Pertemuan

1188 Words
Lelaki yang kata ibu dan bapaknya tampan, dia Zafar. Zaf adalah nama panggilannya. Kalau kalian pikir lelaki ini lelaki yang keren seperti namanya dan di gandrungi banyak wanita. Pikiran kalian mungkin ini seperti kisah novel kebanyakan. Baru saja lelaki itu keluar rumahnya serta membawa tas besar berwarna hijau army. Di teras rumahnya, bapak dan ibunya tengah duduk menikmati sarapan pagi. Teh hangat yang di siapkan ibu baru saja bapak icip. Kumisnya yang semakin hari semakin memutih sedikit basar karena sisa air teh yang menempel. Bapak mengerahkan satu jarinya untuk mengusap sisa tersebut. Kulitnya yang sudah tidak sekencang dahulu, warnanya yang mulai gelap membuat Zaf tak henti-henti berdoa dalam hati agar bapak berkah umur dan selalu bahagia. Zaf menghampiri kedua orang tuanya. "Pak, Bu. Zaf pamit ya. Doain Zaf dapat kerjaan," ujar Zaf sedikit berlutut dihadapan ibunya. Tak lupa ia mencium punggung tangan ibu dimana urat tangannya bisa terlihat jelas. Umur ibu sudah banyak. Zaf melihat wajah ibunya yang tak sedap. Ia tahu betul si ibu belum siap di tinggal si jomblo macam Zaf. "Ibu doakan yang terbaik. Jangan lupa jaga kondisi dan kamu juga perlu bahagia," kata Ibu sambil mengusap punggung sang anak. Mengusap penuh kasih dan sayang yang luar biasa dalamnya. Hangat. "Jangan pulang, sebelum kamu bisa banggain diri kamu dan orang tua," kata Bapak menatap ke arah Zaf. Tidak mengintimidasi tapi cukup membuat d**a Zaf bergemuruh hebat. Bapak selalu begitu. Memberi ku wejangan yang dapat membangkitkan semangat. "Iya pak," jawab Zaf dengan sepenuh keyakinan. "Zaf, anak ganteng ibu. Jangan lupa kan apa?" "Cari wanita yang bikin Zaf bahagia." Ibu mengangguk singkat. "Kamu sudah cukup umur nak," ujar Ibu dengan penuh harap di setiap kata yang ia ucap. "Zaf pasti bawakan ibu mantu." "Kamu itu loh,"ujar Bapak menyahut. "Ya sudah, jangan menunda-nunda waktu. Semoga rezeki di luaran sana bisa mengantarkan kesuksesan," ujar Bapak menyambung. Anak dan bapak itu seraya berpelukan sebagai tanda perpisahan. Inilah saatnya, saat dimana pria berusia 25 tahun itu keluar kandang. Berperang dengan dirinya dan banyak orang di Jakarta. Jakarta yang katanya terkenal kejam. Tapi, jauh lebih kejam lagi jika Zafar tidak mau bersaing dan berusaha mengangkat derajat serta membantu perekonomian keluarga. Uhuk...uhuk... Batuk ibu kembali muncul. Meski tidaklah sering, bukannya hal sekecil itu juga membuat hati seorang anak menjerit ikut kesakitan. Sakit, karena tidak mampu berbuat apa-apa. "Pak, jangan biarkan ibu kembali bekerja." Bapak mengangguk. Dua hari ini memang ibu tidak di biarkan mencuci baju atau menerima laundry tetangga. Kondisi ibu yang tak memungkinkan membuat aku dan bapak harus ekstra menjaga kesehatan ibu. Tapi, kali ini aku akan pergi meninggalkan dirinya demi mencari bongkahan berlian yang sebetulnya bongkahan itu hanya haluan. "Ibu cepet sembuh ya. Jangan keluar rumah dan banyak makan. Zaf gak bisa pantau ibu lagi 24 jam." "I-bu enggak apa-apa Zaf. Kamu baik-baik di Jakarta." Zaf mengangguk. Mereka bertiga berdiri. Zaf mulai melangkah lebih jauh, meski pandangannya masih saja terpaku pada kedua orang tuanya yang tengah melambai ke arahnya. Sekiranya pandangan kedua orang tuanya mulai mengecil, Zaf memfokuskan pandangannya ke depan. Kali ini, ibu dan bapaknya tak lagi terlihat. Yang ada hanya angkutan umum yang sudah terpampang di sisi jalan. Sepeninggalan sang anak ibu menangis sejadi-jadinya di pelukan bapak bahkan batuknya berkali-kali tak padam. Saking tidak relanya anak semata wayang itu pergi meninggalkan rumah. 'Maafin bapak,' batin Bapak lirih. Sebagai seorang ayah, dia merasa gagal karena tidak bisa menguliahkan Zaf sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Hilang harapan bapak melihat anaknya wisuda. Pupus karena masalah perekonomian yang menghimpit. Bapak mendekap ibu semakin erat. Karena batuknya tak kunjung reda, bapak membawa ibu masuk kedalam rumah. Ia sempat melirik becaknya yang terparkir dihalaman. Becak yang menemaninya selama kurang lebih 12 tahun. Menemani di jalan dan juga kehidupannya. "Baiknya ibu istirahat. Zafar anak kita akan baik-baik saja. Dia anak yang kuat," ujar Bapak menyelimuti tubuh istrinya sampai ke bagian d**a. Sesak dan nafas ibu yang tak teratur membuat bapak lari ke dapur segera mengambil air minum. Ibu menarik selimutnya dan meremas kuat. Sakit fisik serta batinnya mulai mengusik. "Uhuk...uhuk...uhuk..." Ibu terbatuk-batuk, tangannya menyentuh permukaan d**a yang terasa sesak. Hari ini, ia di tinggal pergi sang anak berkelana sekaligus di timpa penyakit. Zafar, kelak semoga kau jadi anak yang membanggakan kedua orang tua. **** Bus-bus berjejeran di terminal. Terik matahari di Jakarta tidak membuat semangat sopir bus luntur. Suara yang berteriak, penumpang yang berkerumun berebut masuk atau keluar bus sudah jadi tradisi. Maka, tak jarang bila warung kopi satu-satunya di terminal itu akan sepi. Karena, mobilitas setiap hari selalu tidak bisa di duga. Sampai pada saat membludak sang anak gadis kecil berusia sekitar 7 tahun harus turun tangan membantu neneknya yang menjaga warung sebagai sumber mata pencahariannya. Makanan serta minuman yang sering kita jumpai di warung-warung membuat mata kita haus serta lapar. Zafar mengusap peluh keringat di dahinya dengan sebelah tangan. Fyuh. Pemuda itu melihat warung yang ramai pembeli. Tenggorokannya pun terasa haus dan perutnya keroncongan, karena sepanjang perjalanan hanya teh hangat dan roti tawar yang berisi selai strawberry menjadi pengganjal perutnya. "Makan dulu kali ya. Abis itu gue cari kost-kostan," ujar Zafar seraya melihat jam tangan yang melingkar di kiri tangan. Ok. Sedikit banyaknya menyita waktu. Zafar melipir ke warung sesaat sebelum kembali mencari rumah singgasana selama ia menetap di ibu kota yang terkenal dengan bising, riuh serta tak luput dari kemacetan. Sambil menunggu makanan datang, Zafar memberikan pesan kepada ibu dan bapaknya. Mengabari bahwa ia sudah sampai di Ibu Kota Jakarta. "Bu goreng pisang sama bakwan seperti biasa ya. Nanti uangnya nyusul," ujar cowok yang tak di kenal Zafar. Cowok itu duduk tanpa tahu sopan santun. Asal saja. Cowok yang memakai celana jeans warna biru pudar serta di bagian lututnya sobek-sobek. Celana kekinian dan kaos hitam lengan pendek. Topi di kepalanya yang harganya bisa di bilang tidak mahal tapi tidak juga murah. Zafar masih enggan menyapa. Ia sibuk menunggu balasan dari orang tuanya yang tak kunjung datang juga menunggu makanan yang ia pesan. Nasi dengan lauk telor sambal lado. "Eh lo orang baru ya. Baru liat gue soalnya muka lo di sini," ujar Cowok itu berbicara pada Zafar. Benar-benar seperti sok kenal sok dekat. Zafar mengangguk "Iya bang." "Kenalin gue Eko," kata Eko sambil tersenyum. Kalau kalian pikir Eko menciptakan kesan manis di bibirnya. Lebih dari itu, kalian akan jatuh...jatuh ke lubang buaya. Eko tak ada tampang manis, tapi dia lucu. Itu yang akan kalian pikirkan saat pertama kali melihat cowok model seperti Eko. Tapi, berbeda dengan Zafar. Ia merasa geli sendiri dengan cowok tersebut. "Lo siapa?" "Saya Z-" "Eh gue duluan ya. Pesanan gue udah dateng," ujar Eko lari sambil meraih gorengan yang sudah ada di tangan cowok itu di bungkus plastik kantung. Sebelum Eko kabur dari pandangannya. Cowok berkulit sawo matang itu mengambil sehelai tissue dan membersihkan keringatnya, menaruhnya di meja tanpa di buang ke tong sampah. Zafar yang melihat itu hanya memutar bola mata dan menelan saliva. 'Orang Jakarta emang jorok apa gimana? Ya kali sampah bekas dia gue yang buang' "Dek ini pesanannya sudah jadi. Dimakan ya." Memilih mengabaikan soal tissue si Eko. Makanan yang ada didepan pandangannya jauh menarik. Melahap, Zafar khusuk menyantap makanannya. *** Ibu❤ Syukur kamu sudah sampai. Jangan lupa makan ya nak...jaga kondisi. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD