Pandora – 2

1677 Words
“Kamu—.” Aliando beralih menatap Gladies dengan penuh kebencian. Aliando membesarkan bola matanya seraya menunjuk Gladies dengan tangan kirinya. Gladies tampak tenang, gadis itu pun menurunkan tangan Aliando, “Sudah ... jangan marah-marah gitu, nanti ganteng kamu hilang. Ayo, segera temui kakek kamu. Ia pasti sudah puas tertawa saat ini.” Gladies kembali terkekeh ringan. Aliando memutar tubuhnya dan berjalan dengan langkah kasar meninggalkan Gladies. Pemuda itu setengah berlari menuju rumah Kaddar—kepala Desa Pandora. Gladies mengikuti dengan sepedanya, “Al, aku minta maaf ... kakek kamu yang sudah menyuruhku mengerjai kamu.” Aliando tidak menjawab, ia terus melangkahkan kakinya dengan kasar. “Al, jawab aku dong.” Aliando tetap diam dan ia pun membelokkan langkahnya ke arah kanan setelah sampai di gerbang rumah Kaddar. Gladies berhenti mengayuh sepedanya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia pun membelokkkan sepedanya masuk ke pekarangan rumahnya sendiri. Aliando tercenung sesaat setelah sampai di teras rumah kakeknya. Rumah itu sangat indah dan unik. Desain rumah itu sebenarnya masih sama dengan desain rumah yang pernah Aliando kunjungi dulunya, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ingat karena sudah terlalu lama. “Permisi ... Kek, kakek ....” “Hai, selamat datang di kerajaan Pandora cucuku, Sayang ....” Kaddar seketika memeluk cucunya. Pria paruh baya yang masih terlihat tegap dan gagah itu, menyambut cucunya dengan hangat. Tidak lama, seorang wanita paruh baya yang terlihat lebih tua dari Kaddar namun masih cantik, keluar dan menyambut Aliando. Wanita itu tengah berada di kursi roda. “Aliando, Sayang ... ya Tuhan, kamu sudah tinggi, Nak.” Morena—nenek Aliando—juga ikut memeluk pemuda itu. “Nenek Moren? Astaga, benar ini nenek Moren? Kenapa nenek terlihat lebih tua dari kakek sekarang?” Aliando menggoda neneknya. “Hhmm ... kamu bukan orang pertama yang mengatakan hal itu. Entah apa ilmu yang dipakai oleh kakekmu itu sehingga ia terlihat awet muda, sementara nenekmu ini, sudah mulai sakit-sakitan.” Morena tampak murung. “Nenek ... Maafkan, Al. Al hanya bercanda. Nenek Al itu masih sangat cantik. Lihatlah, hidungnya mancung dan senyumnya sangat manis.” Aliando tidak berbohong. Morena memang terlihat masih sangat cantik. Akan tetapi penyakit yang tengah diidapnya membuat ia kurus dan terlihat lebih tua dari suaminya. “Pandai sekali kamu menggoda nenek. Oiya, mari masuk, tadi nenek sudah masak daging panggang kesukaanmu.” “Tapi Al masih penuh dengan lumpur, Nek? Al mandi dulu ya ....” “Mandinya nanti saja, sebaiknya sekarang kamu makan dulu. Nenek sudah masak makanan kesukaan kamu.” Morena tersenyum lebar tatkala membuka tudung saji yang ada di atas meja makan. “Dari mana nenek tahu kalau Al suka daging panggang?” “Kamu itu cucu nenek, tentu saja nenek tahu apa saja yang kamu suka dan kamu tidak suka. Nenek tahu kalau kamu tidak suka datang ke sini. Tapi percayalah, nanti kamu pasti akan mencintai tempat ini.” Alaindo mencium pipi Morena, “Al sayang nenek.” “Dasar, anak nakal! Pandai sekali membuat neneknya menangis. Sudahlah, ayo kita masuk. Al harus makan yang banyak biar gemuk.” Morena mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. “Tapi Al nggak mau gendut, Nek.” “Sudahlah, jangan banyak protes. Pokoknya Al harus makan yang banyak.” Kaddar tersenyum bahagia melihat kedekatan antara Morena dan Aliando. Sudah lama senyum itu hilang dari bibir Morena karena ia selalu merindukan putra semata wayangnya yang memutuskan untuk menetap di Jakarta. Terlebih, orang tua Al juga hanya memiliki Aliando—putra semata wayang mereka. Morena menjadi kesepian di desa Pandora bersama suaminya—Kaddar. Namun hari ini, dunia Morena seketika berubah. Wanita itu tampak segar dan b*******h. Kehadiran Aliando membuat jiwanya kembali bergelora. “Hhmm ... lihat tu nenek kamu, Al. Seketika senyumnya tidak hilang di saat kamu ada di sini.” Kaddar juga berbahagia dalam hatinya tatkala melihat senyum istri tercinta yang begitu merona. “Bagaimana aku tidak bahagia? Cucu tampanku ada di sini. Aku akan bersemangat untuk bisa sembuh, agar bisa membawa Al berjalan-jalan menikmati kampung Pandora ini.” Morena membelai lembut puncak kepala cucunya. Aliando memeluk Morena dengan sayang. Seketika ia lupa dengan kekesalannya karena sudah dipaksa datang ke desa ini. Setelah menyelesaikan makan siangnya, Aliando pun membersihkan diri dan masuk ke sebuah kamar yang sudah disiapkan oleh Kaddar dan Morena untuknya. Kamar yang berada di lantai dua. Kamar yang sangat luas dan sekeliling kamar itu dipenuhi jendela dengan kaca bening. Kaca itu begitu bersih seakan tidak ada pembatas antara dinding kamar Al dan bagian luar. Al tertegun melihat sebuah rumah berlantai satu yang ada di sebelah kamarnya. Ia melihat Gladies dengan telaten memberi makan ternaknya yang dikandangi dengan baik di belakang rumah itu. Beberapa ekor bebek dan ayam diperlakukan Gladies dengan penuh kasih sayang. Hmm ... ternyata gadis itu tidak terlalu buruk, guman Al dalam hatinya. Aliando pun memerhatikan Gladies hingga ia lelah dan mengantuk. *** Malam telah tiba, desa pandora semakin memesona apabila dilihat dari lantai dua rumah Kaddar, tepatnya kamar Aliando. Desa itu sungguh bersih dan damai. Udara dingin mulai menusuk kulit Al tatkala angin-angin itu berhembus melewati lubang-lubang angin kamar itu. Aliando segera membuka ranselnya dan mencari baju hangat untuk menghangatkan tubuhnya. Sial! Mengapa aku lupa membawa jaket atau hodie? Al kembali merutuk dalam hatinya, sementara tubuhnya mulai menggigil kedinginan. Baru saja ia hendak keluar kamar, seseorang mengetuk pintu itu dari luar. Aliando membuka, “Kakek, nenek?” “Al pasti kedinginan ya ....” Morena masuk lebih dahulu ke kamar itu. Kali ini tidak menggunakan kursi roda, melainkan menggunakan alat bantu jalan untuk menopang tubuhnya. “Iya, Nek. Tapi Al lupa bawa jaket.” “Kesinilah, ikut nenek.” Morena menuntun cucunya menuju sebuah lemari kayu yang terdapat di kamar itu. Morena membukanya dengan susah payah karena tangannya harus ia gunakan untuk memegangi alat bantu. Kakinya tidak kuat untuk menopang tubuh Morena. “Sini, biar Al bantu.” Aliando membantu sementara Kaddar memerhatikan kedekatan cucunya dan istrinya. Pintu lemari itu terbuka. Al ternganga, sebab lemari itu penuh dengan pakaian seukuran dirinya. “Nenek sudah bilang pada kakekmu agar kamu tidak perlu bawa pakaian apa pun ke sini karena kami sudah menyiapkannya, tapi kakekmu tidak mau. Katanya biar kamu tidak terlalu manja.” Morena melirik suaminya. “Jadi semua pakaian ini untuk Al?” “Iya, semua ini punya kamu. Pilih saja yang mana kamu suka. Oiya, makan malam sudah siap, nenek tunggu kamu di bawah. Kalau malam hari Al merasa sangat dingin, Al bisa bikin perapian di disini.” Morena menyuruh suaminya membuka sebuah pintu kayu kecil. Pintu kayu itu ternyata penutup tempat untuk membakar kayu dikala cuaca dingin begitu menusuk. “Keren ... berasa di eropa saja, Nek.” Al tersenyum. Kaddar mendekat dan memeluk cucunya dari belakang, “Ayo kita makan dulu. Setelah itu kamu bisa beristirahat. Besok kakek akan minta Gladies menemanimu menikmati keindahan desa pandora.” Aliando mengangguk. Ia pun turun ke lantai satu untuk menikmati makan malam lezat di negeri dingin itu bersama nenek dan kakeknya. *** Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam. Aliando masih belum bisa memejamkan matanya karena udara malam itu sangat dingin. Layar ponselnya menunjukkan suhu delapan derajat selsius. Padahal pemuda itu sudah menghidupkan perapian, tapi karena tidak terbiasa dengan udara yang begitu dingin, tetap saja Al tidak tahan dengan dingin yang menusuk kulitnya. Jaket tebal dua lampis yang dikenakan Al, tidak mampu membuat tubuh pemuda itu menghangat. Tulang-tulangnya seakan beku akibat suhu yang terlalu rendah. Tiba-tiba Al beranjak dari duduknya. Ia membuka gorden dan memandang ke arah luar sesaat, lalu pria itu menutupnya kembali. Aliando keluar kamar, ia ingin mengelilingi rumah kakeknya yang sudah sangat lama ia tinggalkan. Bagaimana pun juga, ia adalah pewaris tunggal dari semua ini. Aliando pernah mendengar ketika Kaddar meminta Sammy—ayah Aliando—mengizinkan putranya untuk meneruskan misinya mengurus desa Pandora. Aku serahkan saja semua pada Al, Ayah. Kalau aku sendiri maaf, tidak tertarik untuk meneruskan mimpi ayah memimpin desa Pandora. Begitulah yang Aliando dengar dari bibir ayahnya kala itu. Aliando pun sama sekali tidak tertarik untuk memimpin desa kecil ini. Akan tetapi Aliando belum bisa berkomentar karena Kaddar belum mengatakan apa pun kepadanya. Aliando terus melangkahkan kakinya menyusuri rumah besar milik Kaddar. Padahal paruh baya itu hanya tinggal berdua, namun rumah itu cukup luas dan besar untuk dihuni hanya berdua saja. Kini, Aliando tiba di sebuah ruangan besar dan luas. Ruangan itu penuh dengan ukiran-ukiran khas jawa yang dimodifikasi sedemikian rupa. Ada juga beberapa ukiran yang tampak asing bagi Aliando. Ya, desa Pandora sendiri memang tidak populer di Indonesia. Bahkan desa kecil nan indah yang terdapat di ketinggian 2445 mdpl ini, tidak terlacak di google map. Tentu saja tidak terlacak, karena desa ini hanya ada dalam cerita fantasi ini. Seraya menahan dingin tubuhnya, Aliando terus menyusuri rumah itu hingga sampai di sebuah pintu kayu. Tempat apa ini? Gumam Al dalam hatinya. Pintu kayu itu berukuran cukup besar. Lebarnya hampir dua meter dengan dua daun pintu. Aliando penasaran dengan apa yang ada di dalam ruangan itu. Tunggu! Bukankah aku belum minta izin pada kakek untuk memasuki ruangan ini? Bagaimana kalau ini adalah sebuah ruang rahasia? Al tiba-tiba ragu. Tapi jiwa petualangnya tiba-tiba menggebu. Ia mendengar bisikan-bisikan halus yang menyuruhnya untuk tetap masuk ke ruangan itu. Aliando pun mendengarkan bisikan-bisikan itu. Ia mencoba menarik penyangga yang menghubungkan antara pintu satu dan yang lainnya. Penyangga yang dikunci oleh sebuah gembok tua. Kreekkk ... Gembok itu berbunyi dan terbuka tatkala Al menariknya ke bawah. Ternyata kunci ini sudah rusak, seru Al dalam hatinya. Aliando pun perlahan membuka pintu itu. Krrkkkk ... Bunyi decit ke dua pintu itu terdengar jelas dan memekak telinga. Bagaimana tidak, Aliando datang ke sana sendirian tengah malam, di saat semua mata tengah tertidur lelap. Perlahan, Al masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan itu begitu gelap. Aliando mencoba meraba-raba sesuatu di dinding, ia mencari saklar lampu. Namun, belum jadi ia menemukan saklar lampu, tiba-tiba pintu itu tertutup sendiri dan ruangan yang gelap itu seketika berubah menjadi terang. Al terkejut, ia ternganga seraya menyandarkan punggungnya ke dinding. Matanya terbelalak, ke dua iris itu seakan hendak meloncat dari tempatnya. Jantung Al berdegup kencang dan napasnya terasa sesak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD