Selesai mengajar les seperti biasa dia sudah siap ingin pulang ketika berjalan keluar bersama Aurora. Namun, di saat pintu dibuka dari luar, Edna dan Nanny Aurora sudah menunggu.
“Mbak Leah, ingin makan malam di sini?”
“Makan malam?”
“Pak Gabriel pulang cepat hari ini dan mengajak Anda makan malam sebagai ucapan terima kasih beliau.”
Detik selanjutnya, Leah pun membuntuti Edna. Sambil berjalan, dia baru menyadari hampir dua minggu mengajar Aurora tapi dia tidak pernah bertemu Gabriel karena pria itu selalu pulang larut. Leah melirik di sebelahnya di mana Aurora sedang berjalan dengan ceria beriringan dengan Nanny-nya.
Kembali menatap ke depan, jantung Leah berdebar kencang sedikit dramatis. Jadi, mereka akan makan malam bertiga? Bukankah kesannya akan seperti sebuah keluarga kecil? Tanpa diminta pipinya mulai terasa panas dan Leah segera menyentuh kedua pipinya.
Tiba di ruang makan, Leah melirik pada sosok yang selalu bersinar tengah berdiri menatap keluar jendela dengan ponsel di telinganya. Gabriel sedang membicarakan pekerjaan dengan orang di seberang telepon. Begitu melihat kedatangan Leah dan anaknya, dia pun memutuskan sambungan telepon dengan cepat dan menghampiri mereka.
“Bu Leah. Sudah lama kita tidak bertemu, ya? Bahkan di sekolah juga.” Gabriel mengulurkan tangannya yang dijabat Leah dengan sopan.
“Malam, Pak Gabriel. Tolong, panggil saya Leah saja.”
“Kalau begitu panggil saya Gabriel juga.”
Dengan malu dan gugup, Leah berkata, “M-mana mungkin saya bisa memanggil Anda seperti itu.”
Suara tawa anak kecil terdengar. Leah melirik Aurora yang tertawa geli ketika menatap Leah yang malu. Dan Leah yang tidak mau lebih malu hanya tersenyum.
Jabatan singkat itu pun terlepas secara alami. Namun walaupun begitu, Leah masih bisa merasakan jejak hangat di telapak tangannya.
Gabriel menggerakkan tangannya ke meja makan. “Silakan duduk, Bu Leah.”
Di meja panjang itu, Leah duduk berseberangan dengan Aurora dan Nanny-nya. Dan Edna duduk di sebelahnya. Di dalam hati, Leah tertawa. Bayangan konyol sebelumnya segera sirna karena ternyata Nanny Aurora dan Edna selalu bergabung dengan Gabriel ketika makan bersama anaknya.
Di kala Gabriel selesai memimpin doa, mereka mulai mengisi piring mereka masing-masing. Karena Leah adalah tamu, Leah sadar diri dan menjadi orang terakhir yang mengambil makanan. Namun, karena sudah menjadi kebiasaannya tiap kali mendapatkan makan gratis, secara naluriah Leah selalu mengisi piringnya hingga penuh dan menggunung. Selagi ada yang gratis, dia tidak bisa menyia-nyiakannya. Apalagi jika itu adalah makanan. Ternyata dia sungguh tidak tahu malu.
Begitu dia menyadari bahwa Gabriel memperhatikannya sedari tadi, Leah menjadi malu dengan wajah bersemu. Dia melirik Gabriel pelan dan mendapati pria itu tengah tersenyum.
“Maaf. Saya pasti memalukan,” aku Leah.
“Apa yang salah? Malahan, saya sangat senang jika masakan di rumah saya dapat memuaskan Anda.”
Dia menoleh pada Gabriel.
Di wajah rupawan pria ini, tidak ada jejak jijik atau tatapan aneh selain senyumannya yang menyilaukan.
“Jika mau Anda bisa menambah lagi nanti. Saya sering melihat Anda makan lebih banyak dari ini jika sekolah mengadakan acara bersama orang tua para murid. Anggap saja di sini sama seperti di sekolah. Tidak perlu sungkan, Bu Leah. Nanti tambah lagi, ya. Temani Edna.”
Leah melirik piring Edna yang ternyata memiliki nasi sebanyak dirinya di piring. “Tidak apa-apa, Mbak Leah. Saya juga punya nafsu makan yang kuat dan Pak Gabriel selalu menyuruh saya menambah lagi sampai-sampai tubuh saya melar seperti ini,” Edna berkata sambil tertawa.
“... Kalau itu yang Anda katakan, Pak Gabriel.” Leah membalas senyuman Gabriel, masih malu-malu.
“Bu Leah, bagaimana perasaan Anda selama dua minggu ini mengajar anak saya di sini? Apa Ara berbuat nakal atau malas mengerjakan pekerjaan sekolahnya?”
“Ara anak yang cerdas dan patuh. Tidak ada kendala sama sekali dalam mengajar Ara. Hanya saja suasana hatinya kadang cepat berubah. Ara bisa tidak mau belajar tapi saya bisa mengatasinya. Kami bermain sebentar atau bercerita baru mulai belajar.”
Gabriel tersenyum penuh arti tiap kali Leah memanggil nama kecil Aurora. Dan Leah mengalihkan wajahnya secepat mungkin.
Gabriel mengangguk pelan. “Yah, guru sebelumnya juga berkata begitu. Tapi tiap kali Ara berulah dia akan menyerah. Jadinya, seharian itu mereka tidak belajar sama sekali. Maaf, apa Anda merasa tidak nyaman, Bu Leah?”
Leah menggeleng sambil tersenyum kecil karena kesensitifan Gabriel. “Saya hanya merasa canggung. Baru kali ini saya mengajar dan orang tua anak didik saya bertanya tentang perasaan saya mengajar anaknya.”
Gabriel tertawa ringan.
“Pak Gabriel selalu seperti itu. Sebelum mengetahui kondisi anaknya, Pak Gabriel terlebih dahulu harus mengetahui kondisi pekerjanya yang berada di sekeliling Ara.”
Leah melihat Nanny Aurora yang berbicara. “Oh begitu ….” Kembali menatap Gabriel, Leah menjawab pertanyaannya sebelumnya, “Saya sangat senang mengajar Ara— Aurora.”
“Tidak apa-apa, Bu Leah. Anda bisa memanggilnya Ara. Ara juga pasti senang.”
Leah menatap si kecil yang menggemaskan tengH tersenyum padanya sambil mengunyah makanan dengan lahap. Setelah itu ia mengangguk pada Gabriel.
Setelah makan malam bersama, Gabriel menawarkan dirinya untuk mengantar Leah. Awalnya Leah menolak namun karena Gabriel bersikeras, akhirnya Leah duduk di dalam mobil Gabriel.
Tiba di apartemen tempat tinggal Leah, Gabriel menatap ke bangunan tersebut sebentar sebelum menoleh pada Leah yang baru saja melepaskan seat belt.
“Terima kasih untuk makan malam dan tumpangannya, Pak Gabriel.”
“Terima kasih juga masih mau mengajar Ara.”
Tersenyum sekali lagi, Leah keluar dari mobil. Dia berjalan menuju lobi sambil menoleh ke belakang sesekali karena mobil Gabriel masih berada di sana. Dan setelah Leah menghilang dari pandangannya barulah Gabriel mengendarai mobilnya keluar dari area apartemen tersebut.
Membuka pintu unitnya, Leah tidak merasakan kehadiran Benjamin. Dia pikir Ben sedang mengurung diri di dalam kamarnya. Maka dari itu, Leah segera memasuki kamarnya, mengambil pakaian tidur sebelum menuju kamar mandi.
Di kala dia membuka pintu kamar mandi, ternyata seseorang sedang berdiri dalam keadaan polos dan murni seperti anak yang baru lahir dengan tangan yang menggantung di udara ingin mengambil handuk. Karena posisi tubuh polos itu berada di depan mata Leah dan cukup dekat, Leah bisa melihat sesuatu postur mengagumkan seperti pahatan. Leah tidak tahu jika tubuh seorang laki-laki bisa begitu indah. Apalagi, orang yang sedang kita bicarakan saat ini adalah Benjamin yang selalu dia pandang sebelah mata.
Lalu, ketika pandangannya sedikit turun ke bawah dan melihat sesuatu yang berat menggantung bebas, wajahnya yang sebelumnya pucat seketika merah padam.
“... Kamu ingin mandi?”
Mencengkeram gagang pintu kamar mandi, Leah reflek berteriak, “KYAAA!”
Brakk!
Pintu kamar mandi ditutup dengan kasar.