2

3576 Words
Harper terdiam di kamarnya. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Mengingat masa kecilnya yang sangat bahagia dengan adanya ibu di sampingnya. Bagi Harper, Kanaya adalah idolanya. Wanita paling hebat yang pernah ada di dalam hidupnya. Wanita itu menyayanginya seolah Harper adalah darah dagingnya sendiri. Sungguh, ia rela menukar apapun untuk memiliki ibu seperti Kanaya.           Harper ingat saat ayahnya mengungkapkan kebenaran itu padanya. Kebenaran bahwa ia hanyalah anak angkat. Bahwa dua orang yang sangat dicintainya itu ternyata tidak memiliki hubungan darah dengannya. Harper hanya bisa terdiam dan tidak menangis walaupun dirinya ingin. Rasanya seolah jantungnya di renggut dengan paksa. Ia terlalu takut jika nantinya akan 'dibuang' oleh ayah dan ibunya. Ia takut mereka akan mengembalikannya pada orangtua kandung yang tidak pernah di kenalnya. Ia takut.           Dan Mom, dengan air mata bercucuran memeluknya, menciumnya, dan berkata padanya bahwa wanita itu adalah ibunya sampai kapanpun. Usianya dua belas tahun saat kebenaran itu tersampaikan. Barulah setelah itu Harper bisa menangis. Menangis lega lebih tepatnya. Ia tidak peduli jika dirinya hanyalah seorang anak angkat, yang penting baginya adalah Kanaya tetap mencintainya.           Bertahun-tahun, kedua orangtuanya itu membesarkan Harper dengan penuh cinta kasih. Tidak ada perbedaan atas perlakuan mereka padanya. Dan Harper benar-benar bersyukur bisa menjadi putri seorang Teddy Sandjaya. Mereka berdua adalah dua orang terbaik yang pernah dimilikinya. Bahkan ketika pada akhirnya Ted dan Kanaya membawanya pada orangtua kandungnya, dirinya tetap tidak bisa mencintai dua orang itu.           Harper ingat, dua orang itu pernah membuatnya sangat ketakutan. Ia selalu ingat wajah kedua orang itu. Dua orang yang katanya adalah orangtua kandungnya. Dua orang yang tidak pernah mau ia temui lagi. Harper tidak akan pernah bisa melupakan peristiwa mengerikan itu. Penculikan itu selalu membekas di ingatannya. Sampai detik ini.           Ia bahkan tidak berani pergi ke Inggris sendirian tanpa orangtuanya. Harper takut peristiwa itu terulang lagi. Ia takut jika ternyata dua orang itu sudah keluar dari penjara dan bertemu dengannya di jalanan. Memang trauma itu sudah hilang, tetapi tetap saja, kota London, terlebih kota Manchester, meninggalkan bekas ketakutan yang amat sangat di dirinya.           Harper mendesah keras dan keluar dari kamar. Ia butuh minum.  Biasanya, ia menyediakan pitcher berisi air putih di kamar. Namun malam ini pitcher itu kosong. Ia melangkah pelan keluar kamar. Suasana rumah sudah sepi. Mungkin semua orang sudah tertidur. Ia baru akan turun saat mendengar suara itu. Suara kedua orangtuanya yang sedang berbicara di perpustakaan terbuka yang ada di lantai dua. Ayah dan ibunya suka sekali membaca hingga mereka membuat perpustakaan itu.           “Ted, beri Harper waktu. Jangan kau paksa dia.” Kanaya bersuara dengan pelan.           Tanpa suara, Harper berdiri di balik tembok untuk mendengarkan. Sungguh, ia tidak ada niat untuk menguping, tetapi begitu namanya disebut, rasa penasaran itu muncul dalam dirinya.           “Sayang, sudah waktunya dia belajar. Resorts itu miliknya, suatu saat dia harus menanganinya sendiri,” jawab Ted tidak kalah pelan.           “Aku tahu, tetapi pahamilah dia, dia belum siap.”           “Belum siap? Usianya sudah dua puluh satu tahun, sudah saatnya dia mulai bekerja. Aku bahkan sudah bekerja di kantor Papa saat umurku delapan belas.”           “Itu ‘kan kau! Jangan samakan Harper dengan dirimu.”           Selama beberapa saat, Harper tidak mendengar suara apapun. Saat dirinya mengintip, kedua orangtuanya sedang bertatapan. Ayahnya membelai satu pipi Mom.           “Kau belum siap berpisah dengannya ‘kan?” Tanya Ted kemudian.           Kanaya mengangguk, beliau terisak pelan dan Ted segera memeluk wanita itu.           “Aku juga tidak siap, tidak akan pernah siap. Tetapi anak kita harus belajar. Tidak selamanya kita akan ada untuknya. Tidak selamanya kita sehat. Sekaranglah saatnya, Sayang. Anak kita harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri, dan selama aku masih sehat, aku sendiri yang akan mengajarinya.”           Napas Harper tercekat di tenggorokan. Matanya memanas. Ia menggenggam pitcher erat di dadanya.           “Aku tidak ingin dia pergi, Ted. Harper tidak pernah jauh dariku. Aku tidak sanggup.”           Aku juga tidak akan sanggup, Mom, batin Harper seraya melangkah kembali ke kamarnya. Ia tidak bisa mendengar lebih banyak lagi atau dirinya akan kehilangan kendali dan menangis di pelukan Mom. Lagi, pikiran itu merasuki benaknya. Rasa takut harus tinggal berjauhan dari Kanaya.           Harper berbaring dalam diam dengan pikiran mengembara. Dirinya tahu maksud ayahnya baik. Ayahnya hanya ingin agar ia menjadi lebih mandiri. Beliau hanya ingin dirinya bisa menjadi wanita tangguh dan tidak manja.           Akan tetapi apa sanggup tinggal sendirian jauh dari orangtuanya? Terutama dari Kanaya? Tidak akan lagi merasakan peluk dan cium wanita itu setiap hari. Tidak akan lagi melihat senyum keibuan wanita itu setiap hari. Tidak akan lagi mendengar omelannya lagi setiap hari. Sanggupkah ia?                            Tetapi kapan lagi kau akan berterimakasih pada ayahmu? Satu sisi hatinya bersuara. Sang ayah sudah membangun resorts itu untuknya. Atas namanya sendiri. Tidak ada cara lain untuk berterima kasih selain menuruti perintah ayahnya. Bahkan itupun tidak akan sanggup membayar seluruh waktu, seluruh cinta, seluruh kasih sayang yang telah diberikan sang ayah untuknya. Tidak akan pernah.           Harper memejamkan mata saat sebuah lengan kecil memeluknya dari belakang.           “Tidak usah pura-pura tidur. Mommy tahu kau masih terjaga.”           Harper tertawa lirih dan meraih tangan Kanaya yang memeluknya. Dulu, ia sering berpura-pura tidur agar tidak dimarahi ayahnya, dan ibunya selalu tahu jika ia berbohong.           “Mommy sendiri kenapa belum tidur? Ini ‘kan sudah malam,” tanya Harper tanpa berbalik. Biarlah seperti ini. Harper takut menangis jika ia melihat wajah cantik ibunya.           “Mommy mau tidur denganmu malam ini. Boleh ‘kan?”           “Ayah tidak marah?”           “Biarkan saja. Mom malas tidur dengan ayahmu malam ini.”           Harper tersenyum mendengar nada menggerutu dari wanita itu. Ia berbalik dan masih melihat bekas air mata di wajah cantik itu. Harper memeluknya dan meringkuk di pelukan Kanaya.           “Aku sayang Mommy,” bisiknya lirih.           Kanaya mengelus rambutnya dan mencium puncak kepalanya dengan sayang. “Mom lebih mencintaimu, Nak.”           Harper memejamkan mata dan menghirup aroma tubuh yang selalu menjadi favoritnya.           “Mom ...”           “Hmm?”           “Apa Ayah marah padaku?”           “Karena kau tidak mau pergi ke Spanyol?”           Harper mengangguk.           “Tidak Nak, Ayahmu tidak marah.”           “Tetapi Ayah pasti kecewa.”           Harper mendengar Kanaya menghela napas pelan. Wanita itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya memeluknya semakin erat.           “Jika aku mau pergi, apa Ayah akan senang, Mom?”           “Apa maksudmu?” Kanaya melepas pelukannya dan menatap Harper dengan tajam. Kedua alis tebalnya hampir menyatu menandakan wanita itu sedang marah.           Harper menunduk tanpa berani membalas tatapan itu. “Aku akan pergi, Mom,” bisiknya nyaris tidak terdengar.           “Apaa??”           Harper menarik napas panjang dan memberanikan diri menatap Kanaya. “Aku akan ke Spanyol dan mulai belajar mengurus resorts.”           “Nak, kau ...”           “Mom, hanya ini caraku berterima kasih pada kalian. Untuk membalas cinta yang telah kalian berikan untukku.”           “Harper! Mom tidak suka kau bicara seperti itu. Kau anak kami, sudah sepantasnya kami mencintaimu,” kata mom dengan suara sedikit naik.           Harper tahu Kanaya tidak pernah suka jika mereka membahas masalah ini.           “Mom, aku tahu, tetapi apa tidak boleh seorang anak berterima kasih pada orangtuanya?”           “Harper ...”           “Mom, please? Aku akan langsung pulang jika aku tidak sanggup, dan aku tidak akan pergi lagi ke Spanyol. Aku hanya ingin membahagiakan Ayah. Satu kali saja aku ingin membuat Ayah dan Mommy bangga padaku.”           “Kami bangga padamu, bahkan tanpa kau pergi ke Spanyol. Kau bisa pergi nanti jika memang kau sudah siap. Tidak perlu memaksakan dirimu.”           “Begini saja, beri aku waktu satu minggu. Jika aku tidak sanggup, aku akan pulang. Aku berjanji, Mom.”           Wanita itu menatap Harper sekilas dan kembali memeluknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Harper tersenyum di pelukannya. Ia tahu dirinya sudah menang. Walaupun ini akan berat, ia harus melakukannya. Demi ayah. ~~~~           Al tidak bisa menghentikan senyum bahagianya. Dalam waktu kurang dari satu minggu, dirinya akan menginjakkan kaki di Barcelona dan kariernya sebagai model internasional akan semakin terbuka lebar.           Sebenarnya, dalam hati, Al sangsi jika dirinya akan tetap bisa menjadi model. Apalagi ultimatum yang sudah dikeluarkan Pierre bahwa ia harus menjalankan perusahaan keluarga.           Al mendengkus pelan. Begini rasanya menjadi anak sulung. Banyak tanggung jawab yang harus di tanggungnya. Terutama menyangkut kelangsungan Bramastya Group. Ayahnya adalah anak lelaki satu-satunya, jadi semua bisnis keluarga di pegang oleh ayahnya karena bunbun Kinan menolak mengurusnya. Bukannya berarti bunbun lepas tangan, tetapi memang sebagai anak perempuan, bunbun-nya itu tidak bisa sering-sering pergi ke luar kota atau luar negeri karena ada anak dan suami yang harus di urusnya.           “Al, Sayang, bisa antar Bunda?”           Al menoleh mendapati bundanya yang masih terlihat cantik itu berdiri di depan pintu kamarnya dan tersenyum. “Bunda mau ke mana?”           Al sangat mencintai bundanya. Jika ia bisa melakukan semua hal yang diperintahkan bunda, ia akan melakukannya. Sama seperti ayah dan adik-adiknya yang juga sangat mencintai wanita ini. Bunda adalah ratu di rumah mereka dengan empat abdi yang selalu melindungi dan mematuhi perintahnya.           Al selalu suka melihat bagaimana ayahnya begitu mencintai bunda. Dari cara ayahnya menatap, berbicara, dan tersenyum dengan bunda, Al tahu seberapa dalam cinta mereka. Dan Al selalu iri akan hal itu. Hingga saat ini, dirinya belum menemukan wanita yang membuat Al yakin bahwa ialah satu-satunya.            Semua perempuan yang menjalin hubungan dengannya tidak pernah bertahan lama. Karena itulah julukan player melekat erat di dirinya. Baginya yang penting ia tidak sampai 'meniduri' gadis-gadis itu. Satu hal itu tidak akan ia lakukan hingga dirinya menikah nanti. Kuno memang, tetapi bunda mengajarkan budaya timur yang kental padanya meskipun darah Perancis mengalir dalam tubuhnya.           “Antarkan Bunda ke rumah aunty Naya ya?”           Senyum di bibir Al lenyap seketika. Pergi ke aunty Naya, berarti akan bertemu gadis manja dan tidak pernah mau mengalah itu. Dan Al selalu sebal pada gadis itu. Apalagi kalau bukan karena sikapnya yang manja setengah mati pada aunty Naya.           Bagi Al, aunty Naya adalah aunty kesayangannya. Al sudah dekat dengan aunty Naya sejak dirinya masih sangat kecil dan sering dititipkan di cake shop bunbunnya. Lalu tiba-tiba saja gadis kecil itu datang dan 'merebut' aunty kesayangannya. Setiap Al ke cake shop dan mencari aunty-nya, ia tidak pernah menemukannya. Lalu setelah dirinya mulai besar tahulah ia jika aunty-nya menjadi bunda dari gadis kecil yang sering datang ke cake shop.           Al bukannya membenci gadis bernama Harper itu. Dia hanya ... entahlah, bagi Al, gadis itu terlalu manja dan terlalu bergantung pada ibunya. Al tidak suka gadis manja.           “Pak Hardi ke mana, Nda?”           Bunda cemberut menatapnya. “Bunda ingin kau yang antar. Apa kau sibuk?”           Al tidak pernah bisa berbohong pada bundanya. Sejak kecil, Opanya selalu bilang kalau bohong itu dosa. Apalagi bohong pada bunda, dosanya bisa berkali-kali lipat besarnya.           “Tidak, Nda, aku ...”           “Bagus! Ayo antar Bunda sekarang!” Teriak Erika dengan bersemangat sekali sambil menggandeng tangannya keluar kamar.           Al menghela napas pelan. Ia bukannya tidak tahu rencana orangtuanya terutama ayahnya untuk 'menjodohkan' mereka. Ini semua gara-gara ayah dan obsesinya dengan anak perempuan. Al bisa melihat bagaimana ayahnya menyayangi Harper. Cara memandangnya sama dengan cara ayah memandang bunda.           Bukannya Al berpikir ayah tidak sayang padanya dan adik-adiknya, bukan itu. Al tahu ayahnya sangat mencintai anak-anaknya, hanya saja caranya menyayangi Harper berbeda. Bahkan ayahnya terlihat lebih menyayangi Harper daripada keponakannya sendiri.           “Kita ke cake shop bunbunmu dulu ya? Bunda mau membeli cupcakes blueberries untuk Harper.”           Lihat, bahkan bunda hapal kue kesukaan anak nakal itu.           Al tidak banyak bicara sepanjang perjalanan mereka ke rumah keluarga Sandjaya. Mood-nya turun drastis. Dia mengendarai mobilnya dalam diam.           “Nda, aku menunggu disini saja ya?” Pintanya saat mereka tiba di rumah besar bergaya Mediterranean itu.           Erika menggeleng tegas dan melotot membuat bibir Al makin meruncing. Al sudah bilang ‘kan kalau dia tidak bisa menolak perintah bundanya?  Setengah berdecak, ia keluar dari mobil dan menyusul bunda yang sudah berjalan lebih dulu.           “Mbak Erika!” Teriak aunty Naya saat melihat Erika.           Mereka berpelukan erat seolah jarang bertemu. Padahal Al tahu mereka sering sekali bertemu. Mau tidak mau, Al tersenyum melihat mereka. Mereka adalah dua wanita yang Al sayangi.           “Al!”           Al tidak bisa tidak tertawa mendengar wanita itu meneriakkan namanya. Aunty Naya itu seperti cuaca musim semi yang selalu menebarkan aura bahagia. Tidak ada orang yang tidak bahagia jika ada di sampingnya. Al memeluk tubuh aunty-nya yang sekarang lebih pendek darinya. Al memejamkan mata mengingat bagaimana ia dulu sering sekali meminta gendong pada tubuh kecil itu.           “Aunty sehat?” Tanya Al sambil menatap wajah cantik aunty-nya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bertemu aunty Naya. Ia memang jarang bertemu aunty Naya karena ia memang tidak pernah ke rumah ini. Alasannya ya satu hal tadi, ia malas bertemu gadis manja itu.           Aunty Naya mengangguk dan mengelus rambut Al dengan sayang. “Sibuk sekali hingga tidak sempat mengunjungi aunty-mu ini?”           Al tersenyum meminta maaf. “Maaf,Aunty, aku ...”           “Tidak usah berkelit! Nanti lidahmu keriting!”           Al terbahak mendengar kutukan itu. Aunty-nya ini memang selalu asal bicara, tetapi itu pula yang membuat Al tidak bisa jauh dari wanita paruh baya itu. Wanita itu seolah punya magnet pada anak-anak kecil di sekitarnya, padahal bunbun bilang, dulu aunty Naya tidak suka pada anak kecil.           “Di mana anak-anak, Nay?” Erika bertanya saat melihat rumah besar itu sepi.           Dalam hatinya, diam-diam Al bersyukur karena ia tidak akan bertemu gadis kecil nakal itu.           “Ikut Ayahnya jalan-jalan.”                    “Harper juga?”           Al sudah menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulut bundanya. Al melihat aunty Naya menggeleng. Wajahnya tampak sedih.           “Sudah beberapa hari ini dia lebih banyak berdiam diri di kamar,” jelas aunty Naya pelan.           “Ada apa?” Erika langsung mendekati aunty Naya dan meraih bahunya.           “Dia harus ke Spanyol minggu depan. Dia belum siap, tetapi ...”           Al menegakkan duduknya. Dia tidak lagi mendengar cerita aunty Naya. Spanyol? Minggu depan? Jangan sampai ini menjadi bencana untuknya.           “Kau tidak usah takut. Harper tidak akan sendirian di sana.”           Al menyandarkan tubuhnya dengan lelah di sofa. Sudah tidak ada harapan lagi untuknya. Dia yakin itu. ~~~           Satu minggu kemudian...           Harper memasukkan pakaian terakhirnya dan mengunci koper dengan rapi. Ia mengembuskan napas pelan. Pilihan sudah ia buat, tidak ada waktu lagi untuk mundur. Hidupnya benar-benar akan dimulai setelah hari ini. Hidup sendirian di negeri yang sangat jauh. Tanpa Mom. Tanpa ayah. Benar-benar sendirian.           “Nak, ayo turun. Makan malam sudah siap.”           Harper menoleh mendengar suara lembut itu. Sekuat tenaga disunggingkannya senyum untuk wanita tercintanya itu. “Iya, Mom, aku turun sebentar lagi,” jawabnya dengan pelan.           Sejak tadi, ia menolak bantuan Kanaya untuk merapikan pakaian. Ia tidak akan sanggup jika harus menata pakaian dalam koper seraya menatap wajah Mom.           Mom mendekat dan duduk di kasur di belakangnya. Beliau memeluk pinggangnya dengan lembut dan menyandarkan dagunya di bahu Harper. “Kau pasti bisa, Nak. Minggu depan kami akan menyusulmu ke Madrid.”           Harper berbalik dan meringkuk nyaman di pelukan Kanaya. “I'm gonna miss you, Mom.”           Mom balas memeluknya lebih erat. “Aku bahkan sudah merindukanmu sebelum kau pergi, Nak.”           Harper bisa mendengar Mom mati-matian menahan tangisnya untuk keluar karena dirinya pun juga begitu. Ia sudah berjanji untuk tidak menangis lagi. Ini adalah saatnya ia membuat orangtuanya bangga. Ini adalah saat ia melebarkan sayapnya dan mencoba untuk terbang sendiri hingga dirinya bisa terbang mencapai angkasa. Menjadi seorang Harper Quinina Sandjaya yang mandiri.           “Sudah kuduga kalian akan bertangis-tangisan lagi.”           “Tidak ada yang menangis, Ted!” Ucap Kanaya dengan galak.           Harper tertawa saat melihat sang ayah memutar bola mata. “Kami sudah kelaparan tahu?”           “Ayo, Sayang kita turun. Ayahmu berisik sekali, telinga Mom sakit mendengarnya.” Mom meraih tangannya dan mengajak keluar kamar.           “Kanayaaa ...”           Akhirnya, Harper tidak bisa lagi menahan tawanya. Ia selalu tertawa jika sang ayah merengek seraya memanggil nama lengkap Mommy-nya. Tidak sadar umur, begitu yang selalu Kanaya katakan.            Hal-hal seperti inilah yang nanti akan ia rindukan. Pertengkaran-pertengkaran kecil antara ayah dan mom, bagaimana mesranya mereka jika sedang saling bermanja, atau bagaimana adik-adiknya saling bertengkar berebut makanan. Ia tidak akan menemukan itu saat tinggal sendirian di kota besar seperti Madrid.           Harper makan dengan tidak berselera. Ini akan menjadi makan malam terakhir mereka. Setelah ini, entah kapan mereka bisa makan bersama lagi. Lauk pauk beraneka macam yang biasanya selalu menjadi sasaran rebutan dengan adik-adiknya, kali ini tidak menarik minatnya. Jika saja ia bisa menarik ucapannya, tentu akan ia lakukan. Namun itu tidak akan bisa dia lalukan. Seorang Sandjaya harus selalu membuktikan ucapannya, itu yang selalu ditekankan ayah padanya dan adik-adiknya.           “Harper, besok kau akan berangkat pukul sepuluh pagi. Jangan tidur malam-malam!” ucap Ted seusai mereka makan malam.           Harper hanya mengangguk dan mengikuti ibunya ke dapur.           “Kita tidak ikut, Yah?”                  Harper mendengar adiknya bertanya. Selanjutnya, ia tidak lagi mendengar jawaban ayahnya karena asyik tenggelam dalam pikirannya sendiri sambil mencuci piring-piring kotor.           “Aku ke kamar, Mom,” ucap Harper sambil mencium ibunya sesaat setelah ia selesai dengan tugasnya di dapur.           Ia mematikan lampu kamar dan berbaring. Dan Harper tengah terdiam di kegelapan kamarnya saat ia mendengar pintu kamarnya di ketuk.           Harper mendapati ayahnya berdiri di balik pintu kamarnya, tersenyum lembut seperti biasa.           “Boleh Ayah masuk?”           Harper mengangguk.           Ayah duduk di sofa bulat di sudut ruangan dan membuka lengannya. “Sudah lama Ayah tidak memelukmu,” ucapnya kemudian.           Harper setengah berlari kecil menghampiri ayahnya dan meringkuk nyaman di sana. d**a ayahnya masih senyaman dahulu saat dirinya selalu tertidur di sana. Dan pelukan ayahnya yang tidak lagi muda, tetap menjadi pelukan terhangat yang pernah ia rasakan seumur hidupnya.           “Kau pasti berpikir Ayah tidak sayang padamu lagi,” ucap Ted pelan.           Harper terdiam tanpa menjawab karena ia tahu ayahnya tidak butuh jawaban.           “Pasti kau juga berpikir Ayah tidak sedih melepasmu pergi,” lanjut beliau lagi masih dengan suara pelan. Tangannya mengelus rambut panjang Harper.           “Lalu kenapa Ayah tetap menyuruhku pergi?”           Ayahnya mendesah pelan dan mencium rambutnya. “Karena kau harus pergi, Nak.”           “Maksud Ayah?” Harper bangkit dan menatap wajah ayahnya. Gurat-gurat usia mulai tampak di wajah ayahnya. Ayah yang sangat dicintainya.           “Nak, tidak selamanya ayah dan ibumu akan sehat. Tidak selamanya kami akan hidup menemanimu dan adik-adikmu. Ayah mempersiapkan itu sejak sekarang, demi dirimu sendiri, Nak. Ayah bisa saja menyuruh orang lain mengurursi resorts itu, tetapi apa yang akan kau dapat nanti? Apa kau akan bangga bisa memakan hasil jerih payah orang lain? Apa kau layak disebut pemimpin tanpa kau tahu bagaimana prosesmu berjuang?”           Harper menunduk. Ayahnya memang benar. Suatu saat, ia harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri.           “Jangan kau pikir Ayah tidak sedih. Mommy-mu tahu bagaimana setiap malam Ayah gelisah memikirkanmu. Kau tidak pernah jauh dari Ayah, Ayah tidak akan bisa memelukmu saat kau terbangun tengah malam tiba-tiba. Ayah takut, Nak. Sama sepertimu, sama seperti Mommy-mu.”           Harper terisak dan memeluk ayahnya sedemikian erat hingga dirinya merasa sesak. Ia telah berprasangka buruk pada ayahnya, dan merasa berdosa karenanya. Seharusnya ia tahu, tidak ada orangtua yang sengaja menyuruh anaknya 'pergi' dari rumah. Ayahnya bahkan melakukan itu demi dirinya, demi masa depannya.           “Maafkan aku, Ayah.”           Ted mencium dahinya dengan lembut. “Sekarang tidurlah, besok kau harus bangun pagi.”           Harper mendongak menatap ayahnya. “Ayah, boleh aku tidur bersama Ayah dan Mommy?”           Mata ayahnya membulat. “Nak, kau sudah besar! Tidak boleh!”           Harper cemberut menatap ayahnya, matanya berkaca-kaca. “Bahkan besok malam aku sudah tidak ada di rumah ini lagi.”           Ayahnya berdecak kesal. Harper tersenyum dalam hati. Triknya ini selalu berhasil.           “Anak nakal! Selalu saja tahu cara mengalahkan Ayah,” ucap Ted sambil mencubit hidungnya.           Harper berteriak kegirangan dan melompat turun dari sofa, mendahului ayahnya ke kamar orangtuanya itu.           “Mommy!!” Teriaknya sambil melompat ke kasur di mana Mommy-nya sedang membaca sebuah buku.           “Menang lagi, hmm?”           Harper mendongak dan menyeringai, sedang Kanaya hanya geleng-geleng kepala.           “Anak nakal, ayo ke pinggir,” perintah Kanaya sambil membuka selimut, menyuruhnya tidur di sisi kiri ranjang.           “Mommy aku mau di tengah,” rajuknya kemudian. Setiap tidur bertiga, Harper selalu tidur di sisi sebelah kiri dan mom di tengah-tengah. Ayahnya tidak mau tidur tanpa memeluk mom.           “Tidak! Mommy-mu harus di tengah!”           “Ayaaah, sekali saja aku di tengah. Pleaseeee.”           Ayahnya menggeleng tegas. “Di pinggir atau kau kembali ke kamarmu!”           Harper kembali cemberut. Untuk satu hal ini, ia tidak pernah bisa mengalahkan ayahnya. Mau tidak mau, ia berbaring di sisi kiri ranjang, daripada ia 'ditendang' ayahnya, lebih baik dia menurut. Malam terakhir ini, ia ingin tidur di pelukan mommy-nya.           Harper memang selalu manja pada Mom walaupun ia sudah sebesar ini. Bahkan adiknya saja tidak semanja ini. Jika boleh, malah Harper berharap ia tidak akan pernah dewasa agar selalu bisa tidur bersama orangtuanya. Bagian paling menyenangkan dari menjadi anak kecil adalah orangtuamu yang tidak akan menua.           “Sayang, ayo bangun. Kau harus siap-siap,” suara lembut Kanaya membangunkan Harper dari tidur nyenyaknya.           Harper mendesah pelan. Doanya tidak terkabul. Tadi malam, dirinya berharap kalau pagi ini tidak akan datang. Suatu harapan yang mustahil tentu saja.           Ia bangkit dengan malas dan masuk ke kamarnya. Harper menyiapkan dirinya sepelan mungkin, berharap ia bisa mengulur waktu untuk pergi. Dan lagi-lagi itu menjadi satu hal yang mustahil karena belum apa-apa ibunya sudah menggedor-gedor kamarnya. Harper heran, kenapa Mom bersemangat sekali pagi ini? Kemarin-kemarin beliau yang paling sedih, tetapi kenapa sekarang begitu antusias?           Dan jawaban atas pertanyaannya terpecahkan saat mereka tiba di hanggar pribadi keluarga Sandjaya.           “Mom, kenapa pria galak itu ada di sini?”           Mom menatapnya dan tersenyum. “Kau akan terbang ke Spanyol bersama Al.”           What the ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD