Chapter 7

1308 Words
"Lepasin!"             Hilya dan Reno menatap ke arah seseorang yang baru saja datang, Davren. Cowok itu melangkah mendekat, tangannya terangkat, dan menarik tangan Reno yang mencengkram dagu Hilya.             "Laki nggak bakal main tangan sama perempuan." Davren berdiri di depan Hilya, menyembunyikan gadis itu di balik punggungnya.             Membuat hati Hilya kembali menghangat dibuatnya.             Reno tertawa kasar. "Udah mulai belain nih cewek lo?!"             Davren menaikan sebelah alisnya. "Dia perempuan." Perkataan Davren tersebut secara halus mengulang ucapannya sebelumnya.             "Lo pikir gue buta? Gua tau dia perempuan."             Davren tersenyum miring. "Cinta ditolak, tangan bertindak."             Bugh!             Empat kata itu, mampu memancing emosi seorang Reno pada titik maksimal. Tanpa aba-aba, cowok itu melayangkan bogemannya pada Davren membuat Hilya yang ada di belakang punggung cowok itu berteriak histeris.             Tubuh Davren tidak bergeming sedikit pun saat bogeman telak Reno menghantam pelipisnya.             Tanpa mereka sadari, sekarang anak-anak Almo sudah berkumpul memadati belakang gedung perpustakaan, hanya sekedar ingin melihat drama dadakan itu.             Davren sama sekali tidak melawan, cowok itu hanya diam. Namun, tatapannya yang seakan menginjak-nginjak harga diri Reno membuat cowok itu kembali melayangkan tinjuannya.             Bugh!             "Kak Reno!" Davren menahan tangan Hilya saat gadis itu akan maju, tetap menjaga gadis itu ada di balik punggungnya.             Reno berdecih, menatap Davren dengan gaya congkahnya. "Mulai berada di bawah kendali nih cewek munafik lo?"             Davren hanya diam, pernah dengar pepatah diam itu emas? Bukan itu alasan Davren tetap diam, tapi diam adalah cara Davren membuat makhluk di hadapannya ini malu dengan sendirinya.             "Udah mulai bisu juga lo? Oh gue tau, lo takut?!"             Reno yang geram, kembali melayangkan tinjuannya. Namun, kali ini Davren menahan kepalan tangan itu sebelum menyentuh wajahnya.             "Cuman gue." Davren membisikan dua kata yang membuat siapa pun yang mendengarnya akan memiliki pendapat yang berbeda tentang arti dua kata itu, termasuk Hilya.             Setelah itu, Davren melepaskan tangan Reno yang ditahannya, lalu beralih menggenggam Hilya dan membawa gadis itu menjauh.             "Dav—" Davren menghentikan langkahnya, melepaskan tangannya yang menggenggam Hilya. Saat ini mereka sudah berada di depan perpustakaan.             Detik berikutnya, tanpa berkata apa pun Davren melangkah pergi, sebelum ia lepas kendali dan bertindak lebih jauh lagi. Cowok berbadan tegap itu mengabaikan teriakan Hilya yang menyebut namanya.             "Hilya!" Hilya tersentak saat Lila tiba-tiba saja memanggilnya. Lila dan Feni sudah berada di hadapan Hilya saat ini.             "Gue nggak nemuin si anjir, gue udah cari di kelasnya, terus di kantin juga. Sembunyi tuh anak!" Lila mulai bercerocos mengomel, kedua tangannya bertengger di pinggang.             "Lya, dagu lo kenapa?" Feni yang menyadarinya lebih dahulu berucap membuat perhatian Lila terfokus pada dagu Hilya yang terlihat ada luka berbentuk lengkungan kecil seperti bekas kuku yang ditancapkan.             Mata bulat Hilya mengerjap. "Nggak papa kok. In—"             "Davren, 'kan? Pasti Davren deh, pantesan kita cari nggak nemu, Lil." Feni memotong ucapan Hilya.             "Nggak, bukan. Bukan." Hilya dengan cepat membantah sebelum Lila dan Feni mengambil tindakan lagi.             Lila mengerutkan keningnya, menatap Hilya penuh selidik. "Lo mau lindungi dia lagi?" tuduh Lila.             Hilya menggelengkan kepalanya dua kali secepat kilat, tidak memberikan kesempatan baik pada Lila maupun Feni berpikiran buruk tentang Davren.             Feni memicingkan matanya, fokus pada luka kecil yang ada di dagu Hilya. "Dagu lo ...." Gadis itu menyipitkan matanya. "Kenapa?"             Lila juga ikut menatap dagu Hilya, hanya satu nama yang ada di kepala Lila saat ini. "Dav—"             "Sumpah gue nggak nyangka kalo Kak Reno sampe senekat itu."             "Iya, masa sampe main tangan gitu. Kasihan Hilya."             Lila dan Feni saling pandang, sedangkan Hilya memejamkan matanya pasrah. Percayalah, masalah ini akan sangat panjang nantinya jika sampai Lila dan Feni turun tangan.             Lila memberi kode pada Feni yang disambut gadis itu dengan senyuman miring.             "Hey!" Feni berteriak nyaring memanggil dua cewek yang berbincang tadi.             Dua cewek itu menoleh, menatap Feni dengan kening berkerut. Salah satu dari mereka menunjuk dirinya sendiri seakan bertanya 'Gue?'             "Hilya kenapa?" tanya Feni to the point karena jika bertanya dengan Hilya pasti gadis itu menjawab 'Gue nggak papa' atau 'Nggak terjadi apa-apa'             "Lo nggak liat?" tanya salah satu dari cewek itu.             Feni menaikan sebelah alisnya, lalu menggeleng.             "Kan lo sahabatnya, masa nggak tau?" Cewek lainnya menyahut, cewek bermata sipit.             Feni melipat kedua tangannya di depan d**a. "Liat tuh Lila, udah kaya macan kekurangan makan daging. Mau gue atau Lila yang nanya?"             Kedua cewek itu mengikuti arah pandangan Feni. Feni memberi kode pada Lila, membuat Lila menampilkan wajah sangarnya yang sebenarnya lucu jika dilihat dari sudut pandang Hilya dan Feni.             "Jadi lo nggak nonton acara live tadi? Kak Reno ngebawa Hilya ke belakang gedung perpustakaan, terus dia kaya main tangan gitu," jelas cewek bermata sipit yang memang menonton paling depan tadi.             Cewek berkacamata di sampingnya mengangguk. "Untung ada Davren. Lo tau, Davren nyelamatin Hilya. Sumpah, sweet banget!"             "Mau digituin."             "Gue juga mau."             "Kita mau."             Feni mengerutkan keningnya saat kedua cewek di hadapannya ini berseru sambil menatap ke atas menerawang, menghayal berada di posisi Hilya.             "Bukan Davren yang jahatin Hilya?"             Kedua cewek itu melotot ke arah Feni yang baru saja mengata-ngatai idola mereka, oppa versi Indonesia mereka. Enak saja!              "Ah udah lah, bye!" Feni berbalik, berlari ke arah Lila dan Hilya.             Tong Tong Tong!             Dalam hati, Hilya bersyukur karena lonceng pertanda dimulainya pembelajaran berdering.             "Ke kelas, yuk?" ajak gadis itu dengan senyuman manisnya, tidak merasa terganggu sedikit pun dengan luka kecil di dagunya.   ♡♡♡                "Lil, janji sama gue jangan mikirin rencana buat ngerjain Kak Reno."             "Negative thinking mulu lo sama gue."             "Eh bukannya tadi lo mau ngajak gue bocorin ban motornya?" Feni bertanya tanpa menatap Hilya atau pun Lila, gadis itu fokus pada handphonenya.             "Tuh, kan! Dosa lo udah banyak, Lila. Udah berapa kali lo ngerjain orang-orang karena gue sama Feni." Hilya tidak meragukan solidaritas persahabatan mereka bertiga, apalagi Lila. Gadis itu tidak pernah takut ataupun perhitungan saat membantu Hilya ataupun Feni.             Namun, yang paling merepotkan adalah Hilya karena Hilya yang paling sering mendapatkan masalah di antara mereka bertiga. Tidak jarang orang-orang mengatakan Hilya memanfaatkan sahabat-sahabatnya, mungkin Lila dan Feni tidak pernah mendengarnya karena orang-orang hanya berani berbisik di depan Hilya, saat tidak ada Lila maupun Feni.             Bukan hanya itu, mereka juga mengatakan Hilya menjadikan kedua sahabatnya itu sebagai pion agar Hilya si peri cantik tetap terlihat sempurna tanpa cela.             Hilya menghela napasnya, mengambil kotak bekal dari laci mejanya, membuat Lila dan Feni melotot.             "Buat Davren lagi?"             "Bukan," sahut Hilya.             Hilya menatap kotak bekal berwarna putih yang berisi cup cake itu, Hilya pernah berjanji pada Adlan akan membuatkan cup cake untuk cowok itu. Karena semalam Hilya sangat bahagia, moodnya memasak tiba-tiba saja datang.             "Terus?"             "Udah, ke kantin aja yuk." Hilya bangkit dari duduknya, membawa kedua sahabatnya itu menuju kanti meski dengan jalan tertatih.             Hilya tersenyum cerah saat melihat meja empat most wanted boy itu, melangkah mendekat diikuti Lila dan Feni.             "Eh Peri cantik," sapa Aaric yang menyadari kehadiran Hilya cs terlebih dahulu.             "Wah ada peri-peri yang lain juga nih." Aaric mengedipkan matanya ke arah Lila.             "Fen," sapa Adlen pada Feni.             "Adlan," panggil Hilya membuat kini bukan hanya Adlan, namun, Davren pun menatap gadis dengan rambut dikuncir itu.             "Gue?" Adlan menunjuk dirinya sendiri membuat Hilya terkekeh pelan.             "Adlen aja deh," ucap gadis itu.             "Sorry-sorry aja ya nih, Dav. Peri cantik yang mau, gue bisa apa?" Adlen membusungkan dadanya pongah mendapat jitakan dari kembarannya.             Hilya mengulurkan kotak bekalnya ke arah Adlan. "Sesuai janji gue," ucap gadis dengan senyuman manisnya.             Adlan mengerutkan keningnya tidak mengerti, namun, menerima saja.             "Cup cake."             "Njir, gercep lo nikungnya tai." Aaric bersorak sambil menggebrak-gebrak meja.             "Buat Davren nggak ada, Lya?" sarkas Adlen sambil menertawakan Davren yang sudah fokus kembali pada handphonenya.             Hilya melirik Davren, melihat bagaimana reaksi cowok itu yang seperti biasanya. Diam. Tidak peduli dengan sekitarnya.             Gadis itu tersenyum ke arah Adlen. "Buat lo ada kok, Len."             "Wadaw, peka ternyata doi." Adlen langsung menyambar kotak bekal itu dari tangan kembarannya dan membukanya.             "Niat bikin nggak si, peri cantik?" Aaric bersuara saat melihat semua cup cake itu bertema Hello kitty.             Dengan menahan tawanya, Hilya dan Adlen saling lirik sedangkan Adlan menatap dua orang itu dengan sinis.             "Sialan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD