Kenyataan Pahit Sebenarnya

1074 Words
Seperti deja vu. Suasana kembali terjadi seperti sebelum - sebelumnya. Rafi dan Emma berlarian, ingin segera melihat bagaimana kondisi putra mereka. Ingin segera memastikan keadaan putra mereka.     Sampai di kamar, yang mereka lihat adalah putra mereka yang belum sadarkan diri, Pak Sapto, dan dua dokter yang sering menangani Asmara dulu -- dokter Nicholas dan dokter ahkam.     Tanpa bertanya panjang lebar, dokter Nicholas segera mengatakan apa yang ingin Rafi dan Emma dengar.     "Seperti yang kalian duga dan takutkan saat ini. Ya, kanker itu kembali. Kali ini menjalar ke paru - paru sebelah kiri. Solusi terbaik pun tetap seperti biasa yaitu pembedahan. Tapi kita belum bisa melakukan pembedahan dalam waktu dekat. Alasan pertama, Asmara masih terlalu lemah, alasan kedua Asmara baru saja menjalani pembedahan, alasan ketiga letak tumornya terhitung sulit. Diperlukan ketelitian dan kehati - harian tingkat tinggi."     Seluruh tubuh Rafi dan Emma rasanya lemas. Mereka sampai tak tahu harus berkata - kata apa. Bagaimana bisa kankernya terus bertumbuh, sementara kanker sebelumnya selalu sudah dioperasi sampai akar.     "Di dalam tubuh Asmara seperti sudah tertanam bibit kanker itu. Bisa dikatakan sudah mencapai stadium 4 karena penyebaran kankernya terbilang cepat dari organ satu ke organ yang lain."     Rafi dan Emma semakin lemas mendengar lanjutan perkataan dokter Nicholas.     Yang sabar ya Bu, pak. Anda berdua harus kuat demi Asmara. Yakin lah Tuhan tidak akan memberi cobaan hamba - Nya melewati batas kemampuan. Anggap saja ibu dan bapak, serta Asmara, adalah orang - orang terpilih. Tuhan terlampau sayang sama kalian."     Mereka tahu kata - kata dokter Nicholas hanya sekadar untuk menenangkan mereka. Namun nyatanya mereka benar - benar merasa tenang karenanya.     ~ ~ ~ ~ ~ A s m a r a S a m a r a ~ ~ ~ ~ ~       "Mara ... Mara ...." Samara kembali menggoyangkan lengan kurus Asmara dengan sangat pelan.     Asmara belum juga membuka mata, padahal ini sudah nyaris pagi. Ia terus merintih, seperti bermimpi buruk, sejak tertidur semalam, sampai sekarang.     Selain merintih, Asmara juga sesekali terbatuk. Ia juga berkeringat banyak.     Samara baru saja mengelap keringat di dahi pemuda itu lagi.     Samran baru saja masuk ke kamar dengan kursi rodanya, segera menghampiri Samara dan Asmara.     "Bang Mara belum bangun juga, Buk?"     "Ya, seperti yang kamu lihat."     "Apa penyakitnya kambuh ya buk? Dia kondisinya kan lemah. Dia nggak cocok sama suasana nggak steril di luar rumah sakit. Dia udah kelamaan kabur dari rumah sakit."     Samara terdiam. Sebenarnya ia setuju dengan ucapan Samran. Karena ia pun menyangka demikian.     Namun jika ia harus menyerahkan Asmara kembali ke rumah sakit, entah mengapa rasanya ia tidak rela.      Asmara kemudian terbatuk lagi. Samara secara otomatis mengelus d**a Asmara, bermaksud untuk meredakan batuknya.     Kedua mata Asmara lalu perlahan terbuka. Begitu bangun, ia segera duduk. Menimbulkan rasa pusing teramat sangat, membuatnya hampir terjatuh ke samping. Namun segera dipegangi oleh Samara. Samara kemudian mengambil air minum di meja sebelah kasur, lalu membantu Asmara meminum air itu.     "Mara kamu mimpi apa hm? Kenapa kok merintih terus dari semalem?" Samara langsung menanyakan apa uang begitu ingin diketahuinya.     Asmara masih nampak terengah. Namun ia berusaha menjawab pertanyaan Samara. Ia sebenarnya agak lupa bermimpi apa. Ia coba mengingat. Oh, ia memimpikan tentang mami dan papi serta masa lalunya.     Sosok mami papi yang ia impikan. Masa lalu yang ia khayalkan di samping masa lalu versi nyata yang selalu membuat nya sesak.     Asmara ingin menjawab namun tidak jadi. Karena ia tidak mau kembali terlalu terlena dalam khayalannya, membuat nya terlalu berharap. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.     Ia hanya lah seorang anak yang terlahir dalam keluarga dingin, tanpa perasaan, tanpa kasih sayang.     ~ ~ ~ ~ ~ A s m a r a S a m a r a ~ ~ ~ ~ ~     Nyatanya Asmara belum mau bercerita tentang mimpinya. Samara dan Samran tidak tahu mengapa. Tapi mereka juga tidak mau memaksa Asmara untuk bercerita jika ia memang belum mau.     Asmara kemudian segera tertidur lagi. Samara memastikan tidur Asmara kali ini tenang. Samran pun masih di sana.     Mereka berdua menunggu sampai 10 menit lamanya. Asmara masih nampak begitu tenang. Tidak gelisah dan merintih seperti tadi.     "Kayaknya dia udah tenang, Buk. Kita balik kamar yuk, tidur juga. Terutama ibuk tuh. Kan ntar pagi sekolah."     "Iya, Dek. Yuk." Samara segera menyetujui saran adiknya meski ia sebenarnya berat meninggalkan Asmara.     Buktinya ketika ia sudah hampir keluar dari kamar Asmara, ia masih belum bisa mengalihkan matanya dari pemuda itu.     ~ ~ ~ ~ ~ A s m a r a S a m a r a ~ ~ ~ ~ ~     "Kamu harusnya jagain anak kamu itu. Kamu itu seorang ibu Emma. Kamu harusnya bisa mengalahkan ego. Iya kamu ingin sekali berkarir sebagai model papan atas. Tapi kamu sadar dong, anak kita sakit. Dia butuh banyak perhatian khusus. Tapi kamu pergi terus kerja. Kondisi ekonomi kita udah terpenuhi dengan uang dari aku Saja. Lebih baik kamu berhenti jadi model. Urus Asmara!"     "Lalu bagaimana dengan kamu. Kamu pun seorang orang tua. Kamu adalah seorang ayah? Di mana saja kamu? Tidak pernah sekali pun kamu menemani tiap kali Asmara kambuh. Di mana jiwa kamu sebagai seorang ayah? Seorang ayah yang hanya sayang pada pekerjaan nya hm?"     Tipikal pertengkaran yang biasa dalam rumah itu, dilakukan oleh orang yang sama, sepasang suami istri yang rupawan fisiknya, namun tidak dengan hatinya.     Asmara diam mengintip dari celah pintu kamarnya. Ia sesekali menghapus air mata yang mengalir tanpa diminta.     Tiap kali mereka bertengkar, ia menyalahkan diri sendiri. Kenapa ia harus terlahir sakit? Kenapa ia harus menyusahkan kedua orang tuanya? Yang memacu setia pertengkaran dalam rumah ini?      Asmara kemudian mencengkeram dadanya. Sakit lagi. Sangat sakit. Akhir - akhir ini ia sangat sering mengalaminya. Ia takut ada penyakit lain yang sedang bersarang dalam tubuh ringkihnya. Tapi ia hanya diam. Mau cerita pada siapa?      Cerita kada Rafi dan Emma juga pasi tidak ada gunanya kan.     Dadanya semakin terasa sakit. Entah mengapa tubuhnya menjadi begitu lemas. Ia berusaha berpegangan pada apa pun di sekitarnya, namun gagal.     Ia berusaha berpegangan pada meja di sebelahnya, namun justru kabel lampu tidur di kamarnya yang tergapai. Akibatnya lampu itu pun terjatuh saat tubuh Asmara terjatuh ambruk le lantai. Diikuti dengan suara berisik dari lampu yang pecah.     Suara berisik itu segera menyita perhatian orang - orang di rumah termasuk Rafi dan Emma. Pikiran mereka segera tertuju pada kamar Asmara. Semuanya segera berlari menuju ke sana untuk melihat apa yang terjadi.     ~ ~ ~ ~ ~ A s m a r a S a m a r a ~ ~ ~ ~ ~      - - T B C - -       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD