cerita di mulai

848 Words
Ketika kelulusan, aku pun masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di Malang. Di sini aku numpang di rumah bibiku. Namanya Dewi. Aku biasanya memanggilnya mbak Dewi, kebiasaan dari kecil mungkin. Ia tinggal sendirian bersama kedua anaknya, semenjak suaminya meninggal ketika aku masih SMP ia mendirikan usaha sendiri di kota ini. Yaitu berupa rumah makan yang lumayan laris, dengan bekal itu ia bisa menghidupi kedua anaknya yang masih duduk di SD. Ketika datang pertama kali di Malang, aku sudah dijemput pakai mobilnya. Lumayanlah, perjalanan dengan menggunakan kereta cukup melelahkan. Pertamanya aku tak tahu kalau itu adalah mbak Dewi. Sebab ia kelihatan muda. Aku baru sadar ketika aku menelpon hp-nya dan dia mengangkatnya. Lalu kami bertegur sapa. Hari itu juga jantungku berdebar. Usianya masih 32 tapi dia sangat cantik. Rambutnya masih panjang terurai, wajahnya sangat halus, ia masih seperti gadis. Dan di dalam mobil itu aku benar-benar berdebar-debar. “Capek wan?”, tanyanya. “Iyalah mbak, di kereta duduk terus dari pagi”, jawabku. “Tapi mbak Dewi masih cantik ya?” Ia ketawa, “Ada-ada saja kamu”. Selama tinggal di rumahnya mbak Dewi. Aku sedikit demi sedikit mencoba akrab dan mengenalnya. Banyak sekali hal-hal yang bisa aku ketahui dari mbak Dewi. Dari kesukaannya, dari pengalaman hidupnya. Aku pun jadi dekat dengan anak-anaknya. Aku sering mengajari mereka pelajaran sekolah. Tak terasa sudah satu semester lebih aku tinggal di rumah ini. Dan mbak Dewi sepertinya adalah satu-satunya wanita yang menggerakkan hatiku. Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Tapi aku tak yakin apakah ia cinta juga kepadaku. Apalagi ia adalah bibiku sendiri. Malam itu sepi dan hujan di luar sana. Mbak Dewi sedang nonton televisi. Aku lihat kedua anaknya sudah tidur. Aku keluar dari kamar dan ke ruang depan. Tampak mbak Dewi asyik menonton tv. Saat itu sedang ada sinetron. “Nggak tidur Wan?”, tanyanya. “Masih belum ngantuk mbak”, jawabku. Aku duduk di sebelahnya. Entah kenapa lagi-lagi dadaku berdebar kencang. Aku bersandar di sofa, aku tidak melihat tv tapi melihat mbak Dewi. Ia tak menyadarinya. Lama kami terdiam. “Kamu banyak diam ya”, katanya. “Eh..oh, iya”, kataku kaget. “Mau ngobrolin sesuatu?”, tanyanya. “Ah, enggak, pingin nemeni mbak Dewi aja”, jawabku. “Ah kamu, ada-ada aja” “Serius mbak” “Makasih” “Restorannya gimana mbak? Sukses?” “Lumayanlah, sekarang bisa waralaba. Banyak karyawannya, urusan kerjaan semuanya tak serahin ke general managernya. Mbak sewaktu-waktu saja ke sana”, katanya. “Gimana kuliahmu?” “Ya, begitulah mbak, lancar saja”, jawabku. Aku memberanikan diri memegang pundaknya untuk memijat. “Saya pijetin ya mbak, sepertinya mbak capek”. “Makasih, nggak usah ah” “Nggak papa koq mbak, cuma dipijit aja, emangnya mau yang lain?” Ia tersenyum, “Ya udah, pijitin saja” Aku memijiti pundaknya, punggungnya, dengan pijatan yang halus, sesekali aku meraba ke bahunya. Ia memakai tshirt ketat. Sehingga aku bisa melihat lekukan tubuh dan juga tali bh-nya. Dadanya mbak Dewi besar juga. Tercium bau harum parfumnya. “Kamu sudah punya pacar Wan?”, tanya mbak Dewi. “Nggak punya mbak” “Koq bisa nggak punya, emang nggak ada yang tertarik ama kamu?” “Saya aja yang nggak tertarik ama mereka” “Lha koq aneh? Denger dari mama kamu katanya kamu itu sering dikirimi surat cinta” “Iya, waktu SMA. Kalau sekarang aku menemukan cinta tapi sulit mengatakannya” “Masa’?” “Iya mbak, orangnya cantik, tapi sudah janda”, aku mencoba memancing. “Siapa?” “Mbak Dewi”. Ia ketawa, “Ada-ada saja kamu ini”. “Aku serius mbak, nggak bohong, pernah mbak tahu aku bohong?”, Ia diam. “Semenjak aku bertemu mbak Dewi, jantungku berdetak kencang. Aku tak tahu apa itu. Sebab aku tidak pernah jatuh cinta sebelumnya. Semenjak itu pula aku menyimpan perasaanku, dan merasa nyaman ketika berada di samping mbak Dewi. Aku tak tahu apakah itu cinta tapi, kian hari dadaku makin sesak. Sesak hingga aku tak bisa berpikir lagi mbak.mbak, rasanya sakit sekali ketika aku harus membohongi diri kalau aku cinta ama mbak”, kataku. “Wan, aku ini bibimu”, katanya. “Aku tahu, tapi perasaanku tak pernah berbohong mbak, aku mau jujur kalau aku cinta ama mbak”, kataku sambil memeluknya dari belakang. Lama kami terdiam. Mungkin hubungan yang kami rasa sekarang mulai canggung. Mbak Dewi mencoba melepaskan pelukanku. “Maaf wan, mbak perlu berpikir”, kata mbak Dewi beranjak. Aku pun ditinggal sendirian di ruangan itu, tv masih menyala. Cukup lama aku ada di ruangan tengah, hingga tengah malam kira-kira. Aku pun mematikan tv dan menuju kamarku. Sayup-sayup aku terdengar suara isak tangis di kamar mbak Dewi. Aku pun mencoba menguping. “Apa yang harus aku lakukan?….Apa…” Aku menunduk, mungkin mbak Dewi kaget setelah pengakuanku tadi. Aku pun masuk kamarku dan tertidur. Malam itu aku bermimpi basah dengan mbak Dewi. Aku bermimpi bercinta dengannya, dan paginya aku dapati celana dalamku basah. Wah, mimpi yang indah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD