Hilya tersenyum tipis di balik punggung Davren, perlahan gadis itu mengeratkan pelukannya pada leher Davren, matanya terpejam, menikmati setiap tetes hujan yang membawa kebahagian tiada tara. Hujan kembali menjadi saksi kebahagiannya, semoga saja hujan tidak sekejam itu sampai-sampai kembali menjadi saksi dukanya.
Hilya bersyukur pada supirnya yang tidak bisa menjemput, Hilya juga bersyukur pada handphonenya yang mati, dan Hilya pun bersyukur pada beling yang melukainya itu.
Hilya tahu hal ini akan terjadi, Davren tidak akan membiarkannya terluka seperti tadi. Davren tidak pernah berubah, masih Davren yang dulu, Davren yang berhati lembut. Namun, melindungi dirinya sendiri dengan sikap acuh dan dingin.
Davren menolehkan kepalanya ke belakang, bersamaan dengan itu Hilya membuka matanya. Netra kelabu mereka beradu, berteriak memberitahu rasa yang tak terucap, membelenggu satu sama lain.
Manik mata yang berbeda dengan sorot yang berbeda pula. Namun, menyatakan satu hal yang sama. Namun, sayang sang pemilik buta tentang apa yang dibisikan tatapan.
Hanya sepersekian detik, Davren kembali menatap ke depan dan mempercepat langkahnya menuju gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat.
Davren mengetuk jendela di samping gerbang yang berhubungan langsung dengan pos satpam. Pak Dharma yang kebetulan mendapat tugas berjaga hari itu membulatkan matanya saat melihat Davren dan Hilya yang basah kuyup, terlebih Hilya yang berada di punggung Davren. Terlihat pucat.
"Kenapa?" tanya Pak Dharma yang sebenarnya tidak dapat didengar oleh Davren. Namun, gerakan mulutnya dapat Davren pahami.
"Buka, Pak!" Davren berbicara sambil menggerakan tangannya memberi isyarat, ragu kalau suara terdengar.
Pak Dharma yang mengerti dengan gerakan tangan Davren, langsung membukakan gerbang. Davren sudah masuk ke dalam area sekolah dan berdiri di hadapan Pak Dharma.
"Boleh pinjam kunci UKS?" tanya Davren datar tanpa intonasi.
Pak Dharma mengerutkan keningnya. Namun, saat melihat ke arah kaus kaki Hilya yang sudah sangat merah. Ia langsung mengerti dan mengambilkan kunci yang diminta Davren di dalam pos.
"I-ini." Pak Dharma mengulurkannya dengan tangan bergetar karena gugup. Davren menerimanya, lalu mengangguk sebagai sopan santun sebelum akhirnya berlalu mempercepat langkahnya menuju menuju ruang UKS yang ada di bagian barat sekolah.
Hembusan napas Hilya yang ada di punggungnya terasa tidak beraturan, membuat Davren bukan lagi melangkah dengan cepat. Namun, berlari.
Davren mendudukan Hilya di atas kasur, mengambil selimut dan membalut tubuh gadis yang menggigil itu. Satu hal yang Davren ingat, Hilya sangat menyukai hujan. Namun, jangan lupakan tubuhnya yang lemah dengan hawa dingin.
Ceroboh. Bodoh. Dua kata itu yang diucapkan batin Davren.
Untuk apa Hilya sok pahlawan membantunya, lihatlah sekarang. Davren tidak selemah itu sampai-sampai tidak bisa hanya melawan orang-orang yang menyerangnya itu.
Davren bergegas mengambil kotak P3K dan kemudian berlutut di hadapan Hilya, mengangkat kaki gadis itu ke atas pahanya. Sebenarnya bisa saja Davren membawa Hilya ke rumah sakit, tapi jarak rumah sakit jauh dari tempat mereka berada tadi dan Davren pun hanya membawa motor. Sangat tidak mungkin jika mereka pergi ke rumah sakit dengan keadaan Hilya sekarang menggunakan motor.
"Awww!" jerit Hilya saat Davren baru menyentuh belingnya. Gadis itu memejamkan matanya, mencengkram kuat pahanya, menahan sakit di kakinya. Bibirnya yang pucat, digigitnya.
Davren meraih tangan Hilya yang terasa sangat dingin, meletakan tangan putih pucat itu di atas pundaknya, lalu kembali pada aktivitasnya untuk mencabut beling tersebut.
Butuh beberapa waktu agar Davren dapat mencabutnya, tidak mungkin jika Davren asal mencabutnya saja, yang ada lukanya nanti bertambah besar.
"Ssttt." Ringis Hilya saat Davren melepaskan kaos kakinya dan mulai membersihkan luka Hilya lalu mengobatinya.
Meskipun Hilya meringis, tidak ada air mata sedikit pun di mata gadis itu. Seakan rasa sakit di kakinya itu tidak cukup hebat untuk membuat gadis sepertinya menangis. Ya, begitulah faktanya.
Terkadang Hilya bisa menangis tanpa alasan jelas. Namun, hanya saat sendiri. Ia tidak pernah menangis di hadapan orang lain, menurutnya ia sudah cukup lemah, tidak ingin memperlemah pandangan orang padanya dengan air mata.
Dan terkadang saat kita bersedih, memang banyak yang menanyakan alasannya. Tapi tidak semua benar-benar peduli, sebagian besar hanya ingin tahu bukannya peduli tentang penderitaan kita. Itu jugalah yang menjadi alasan Hilya tidak pernah membagi isi hatinya pada siapa pun, termasuk Lila dan Feni.
Setelah selesai mengobati Hilya, Davren bangkit berniat meletakkan kotak P3K itu kembali ke tempatnya. Namun, tangan Hilya menahan lengannya.
Tatapan kekhawatiran terlihat jelas dari sorot mata teduh Hilya yang menatap Davren.
"Kamu juga harus diobati." Nada suara itu masih terdengar lembut meski cukup bergetar, mungkin efek menggigil.
Hilya dapat melihat dengan jelas luka sobek di sudut bibir Davren dan lebam di beberapa tempat. Davren bukan tipe orang yang suka mencari masalah lebih dahulu, tidak mungkin jika dia yang mengganggu orang-orang itu.
Terlebih, meskipun Davren pandai bela diri, cowok itu tidak suka menyelesaikan masalah dengan otot. Setidaknya itulah yang Hilya tahu saat pertama mengenal Davren.
Davren memegang tangan Hilya yang ada di lengannya, lalu melepaskannya. Seperti sebelumnya, dalam beberapa detik baik Hilya maupun Davren saling tatap, berbicara lewat sorot mata.
Davren melanjutkan langkahnya meletakkan kotak P3K itu, lalu melangkah menuju dapur kecil yang ada di pojok UKS. Di sana biasanya tempat membuat minum untuk para penjaga UKS, juga untuk murid yang masuk UKS.
Setelah beberapa menit, Davren kembali dan mengulurkan teh hangat pada Hilya tanpa berkata apa pun. Hilya tersenyum, meraih gelas tersebut, tanpa lupa mengucapkan terima kasih.
"Gue tunggu di depan." Davren hendak melangkah. Namun, tangan Hilya lagi-lagi menahannya bersamaan dengan lampu yang tiba-tiba mati dan petir yang menggelegar.
"Aaaaa!" jerit Hilya yang memang takut dengan kegelapan. Inilah yang Hilya tidak suka dari hujan yaitu petir, guntur, atau apa pun itu namanya.
Davren refleks, menarik tubuh Hilya ke dalam dekapannya. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan dalam pelukan Davren.
Ada sebuah alasan kenapa Hilya begitu takut dengan petir ataupun guntur.
Ada sebuah alasan kenapa Hilya tidak menghitung angka sembilan puluh delapan saat berhitung.
Ada sebuah alasan kenapa Hilya begitu takut dengan kegelapan. Namun, gadis itu juga begitu akrab dengan kegelapan.
"Ada gue."