SAY - Free food!

1045 Words
Di hari pertama mengajar kemarin, Leah tidak melihat kedatangan Gabriel. Edna berkata jika tuannya masih sibuk di kantornya. Lalu hari ini pun sama. Hingga selesai mengajar Ara, Gabriel belum pulang. “Kau akan bertemu pria tampan, setidaknya aku harus menambahkan sentuhan maha dahsyat.” Memejamkan matanya, Leah terkekeh dalam hati, Maafkan aku, Esther. Keinginanmu tidak terkabul. Setelah menggunakan angkutan umum untuk sampai ke apartemen, hari sudah gelap. Berjalan santai, seseorang berbicara di belakangnya menyebabkan dia menoleh. “Anda baru pulang?” “… Pak Ben.” Leah menyapanya. “Saya baru dari minimarket membeli beberapa keperluan.” Melihat banyaknya belanjaan di tangan Ben, Leah merespon, “... Oh.” Di dalam lift, Leah yang membantu Ben membawa belanjaan pria itu bersandar di kabin belakang. Ben meliriknya sekilas sebelum kembali menatap ke depan. “Maaf merepotkan Anda.” Leah dengan cepat menoleh. “Tidak sama sekali.” Karena sudah terbiasa membantu orang, Leah mengajukan dirinya untuk membawa satu kantong belanjaan dari tangan Ben. Dia pikir belanjaan sebanyak itu pasti memberatkan pria itu. Belum lagi, Ben adalah pemilik unit tempat dia tinggal. “Terima kasih.” Leah hanya tersenyum singkat. “Tentang tadi pagi,” Leah memejamkan matanya erat. Apakah harus dibicarakan?! Padahal tadi siang dia sengaja berada di tempat tinggal Esther hingga mendekati jam mengajarnya. Dia sudah berusaha menghindari Ben karena tidak ingin membahas hal memalukan ini. Benjamin membersihkan tenggorokannya sebentar. “Aku pikir tidak ada orang karena tidak ada suara—” “Saya juga salah.” Leah memotongnya cepat. “Saya lupa mengunci pintu kamar mandi. Karena sama-sama bersalah, saya pikir kita bisa melupakan kejadian tadi pagi, bisakah?” “Aku tidak menyesal,” Ben berkata menyebabkan Leah menatapnya kaget. “Aku mengajakmu berbicara bukan ingin meminta maaf karena mengintip.” “… Lalu?” “Aku hanya menjelaskan alasanku mengejutkanmu di kamar mandi. Aku tidak memiliki maksud untuk menjalankan aksi jahat padamu.” Oh perkataan sebelumnya yang dia pikir tidak ada orang di dalam kamar mandi. “… Oke.” “Apa kamu habis bertemu kekasihmu?” Leah melirik pria yang menjadi teman seapartemennya ini. Sedikit tidak nyaman bagi Leah karena dia sering bertanya … tidak, tunggu. Dia tidak bertanya sampai 5 kali padahal. “Saya tidak punya kekasih. Saya baru pulang dari mengajar les. Dan saya masih ingat sudah mengatakan pada Anda tentang pekerjaan saya.” “Kamu menggunakan riasan, jadi aku pikir kamu mengunjungi pacarmu.” Leah tanpa sadar menyentuh wajahnya. Riasannya masih melekat? “Kamu cantik.” Leah menatapnya cepat. “Tapi lebih cantik jika hanya riasan natural.” Dengan bibir terbuka kaget, Leah menatap pria yang tidak menarik itu tanpa bisa berkata-kata. Ca-cantik? Cantik katanya?! Leah menjadi bergidik. “Leah,” panggil Ben. “Apa Anda merasa tidak nyaman berada di dekat saya?” Setelah dipuji cantik? YA, TENTU SAJA! Pria ini membuatnya sedikit takut! Ben di sisi lain bisa melihat tidak nyamannya Leah. Tepat ketika pintu terbuka, dia mengalihkan topik, “Saya lapar.” Leah tersentak pelan. Dia melihat Ben yang sudah keluar duluan lalu membuntutinya. “Anda pasti belum makan malam, kan? Ingin makan bersama? Sejujurnya saya tidak pandai memasak, tapi saya masih bisa memasak beberapa hal yang mudah,” Ben berkata setelah mereka sudah masuk ke dalam unit. Arah pandang Leah bergerak mengikuti Benjamin yang sedang bergerak menuju pantry. Pria itu mengeluarkan beberapa sayuran dan ikan segar dari dalam lemari es dan bahan makanan yang menggunakan plastik dari kabinet. Di saat Benjamin hendak mengambil panci, tubuh Leah secara naluriah bergerak mendekati pria itu setelah meletakkan kantong belajaan di atas meja makan. Tanpa disuruh, Leah segera mengambil ikan dan pisau. “Biar saya saja yang melakukannya.” Benjamin terdiam menatapnya. Leah menoleh sedikit dan berkata dengan gugup, “S-saya akan bantu.” Ini adalah sifat Leah, yaitu sungkan, tidak enakan. Maka dari itu, ketika Benjamin berkata dia akan memasak untuk mereka berdua, Leah yang bahkan belum bisa keluar dari rasa kagetnya tentang makan bersama yang di mana terasa aneh seketika menggenggam ikan. Benjamin mengangguk singkat. “Saya akan mencuci sayuran.” “Oh tidak perlu, saya bisa melakukannya.” “Ini bukan tentang siapa yang bisa melakukannya, Leah. Melakukan segalanya perlu adanya kerja sama agar bisa dikerjakan dengan cepat.” Sebelum Leah bisa mengambil kantong sayur, Benjamin sudah menggapainya dan mendekati wastafel. “Lagipula, saya yang mengajak Anda makan, sudah seharusnya Anda duduk saja dan biarkan saya memasak.” “M-mana mungkin saya bisa seperti itu.” Benjamin menoleh. “Sejujurnya, ini juga baik-baik saja karena masakan saya tidak terlalu enak. Terima kasih.” Leah mengangguk singkat. Dengan begitu, Leah dan Benjamin memasak bersama. Yah, secara teknis Leah yang memasak segalanya karena benjamin hanya mencuci, membantu memotong sayur dan menyiapkan peralatan makan. Dan sisanya, Leah yang mengerjakannya. Namun Leah sangat bersyukur. Sambil menunggu Leah selesai masak, Benjamin mengurung dirinya di dalam kamar. Setelah makanan sudah disajikan, Leah mengetuk pintu kamar Benjamin dengan pelan. “M-makanannya sudah siap.” Leah bisa mendengar gumaman samar dari dalam kamar. Dan dia kemudian berjalan lebih dulu menuju meja makan tepat ketika pintu terbuka. “Aromanya sungguh enak.” “Silakan makan.” Begitu mereka sudah duduk dan mulai makan, Benjamin dengan wajah tenangnya berkata, “Anda memang pandai memasak ternyata. Rasanya enak.” Wajah Leah tersipu sebab dipuji sebab baru kali ini ada orang yang memuji jerih payahnya. “Saya hanya mengikuti resep yang ada di internet.” Ini mungkin terasa aneh. Perasaan Leah terasa aneh namun dia tidak tahu apa itu. Makan malam bersama Benjamin, Leah tidak tahu apa yang aneh selain rasa terima kasih karena bisa makan gratis. Jika tidak, dia pasti akan makan mie instan lagi malam ini. “Kedepannya, apa bisa membantu saya menyiapkan makanan lagi?” Leah mendongak menatap Ben. “... Apa?” “Saya bisa menyiapkan bahan makan malam dan Anda yang memasak untuk makan siang dan malam kita. Saya merasa ini lebih baik dibandingkan membeli di luar atau memasak sendiri.” Leah mengerjapkan matanya ketika membalas tatapan pria di depannya yang memasang ekspresi tenang yang membosankan seperti biasanya. Lalu, tiba-tiba saja sebuah senyuman terpatri di wajah Leah membuat Benjamin terpaku sejenak. “Oke!” Makanan gratis lagi …! batin Leah ceria. Menunduk, Benjamin mengaduk sup ikannya. Tanpa Leah ketahui, sudut bibir Benjamin ditarik sedikit ke atas menampilkan senyum segaris yang lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD