Pandora – 9

1801 Words
Beberapa saat, Aliando dan Gladies masih sibuk menikmati indahnya danau terbesar yang ada di desa itu. pemandangan yang sangat indah, sepi dan romantis. Tapi sayang, Gladies dan Aliando hanyalah teman biasa. Bahkan baru saja menjadi teman setelah mengalami pengalaman cukup buruk ketika Aliando baru saja sampai di desa Pandora. “Al, gimana kalau kita pergi ke gua gletser? Sepertinya sudah cukup kita duduk di sini tanpa melakukan apa pun.” Gladies menatap Aliando. Asap yang keluar dari danau berangsur berkurang. “Boleh ....” “Ayuk kita ke sana.” Gladies mulai mengemasi kembali rantang yang masih berisi beberapa camilan. Gadis itu memasukkan rantang ke dalam kantong dan meletakkannya di atas keranjang sepeda. “Kita akan berjalan kaki sebentar.” Gladies tersenyum setelah semua barang-barangnya sudah tersimpan dengan baik. “Masih jauh?” Gladies menggeleng, “Tidak terlalu. Ayo kita jalan.” Aliando mengangguk. Pemuda itu kembali mendorong sepeda Gladies, sementara Gladies berjalan di sisi kirinya. Tidak lama, langkah kaki Gladies terhenti. “Ada apa?” tanya Al, bingung. “Sepedanya kita tarok di sini saja. Kita akan mulai menaiki bebatuan itu untuk bisa sampai ke gua.” Aliando memerhatikan sepeda Gladies, lalu mengedarkan pandang ke sekeliling. Tempat itu sangat sepi. Aliando tidak melihat siapa pun selain mereka berdua di sana. “Ada apa, Al?” “Memangnya sepedamu aman ditinggal begitu saja di sini? Kamu tidak membawa kunci?” Gladies terkekeh ringan, “Kamu ini bicara apa, Al. Desa ini sangat aman. Tidak pernah sekali pun aku mendengar ada warga yang kehilangan benda di sini.” “Oiya? Kok bisa?” “Itu karena sedari kecil para orang tua menanamkan sifat jujur kepada setiap anak mereka. Lagi pula, tidak ada gunanya mencuri di sini apalagi hanya sebuah sepeda. Semua masyarakatnya hidup dalam kesejahteraan, jadi untuk apa lagi mencuri?” Aliando mengangguk, “Benar juga.” “Kalaupun ada yang mencuri, palingan hanya satu benda yang sering dicuri di sini, atau jadi rebutan.” “Oiya, apa itu?” Aliando kembali menatap Gladies, ia penasaran. “Hati,” jawab Gladies, singkat. “Hati? maksudnya? Memangnya semua warga di sini begitu menyukai hati sehingga harus berebut?” “Hahaha ... bukan hati itu maksudnya, Al.” Gladies terkekeh. “Lalu?” Aliando mengangkat ke dua alisnya. “Maksud aku itu hati manusia, alias cinta.” “Owwhh ....” Aliando menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tersenyum, namun hanya sesaat. Ketika ia mengingat kembali Vanesha, senyum Aliando seketika menghilang. “Ada apa, Al? Apa aku salah bicara?” “Ha? Ti—tidak ... Sudahlah, ayo kita mulai jalan.” “Hhmm ....” Gladies mengangguk. Gadis itu membantu Al meletakkan sepedanya dengan baik di tepi sebuah batu besar. Baru saja Al dan Gladies bersiap melangkah menaiki sebuah bebatuan, ponsel Gladies tiba-tiba berdering. Ada sebuah panggilan dari Sovia—sahabat baik Gladies. “Sebentar, Al. Aku ingin mengangkatnya dulu.” Gladies menarik tangan Aliando dan menyuruh pemuda itu kembali turun dari sebuah bebatuan yang tidak terlalu tinggi. Aliando mengangguk, “Silahkan.” Gladies tersenyum. Ia pun mengangkat panggilan suara itu. “Halo, Sovia. Ada apa?” “Gladies, kamu di mana?” “Aku sedang mengajak cucunya kakek Kaddar berjalan-jalan menyisiri danau Pandora. Ada apa?” “Berdua saja?” “Iya, memangnya ada apa?” “Kenapa kamu tidak mengajakku?” “Maaf, Sovia. Aku lupa, hehehe ....” “Lalu sekarang kamu ada di mana? Aku sedang di bangku besi dan tidak melihat siapa pun di sini.” “Kami sedang berada di tepi bebatuan yang menuju gua gletser.” “Tunggu, aku akan ke sana. Aku ingin ikut bersama kalian.” Gladies mendengus kesal. Sebenarnya ia tidak senang dengan kehadiran Sovia—sahabatnya. Gladies lebih senang jika ia berdua saja dengan Aliando dan berbincang hangat tanpa ada siapa pun yang menganggu mereka. “Gladies ... kenapa kamu diam saja? Jangan-jangan kamu nggak suka ya kalau aku ikut dengan kalian? Kamu pacaran ya sama cucunya kakek Kaddar?’ “Hei, kamu ini bicara apa? Ya sudah, aku tunggu di sini. Cepat!” “Okay, siap! Aku akan segera ke sana.” Panggilan suara itu pun terputus. Gladies menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Gadis itu setengah kesal. “Ada apa?” tanya Al yang melihat gurat yang tidak biasa di wajah cantik Gladies. Ia lihat Gladies kurang bersemangat. “Ha? Tidak ada apa-apa, Al. Kita tunggu teman aku sebentar ya. Dia sudah dekat dari sini. Barusan katanya ingin ikut berjalan-jalan ke dalam gua.” “Owh ... tidak masalah.” Aliando tersenyum ramah. Gladies semakin salah tingkah sebab senyuman itu sudah mengganggu jiwanya. Tidak lama, “GLADIES ....” Seorang gadis berteriak seraya mendorong sepedanya mendekati Gladies dan Aliando. Gladies tersenyum dan melambai tangan. Sovia mempercepat langkah kakinya agar bisa sampai lebih cepat ke tempat Gladies dan Aliando. “Hai, kenalin aku Sovia. Aku teman baiknya Gladies.” Gadis itu seketika mengulurkan tangan ke arah Aliando sesaat setelah sampai di tempat Al dan Gladies berdiri. Aliando membalas, “Aku Aliando Geneva. Panggil saja Al.” Sovia mengangguk, “Iya, Al. Salam kenal ....” Sovia tersenyum. Gadis itu juga tidak kalah manis dari Gladies. Memiliki rambut lurus sebahu dan wajah sedikit chubby. Padahal tubuh Sovia cukup ramping dan tinggi, namun wajahnya terlihat imut dan berisi. Kulitnya putih bersih dah wajahnya seperti campuran Belanda dan Indonesia asli dengan iris cokelat pekat yang cukup menggoda. “Ehem!!” Gladies berdehem sebab jabatan tangan Aliando dan Sovia masih belum terlepas. Aliando dan Sovia tersentak. Mereka sama-sama melepas tangan masing-masing. Sovia pun tertunduk malu. Ia segera menepikan sepedanya dan menyandarkan sepedanya di dinding batu. “Kalau semuanya sudah siap, mari kita langsung berangkat ke gua,” ajak Gladies. Gadis itu sudah tidak sesemangat tadi setelah melihat Sovia menjabat Aliando terlalu lama. Sovia dan Aliando mengangguk secara bersamaan. Mereka bertiga pun mulai melangkahkan kaki menaiki tumpukan bebatuan yang beberapa bagiannya ada yang licin dan ada juga yang kasar. “Al, hindari bagian bebatuan yang terlihat mengkilat.” “Memangnya kenapa?” tanya Al dengan dahi mengernyit. “Bebatuan yang seperti itu licin, nanti kamu bisa terpeleset dan jatuh.” “Owh, okay!” Medan yang mereka lalui cukup sulit. Terlebih lagi untuk Aliando yang terbiasa hidup di kota besar dengan segala kemudahannya. Pemuda itu bahkan belum pernah mencoba menanjak bukit atau mendaki gunung. “Kenapa, Al?” Gladies menatap Aliando dengan pandangan nanar. Ia melihat Aliando menggebu napasnya lebih cepat dari dirinya dan Sovia. “Maaf, medan ini cukup sulit untukku. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya.” “Oiya? Masa?” Sovia mengernyit. “Hhmm ... beberapa kali aku mendaftar untuk ikut kegiatan pecinta Alam, tapi mama dan papa tidak memberi izin.” “Ternyata kamu anak manja ya.” Sovia terkekeh ringan. Gladies menatap sahabatnya dan memicingkan satu matanya, memberi kode agar Sovia jangan bersikap seperti itu kepada Aliando. Sovia seketika terdiam, “Maafin aku, Al.” “Tidak masalah. Aku memang sedikit manja. Akan tetapi bukan dimanja oleh orang tua melainkan bibi yang sudah membesarkan dan merawatku sedari kecil.” “Memangnya mama dan papa kamu kemana?” Sifat ingin tahu Sovia membuatnya sulit untuk mengontrol pertanyaan. Gladies hanya bisa menarik napas melihat sikap sahabatnya. “Mereka berdua sibuk dengan urusan dan bisnis mereka masing-masing.” “Terus—.” “Sudah, sudah ... nanti saja ngobrolnya. Sekarang tujuan kita ke sini untuk melihat gua gletser bukan untuk membicarakan keluarga Aliando. Ayo, sedikit lagi kita akan sampai.” Belum selesai ucapan Sovia, Gladies langsung memotongnya. Gadis bermata hazel itu juga mencubit pelan pinggang Sovia yang memiliki rasa ingin tahu diluar batas. Apalagi untuk orang baru seperti Aliando. Aliando mengangguk. Pemuda itu merasa pergerakan napasnya sudah kembali stabil. Ia pun kembali mengikuti langkah kaki Gladies dan Sovia menaiki beberapa tumpukan bebatuan lagi. Apakah semua gadis di sini seperti mereka berdua? Cantik, lembut tapi keren dan kuat. Aku saja hampir menyerah, tapi mereka berdua sama sekali tidak terlihat lelah, gumam Al seraya menyeka dahinya yang sama sekali tidak berkeringat. Walau ia begitu lelah, namun udara dingin yang belum terbiasa menyentuh kulitnya, membuat Al sama sekali tidak mengeluarkan keringat. “Al, kita sudah sampai.” Gladies dan Sovia berdiri di depan mulut gua. Aliando sendiri mengatur kakinya dan berusaha berdiri dengan tegak. Setelah posisinya dirasa mantap, Aliando pun mengedarkan pandang ke arah pandangan Gladies dan Sovia. “Waw ... ini keren ...,” gumam Al tanpa berkedip. Mulut gua dengan lebar sekitar tiga meter dan tinggi dua setengah meter, memancarkan sinar-sinar indah. Persis seperti sinar aurora yang biasa ditemukan di negra yang jauh dari garis khatulistiwa. “Apakah itu aurora?” tanya Aliando tanpa melepaskan pandangannya dari pintu gua. “Bukan Al, Aurora sendiri hanya terjadi di atas langit. Akan tetapi, cahaya yang dihasilkan memang mirip dengan cahaya aurora.” Gladies mencoba menjelaskan. “Apakah di langit desa Pandora ini juga pernah ada aurora?” “Iya, diwaktu-waktu tertentu kamu bisa melihat aurora di atas langit desa Pandora, tepatnya di atas danau Pandora.” “Tapi itu tidak mungkin, Gladies. Bukankah Indonesia adalah negara yang dilewati garis khatulistiwa? Bahkan yang pernah aku baca, langit Indonesia sangat mustahil bisa menampilkan sinar aurora.” Gladies terkekeh ringan sebelum menjawab pertanyaan Aliando, “Kamu lupa, Al. Desa Pandora adalah salah satu tempat istimewa di negara ini. Bahkan desa kita tidak bisa terlacak oleh satelit mana pun hingga tidak ada nama desa Pandora di google map atau pun peta Indonesia. Kalau kamu coba menelitinya dan melihatnya dari atas, desa kita tertutup awan putih yang sangat tebal dan jika diteliti lebih dalam lagi, hanya akan terlihat hutan dan pegunungan saja.” “Benarkah?” Aliando kembali mengernyit. “Coba saja kamu perhatikan Google map.” “Ajaib,” gumam Al yang belum berhenti menatap pintu gua dengan pantulan sinar-sinar indahnya. “Desa kita ini memang ajaib, Al. Bahkan mitosnya, ada kerajaan lain di desa ini yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa. Namun, belum ada satu pun warga yang bisa membuktikan keberadaan kerajaan tersebut.” Sovia juga ikut menjelaskan. “Iya, Sovia benar. Mama dan papa aku pernah bercerita, dulu sesekali mereka mendengar suara ringkikan kuda, suara perang dan suara-suara aneh lainnya ketika malam. Namun, tidak seorang pun yang bisa membuktikan kerajaan Pandora itu nyata.” “Apa semua orang mendengarnya?” “Tidak semua, tapi masyakarat di pusat desa, semua mendengar suara-suara itu. Bahkan, papa aku meyakini kalau suara-suara itu begitu dekat dengan rumah kami.” Gladies menjelaskan. Al pun tertunduk. Ia ingat dengan ruangan yang semalam tidak sengaja ia temukan. Sebua ruangan dengan berbagai perangkat canggih di dalamnya. Perangkat yang sudah membawanya masuk ke sebuah tempat yang bernama “Kerajaan Pandora”. Apakah kerajaan Pandora yang dimaksud oleh Gladies dan Sovia adalah perangkat yang ada di rumah kakek? Ah, ini semua benar-benar misteri, gumam Aliando seraya menyeka dagunya. Sovia dan Gladies saling berpandangan menatap sikap Aliando.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD