Hari Teraneh Samara

1173 Words
"Baru juga sekali pertemuan, gurunya udah mager melulu!" Samran menutup laptopnya dengan tenaga penuh sampai menimbulkan bunyi keras.    Asmara tak merasa berdosa sama sekali. Justru ikut menutup laptopnya. Bibirnya cemberut, lalu ia menyandarkan kepalanya ke bahu Samran.    Samran berusaha melepaskan diri tapi tak berhasil. "Sekadar ngingetin, kamu bukan satu - satunya yang sakit di sini. Sama, kepala aku juga keliyengan dipake duduk begini. Ya meskipun udah senderan tembok."    Seperti biasanya, mereka berdua duduk berdampingan di brankar Samran, bersandar pada dinding.    "Tapi beda, Samran."    "Apa bedanya?"    "Biasanya ada Sam di antara kita. Tapi kali ini nggak ada. Hatiku rasanya kosong."    "Oh, jadi kamu ngajarin aku desain cuman karena ingin kelihatan baik di mata Ibuk?"    Asmara mengacak rambut Samran dengan sayang. "Bukannya gitu. Cuman rasanya bakal lebih semangat kalau ada Sam."    "Ya udah ... nggak usah belajar sekalian. Ntar aku bilang Ibuk kalau mulai sekarang aku belajar desain sendiri kayak dulu."     "Tukang ngadu!"     "Bukan masalah tukang ngadu, tapi lebih ke ngasih tahu Ibuk tentang apa pun yang terjadi saat kami nggak bersama. Karena kami udah sepakat untuk saling terbuka."    Asmara berdecak. "Aku, tuh, bosen tiap hari di kamar melulu. Keluar bentar aja dimarahin. Sekali - sekali pengin gitu jalan - jalan keliling - keliling."    "Curhat, Mas?"    "Enggak, ini lagi jogging."    Samran terbahak seketika. "Terus sekarang mau kamu apa? Jalan - jalan?"    "Pake nanya lagi!"    "Emang boleh?"    "Boleh ... asal nggak ketahuan."    Samran berdecih. "Nggak mau ah. Ntar kamu kenapa - kenapa aku jadi tersangka."    "Kamu doain aku kenapa - kenapa?"    "Cuman antisipasi."    "Ucapan adalah doa."    "Terserah."    "Yang penting kita berpikir positif, insyaa Allah nggak terjadi apa - apa."    Samran celingukan kanan kiri. "Sebenernya aku juga bosen. Udah seminggu lebih di sini nggak pernah tahu dunia luar. Kulit aku sampai jadi pucet banget macem mayat."    "Nah, kan? Makanya ayo kita jalan - jalan."    "Ke mana?"    "Denger - denger di atap ada air mancur gede. Ke sana, yuk!"    Samran memasang muka datar. "Yah ... kirain aku mau diajakin nge - mall atau minimal ke taman gitu."    Asmara terpingkal sampai hampir terjungkal. "Ya mana bisa, ntar kita pingsan kejang - kejang bareng, orang - orang pada kabur, takut. Dikira lagi kesurupan masal."    Samran membuang muka, masih kesal.    "Di atas bagus kok katanya. Selain air mancur, ada tamannya juga, sesuai request kamu. Banyak fasilitas medis buat terapi pasien - pasien gangguan motorik."    Mendengar tentang gangguan motorik, Samran segera menatap Asmara kembali. "Jauh nggak dari sini?"    "Lumayan. Di lantai 20. Tapi kan ada lift."    Samran menjadi amat antusias ingin pergi ke sana. Ia selalu penasaran dengan terapi medis pasien gangguan motorik. Samran ingin melakukannya juga jika mungkin.    "Berangkat sekarang?" Asmara mengonfirmasi persetujuan Samran.    "Terus belajarnya gimana? Ntar Ibuk kecewa tahu aku nggak belajar."    "Setelah jalan - jalan kita langsung belajar. Janji, deh. Kita belajar sebentar aja. Maksimal dua jam, lah. Kalau terlalu lama, malah bosen. Ilmu - ilmu bukannya masuk, malah mantul."    Samran lagi - lagi tertawa. "Bener juga."    "Makanya itu. Berangkat sekarang, oke?"    Samran kembali terlihat murung. "Kamu sendiri sakit, aku malah nggak bisa jalan. Kamu mungkin bisa turun dari ranjang sendiri. Tapi emang kuat bantuin aku turun?"    Asmara menaikkan sebelah alis. "Easy!" katanya sembari menjentikkan jari.    "Pak ...." Asmara memanggil seorang bapak - bapak di sebelah, yang setia menemani putranya yang sedang sakit. Katanya sang istri bekerja di Malaysia, sehingga keduanya bertukar peran agar sang anak tak kehilangan kasih sayang yang seharusnya ia dapatkan. Musimnya memang begitu, kan. Musim bapak - bapak rumah tangga.    "Iya, ada apa, Nak?" Bapak itu segera merespons.    "Kami boleh minta tolong?"    "Minta tolong apa?"    "Adek saya mau terapi, tapi nggak ada orang selain saya. Saya nggak kuat kalau nurunin dia sendiri. Boleh minta tolong ...."    "Oh, boleh - boleh ...." Bapak itu sebenarnya bertanya - tanya karena sejauh anaknya opname bersebelahan dengan Samran, anak itu belum pernah keluar untuk terapi. Tapi karena Asmara memohon dengan baik dan sopan, ia tak ragu menolong. Lagipula siapa yang tega menolak permintaan tolong kakak beradik yang sedang sakit? Kelihatan parah pula dua - duanya.    Samran berusaha menahan tawa karena kepolosan bapak itu. Bahkan saat dirinya dibantu turun dari brankar, tawa itu masih tersisa. Barulah saat Samran dan Asmara sampai di luar Merkurius 9, keduanya tertawa sepuasnya seakan tak ada hari esok.     "Si Bapak kok percaya kita ini kakak adek?" kata Samran di sela tawanya.    "Lhah, kan emang kakak adek. Kakak adek ipar!" Asmara pun sama terbahak, sampai terbatuk - batuk.    "Jangan ngarep dulu! Belum tentu kakak aku mau sama kamu!"    "Jangan salah! Dia mau sama aku, dong!"    Samran hanya mencebik. Ia menatap infusnya yang diletakkan di tiang infus khusus milik Asmara. "Ati - ati ini ntar ruwet." Ia meluruskan selang infus yang berkelok - kelok.     "Yang tenang. Aku udah pro masalah beginian." Asmara mulai mendorong kursi roda Samran.    "Kamu nggak apa - apa dorong kursi roda aku? Ntar kumat!"    "Heleh, orang kita naik lift. Kamu yang bener pegangin tiangnya. Kalau kesrimpet bisa berabe nasib kita."    "Siapppp."    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~     Baru jam 9. Istirahat pertama pun belum. Guru menjelaskan di depan dengan semangat 45. Pertama kali seumur hidup, pelajaran di kelas terasa membosankan dan sangat lama.    Samara penasaran apa yang sedang Samran dan Asmara lakukan? Bagaimana kegiatan belajar mereka? Nanti malam Samara ke rumah sakit, tapi juga tak bisa bertemu Asmara. Hari ini Kamis. Masih harus melewati Jum'at untuk bisa saling bertemu. Samara tak mengerti kenapa ia begini. Ia belum pernah seperti ini.    Samara berpikir, pasti Asmara juga punya ponsel, kan? Kenapa selama bertemu tak pernah sekalipun kepikiran untuk bertukar nomor ponsel? Tapi Samara sepertinya tak akan berani menggagas duluan.    "Bener nggak ada yang mau jawab pertanyaan saya?" Bu Elya bertanya sekali lagi.    Belum ada murid mengangkat tangan. Bu Elya mengedarkan pandangan ke segala arah, menemukan murid kesayangannya — Samara.    "Samara, kamu aja yang jawab pertanyaan Ibu, Nak."     Mendengar namanya disebut, Samara terperanjat. Ia bahkan tak mengerti apa yang sedang terjadi. Sial. Ia terlalu sibuk melamun.    Samara menatap contoh yang ditulis Bu Elya di papan, beralih pada soal yang sedang ditanyakan. Samara menganalisanya. Soal itu sedikit lebih rumit dibanding contoh. Tapi Samara bisa mengatasinya.    Samara berdiri, menerima uluran spidol dari Bu Elya. Tak lebih dari lima menit, Samara sudah menyelesaikan soal itu dengan baik.    "Bagus sekali, Samara!" puji Bu Elya. "Poin pertanyaan hari ini seperti biasa didapat oleh Samara. Ibu harap kalian lebih fokus saat Ibu menjelaskan, sehingga bisa menjawab pertanyaan dan mendapat poin seperti Samara."     Samara hanya menunduk, tak ingin sesumbar dipuji oleh Bu Elya. Lagipula ia merasa bersalah karena semenjak tadi tak mendengarkan penjelasan guru itu. Berbanding terbalik dengan yang disesumbarkan.    Kembali ke tempat duduknya, pikiran Samara segera tertuju pada Asmara. Aduh ... bagaimana ini? Samara tidak bisa menyingkirkan Asmara dari pikirannya.    Sebentar, kalau dipikir - pikir, sejauh mereka saling mengenal, Samara dan Samran belum pernah sekalipun balik menjenguk Asmara ke kamarnya. Selalu cowok itu yang mendatangi mereka.    Tiba - tiba banyak hal dari Asmara yang ingin diketahui oleh Samara.    Kenapa rasanya begini? Tidak enak, tapi menyenangkan. Tidak ingin mengingat, tapi melekat di pikiran. Tidak suka, tapi kok rindu.    Eh ... rindu?    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~     -- T B C --   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD