Sesuai dengan jadwal, di sore harinya Leah datang ke alamat yang sudah diberikan Gabriel. Pertama kali melihat rumah megah di depannya, Leah tertegun dan kagum. Entah kapan dia akan memiliki rumah sebesar itu. Menekan bel pintu, Leah menghembuskan napas gugupnya. Setelah menunggu beberapa saat, seseorang pelayan membuka pintu dari dalam dan mempersilakan Leah masuk.
“Pak Gabriel sudah memberitahukan saya jika guru les nona muda akan tiba sore ini.” Wanita paruh baya yang berjalan di depannya berkata dengan ramah.
Setelah perkenalan singkat mereka sebelumnya, Leah mengetahui nama pelayan tua ini adalah Edna. Mereka melewati lorong yang luas dan tampak sepi. Padahal rumah ini tidak bisa dikatakan kecil. Rumah besar bertema klasik tiga lantai dengan air mancur di pekarangan rumahnya yang sangat luas. Akan tetapi Leah tidak melihat siapapun di rumah ini. Di mana orang tua Gabriel? Apakah mereka tidak tinggal di sini? Bukankah sangat disayangkan jika dia hanya tinggal bersama anaknya di rumah sebesar ini?
“Apa Aurora masih tidur siang?”
Edna menggeleng sambil tersenyum. Dia menunjuk sebuah pintu merah muda yang tertutup. “Nanny-nya sedang membantunya bersiap untuk belajar.”
Leah tidak mengatakan apapun selain mulutnya yang berbentuk bulat. Ternyata itu adalah kamar Aurora.
“Di sini.” Mereka berhenti kemudian setelah belasan langkah dari kamar Aurora dan Edna membuka pintu di depan mereka.
Leah masuk ke dalam dan mengedarkan pandangannya pada sebuah aula berbentuk lingkaran dengan dinding kaca sehingga sinar matahari masuk ke dalam ruangan. Ada tumpukan mainan yang disusun rapi di salah satu sudut. Boneka, barbie, kuda poni dan juga perosotan. Sudah dipastikan ini adalah ruang bermain Aurora. Gabriel benar-benar menyayangi anaknya.
Lalu ada sebuah meja dan kursi berwarna merah muda di dekat dinding kaca. Secara alami Leah berjalan menuju meja rendah tersebut.
“Mohon tunggu sebentar lagi, Mbak Leah. Ara akan siap beberapa menit lagi.”
“Ya.” Leah tersenyum kaku. Apakah para orang kaya seperti itu? Hanya untuk belajar perlu ada persiapan? Padahal Leah lihat semua buku dan peralatan tulis sudah ada di meja.
Beberapa menit kemudian setelah memanjakan indra penglihatannya pada bunga-bunga di luar, Aurora pun akhirnya tiba serempak dengan Edna yang membawa minuman dan camilan untuk mereka. Putri kecil itu menggunakan gaun kembang yang lucu. Rambutnya dikuncir dua dengan pita berwarna putih. Well, entah kenapa Leah berpikir jika Aurora terlihat meriah dan bersinar di matanya. Jadi, apakah ini yang dikatakan persiapan oleh Edna barusan? Leah tidak dapat membantu untuk tidak mengangkat alisnya. Aurora seperti ingin mengadakan pesta teh sore dengan temannya dibandingkan belajar.
“Halo, Bu Leah!” Aurora dengan senyum merekah, berlari kecil mendekati Leah.
Leah menyapanya balik, “Hai, Aurora.”
Seorang wanita lain muncul. Dan Leah memastikan bahwa itu adalah Nanny Aurora karena wanita itu dengan sopan tersenyum pada Leah sebelum mundur dan menutup pintu ruangan, memberi mereka privasi berdua.
Leah membantu Aurora duduk sebelum dia duduk di sebelah gadis kecil itu. “Baiklah, Aurora. Untuk hari ini, kita akan memulai dengan perkenalan sebelum belajar. Yah, walaupun Ibu dan Aurora sudah saling mengenal di sekolah. Tapi Ibu ingin mengenal Aurora lebih dalam, oke?”
“Hm!” Aurora mengangguk antusias.
"Aurora sangat suka belajar apa?”
Aurora tidak mengerjapkan matanya ketika menjawab, “Menggambar dan matematika.”
Sambil bertanya, Leah mencatat semua jawaban Aurora di kepalanya. Apa yang gadis kecil itu sukai dan tidak disukai. Apa yang dia minati dan tidak minati. Hingga apa yang dia lakukan ketika waktu libur.
“Ara akan mengunjungi Kakek dan Nenek.” Aurora menjawab sambil menggigit cookies buatan Edna.
“Bersama Papi Aurora?”
“Di hari libur, Papi terkadang masih bekerja. Jadi, Ara hanya pergi bersama Nanny. Kadang juga Kakek yang datang kemari untuk menjemput Ara. Lalu, Papi akan menyusul ke tempat Kakek dan kami akan di sana hingga malam.”
Leah mengangguk paham. Dia melirik gadis kecil di sampingnya. Cara makan gadis ini sangat anggun, tampak sudah dilatih.
"Oke, Aurora. Cukup untuk perkenalannya. Sekarang-"
"Apa yang Bu Leah suka?"
Pertanyaan tiba-tiba itu mengejutkan Leah. "Yang ... Ibu suka?"
Melihat Aurora yang mengangguk membuat Leah berpikir, apa yang dia sukai? "Hmm ... Ibu suka menolong orang."
"Kenapa?"
"Ibu senang ketika ada yang membutuhkan Ibu. Berkat itu, kehadiran Ibu terasa ada."
Kepala Aurora miring ke samping seakan tidak mengerti dengan alasan Leah dan Leah pun tidak mau menjelaskannya lebih jauh. Jadi dia segera membuka buku pelajaran. "Siap belajar sekarang, Aurora?"
“Bu Leah bisa panggil Ara saja.”
Leah menatap Aurora cepat lalu tersenyum malu. “... Ara? A-apa boleh?”
Aurora mengangguk. “Tentu saja! Orang terdekat Ara memanggil Ara saja, bukan Aurora.”
Ini baru hari pertama Leah mengajarnya, dan sudah dianggap orang terdekat? Leah tidak dapat membantu untuk menghentikan pipinya yang bersemu. “Oke.”
***
Pagi yang cerah di hari berikutnya, Leah menyapu dan mengepel lantai unit jauh lebih bersemangat dari hari sebelumnya. Bahkan pantry dan wastafel sekalipun terlihat lebih berkilau.
Setelah puas bersih-bersih Leah kemudian berdiri di bawah shower. Karena ingin menggunakan sabun, Leah mematikan pancuran air terlebih dahulu.
Mengingat kembali bahwa dia sudah memilikit pekerjaan tambahan, Leah bangun sangat awal hari ini. Perasaannya yang berat sebelumnya menjadi lebih ringan. Dan mengingat waktu mengajar tidaklah lama, Leah mulai memikirkan bagaimana jika dia menambahkan anak didiknya setidaknya 1 hingga 2 orang untuk les privat? Yah, memang tidak terlalu besar penghasilan yang didapat, tapi apa salahnya? Dia bisa mulai dari selepas mengajar sampai malam hari. Pemikiran ini datang karena Gabriel yang memulainya dan dia sangat berterima kasih kepada pria itu.
Bicara tentang Gabriel, kemarin Leah tidak melihatnya sampai dia selesai mengajar. Ara bilang ayahnya belum pulang. Sangat disayangkan memang, padahal Leah ingin berterima kasih kepadanya.
Karena perasaan ringan dan senang dengan pekerjaan yang baru dia dapatkan, tingkat kewaspadaan Leah seperti sebelum-sebelumnya menipis. Dia tidak menyadari seseorang mendekat dari luar, menggeser pintu kamar mandi tiba-tiba menyebabkan dia terkejut dan menatap ke pintu.
Leah terdiam menatap Ben yang masih mengenakan pakaian tidurnya. Ben pun terdiam menatap Leah yang sama sekali tidak mengenakan apapun. Mereka sama-sama saling menatap satu sama lain dan mematung untuk beberapa saat lamanya.
Dan, 'pluk'. Shower puff di tangannya jatuh begitu saja.
Ben mengedipkan mata tersadar dari kagetnya. Wajahnya sangat tenang seolah tidak ada yang terjadi lalu ia kembali menutup pintu kamar mandi, meninggalkan Leah yang kebingungan dan juga malu.
Dengan wajah merah gelap seperti tomat busuk, Leah berteriak, “Kyaaa …!”