"Ah, Nana. Dokter Rayyi libur hari ini," dokter Titus menghentikan Chendana, "Dia pulang ke kota satu jam yang lalu. Orang tuanya mau umroh, kemungkinan dia ijin tiga hari."
Chendana menggigit bibirnya.
Setelah menimbang, dia memberikan buku sketsa kepada dokter Titus, "Dok, titip ini buat dokter Rayi ya. Soalnya besok-besok sudah nggak ketemu lagi."
"Kok bisa nggak ketemu lagi, kamu mau kemana? Atau nggak kamu telepon aja, Na. Saya kasih nomornya."
Chendana menggeleng seraya mengucapkan terima kasih. Bukannya tidak mau menelepon, tapi dia tidak punya ponsel. Jadi, mau menghubungi pakai apa?
Setelah pamit dengan pasangan tua yang sebentar-sebentar mengusap sudut mata mereka. Mahya langsung membawa Chendana kembali ke kota.
Keduanya berdampingan dalam SUV hitam model terbaru.
"Keluarga Risjad punya banyak aturan. Jangan bawa kebiasaan burukmu di sana, kamu dengar? Mahya memiringkan kepalanya dan menggosok alis.
Chendana hanya membawa ransel hitam dan menaruhnya di pangkuannya. Dia menyipit sedikit, dan mengangguk dengan patuh.
Sepasang kaki kurus dan lurus, menekuk tidak nyaman.
Chendana melihat pemandangan di luar jendela mobil. Merapikan rumah, dan membuat sketsa sampai menjelang subuh, membuatnya mengantuk.
Baru saja dia mau memejamkan mata, celaan dari mulut ibunya terdengar.
"Ini masih sore tapi kamu sudah mengantuk. Kamu datang ke tempat dokter itu lagi tadi malam?" Mahya, yang telah menjadi wanita bangsawan selama tujuh belas tahun di keluarga Risjad, sekarang anggun dengan kepala terangkat saat bicara dengan anaknya, "Kamu tak akan diizinkan pergi menemui laki-laki dengan bebas di masa depan."
"Nggak ada yang aku kenal di kota."
"Dengar! Risjad bukan nama keluarga sembarangan. Aku punya dua anak tiri yang mengandalkanku, jangan buat masalah dengan mereka. Jangan ganggu mereka, semakin kamu tidak terlihat itu semakin baik. Kata-kata dan perbuatanmu selama di sana akan mempengaruhiku."
Chendana tidak menjawab melainkan mengangguk.
Mahya memandang Chendana, dan matanya langsung sakit melihat kaos dan celana jeans yang sudah lusuh. Kenapa anak ini begitu kotor?
Dia menikahi Fiko Risjad, seorang pengusaha real estat yang kehilangan istrinya ketika melahirkan.
Dia sepakat saat suaminya memberi syarat mereka tidak akan memiliki anak lagi setelah menikah. Fiko hanya mau Mahya merawat kedua anaknya.
Karena itulah, anak tirinya ia didik dan rawat dengan sangat baik.
Sekarang keduanya sudah dewasa, memiliki nilai bagus dan bakat luar biasa, Mahya tidak pernah membiarkan suaminya khawatir tentang mereka.
Mahya secara alami mendapat pujian sebagai ibu tiri yang baik dan penuh perhatian.
Tetapi, melihat penampilan anak kandungnya sekarang, dan pikiran tentang membawa Chendana ke keluarga Risjad, lalu membandingkannya dengan kedua anak tirinya.n
Mahya kehilangan nafsu makan.
***
Menjelang sore, SUV memasuki komplek perumahan mewah.
"Ibu." Seorang wanita paruh baya dengan daster lurik membuka pintu, dia terkejut melihat Chendana di belakang Mahya.
"Bi Roh, bawa dulu anak ini ke kamar belakang. Arintha sudah pulang les. Aku akan menjemputnya."
Biasanya Arintha selalu dijemput oleh sopir.
Hari ini Mahya pergi untuk menjemputnya sendiri, karena dia tidak ingin menghadapi anak tak dikenal di rumah dan menghabiskan waktu bersamanya.
Bik Roh menyaksikan Mahya pergi, dan kemudian dia menoleh untuk melihat gadis kecil yang berdiri canggung di depannya.n
Dia melirik ke atas dan ke bawah dengan mata yang sangat halus sebelum dia berkata, "Ayo, masuk."
Sambil membimbingnya, wanita itu memperkenalkan diri, "Saya pengurus rumah tangga di sini. Panggil saja bik Roh. Kalau kamu siapa namanya?"
"Chendana Dhinia. Tapi bibi panggil Nana saja."
"Namanya cantik. Kayak orangnya, tapi kok cantik-cantik begini mau sih kerja jadi pembantu. Memang tamatan apa?"
Chendana sedikit malu dikira seperti itu. Wajah kecilnya memerah. Dia berpikir dirinya terlalu kampungan.
"Saya anak bu Mahya dari pernikahannya yang dulu." Akhirnya dia menjawab. "Masih sekolah, tahun ini kelas 12."
Bik Roh sedikit terkejut. Ada rasa tidak enak mengira anak nyonya sebagai pembantu baru. Namun, tidak bertanya-tanya lagi.
Chendana mengikuti bik Roh dengan patuh. Rumah ini memiliki ruang tamu yang besar, yang di dekorasi dengan indah.
Jari-jari menempel ke sudut pakaian tanpa sadar.
Ada perasaan aneh dalam hati Chendana ketika melihat foto keluarga yang terpajang di dinding. Foto itu terdiri dari empat orang yang tersenyum lebar. Sepasang anak yang tampan dan cantik, dengan orangtua yang juga luar biasa.
Di foto lain, Ibunya memeluk anak perempuan seusianya. Gadis itu memakai gaun yang indah dan tiara di kepala. Di depan mereka, ada kue ulang tahun besar dan lilin angka 17.
Tanpa sadar Chendana membandingkan dengan ulang tahunnya yang ke tujuh belas dua bulan yang lalu. Tak ada pesta, tak ada kue, dan tak ada ucapan selamat ulang tahun untuknya.
Semua sibuk menyelamatkan barang-barang dari kebakaran.
Mereka masih menyisir ruangan.
Ada lima kamar di rumah ini, kamar utama ditempati oleh tuan dan nyonya rumah. Jerome biasanya tinggal di asrama, tapi kalau libur dia menempati kamar dekat ruang tengah. Sedangkan Arintha, dia menempati dua kamar untuk dirinya dan barang-barangnya yang luar biasa banyak.
Bik Roh tidak bisa memahami sikap Mahya yang menyuruhnya membawa gadis ini ke kamar belakang, alih-alih menyuruh orang merapikan kamar tamu.
Masuk lebih dalam, Chendana melihat kamar setengah terbuka dengan banyak sepatu dan tas, baju tersusun rapi di dalamnya.
Dia melihat lebih banyak.
Bik Roh melirik Chendana dan berkata dengan kosong, "Itu koleksi non Arin yang sudah tidak terpakai."
Tidak mungkin ada barang murah di sana, pikir Chendana. Sepertinya Arintha sangat dimanjakan di keluarga ini.
Saat itu Chendana kaget ketika pintu sebelahnya dibuka.
Seorang pemuda keluar dengan pakaian santai.
Napas Chendana tercekik. Pemuda ini terlalu tampan.
Hidungnya tinggi. Rambutnya awut-awutan, tapi tidak mengurangi ketampanannya.
Pemuda itu mengerutkan kening dan melihat ke arahnya Matanya sangat indah, cokelat muda, dan dia bertanya dengan wajah tanpa senyum, "Siapa?"
Tepat ketika Chendana tidak tahu harus berbuat apa, suara bik Roh menjelaskan, "Anak bu Mahya."
Sudut bibirnya melengkung dan membentuk senyum dingin, lalu pergi begitu saja.
"Istirahatlah dulu di dalam." Bik Roh membuka pintu kamar, hanya ada dua tempat tidur sederhana, dan satu meja rias di sana. "Kalau mau mandi, kamar mandi dekat dapur."
Bik Roh memberi beberapa catatan sebelum keluar untuk memasak di dapur.
Setelah punggung bik Roh berbelok ke dapur. Chendana menutup pintu. Batinnya lelah luar biasa.
Perutnya mulai menggeram. Chendana buru-buru minum sebotol air yang ia bawa dari rumah.
Sambil termenung dia memandang ke kamar bersih yang kecil itu, berpikir sejenak untuk waktu yang lama, lalu bergumam sendiri, "Satu tahun, cukup satu tahun aku tinggal di sini, setelah itu aku harus menentukan masa depanku sendiri."