidak habis pikir dengan Ayahnya yang dengan mudah merekrut Jacari sebagai bodyguard. Lihat saja nanti, Elena akan membuat Jacari tidak betah bekerja di sini! Lantaran suasana hatinya yang memburuk setelah bertemu dengan Jacari, Elena memutuskan mengurungkan niatnya untuk bersantai dan segera masuk ke dalam rumah. *** Tersenyum puas melihat pantulan dirinya yang tampak mengagumkan dengan gaun indah yang ia pakai. Rasanya ia tidak sabar untuk segera pergi menghadiri acara ulang tahun teman Felix. Sebenarnya bukan hanya karena itu, tapi karena ingin menunjukan pada Mellisa—mantan pacar Felix—bahwa ia lebih pantas bersanding dengan pria itu. Cih! Elena benar-benar membenci tatapan Mellisa tiap kali mereka bertemu. Lamunan Elena tersadar ketika ponsel yang ia letakan di atas meja rias pun berbunyi. Ia pun melirik ponselnya, tersenyum ketika menemukan nama Felix di sana dan memilih untuk menjawab panggilan itu dengan antusias. "Felix!" "Aku sudah di depan. Keluarlah." Dan sambungan pun terputus, membuat Elena mengerucutkan bibirnya kesal lantaran Felix yang langsung memutuskan panggilan begitu saja. Padahal tadinya Elena berharap pria itu akan mengatakan kata sayang seperti saat pertama mereka pacaran dulu. Ish! Tak ingin membuat Felix terlalu lama menunggu, Elena pun bergegas keluar kamar sambil membawa tas tangannya. Dengan kaki yang masih sedikit sakit—tapi ia tahan lantaran ingin terlihat cantik dengan high heels miliknya—Elena berjalan pelan menuruni tangga. "Ma, Pa aku pergi dulu." ucap Elena ketika menemukan kedua orang tuanya yang bersantai di depan TV. "Bersama Felix?" "Iya. Dia sudah menunggu di depan." "Dasar tidak sopan!" Christoper berecih pelan. "Kapan dia akan berubah? Tiap kali mengajakmu pergi, ia tidak pernah mau masuk ke rumah." "Itu karena dia takut dengan Papa!" Christoper mengangkat satu alisnya. "Kenapa harus takut? Apa aku terlihat menyeramkan?" Agatha terkekeh pelan, melirik suaminya yang kini memasang tampang tidak bersalahnya. Padahal Agatha yakin, jika Christoper pasti mengingat alasan yang membuat Felix takut. Ya lagi pula siapa yang tidak takut jika langsung ditodong dengan pistol di hari pertama bertemu. "Sudahlah. Aku sudah terlambat." "Pergilah. Mulai sekarang Papa bisa tenang karena ada Jacari yang akan menjagamu." Elena membelalakan matanya, menoleh pada Jacari yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya. "Seriously?! Bahkan saat aku bersama Felix?" "Saat bersama Felix pun kau masih bisa terluka, El." Christoper melirik pergelangan kaki putrinya. "Bahkan demi dia kau rela menahan rasa sakit." "Pa apa dia harus ikut?" Elena memelas, menunjuk pada Jacari. "Kau hanya punya dua pilihan, biarkan Jacari ikut atau tidak usah pergi." Elena berdecak kesal. Ia kemudian melirik sinis pada Jacari dan bergegas pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa pun lagi. Sementara di belakangnya, Jacari malah mengikutinya. Argh! Sialan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD