Part 4

1272 Words
Rayyan berjalan tertatih menuruni satu per satu anak tangga. Bangun tidur perut lelaki itu tiba-tiba sakit membuat tubuhnya banjir keringat dingin. Raka sepertinya belum naik, maka dari itu Rayyan tidak mendapati sang kakak di kamarnya, padahal ia berniat meminta tolong. Sayup-sayup terdengar suara Raka dari lantai bawah, dengan sisa tenaganya Rayyan mulai memanggil sang kakak. "Aa." Raka yang tengah bertelepon jelas saja tak mendengar panggilan adiknya. Tugas yang tadi sore hendak dikerjakannya bersama Ara tidak tuntas karena Raka khawatir akan timbul fitnah jika Ara berlama-lama di rumahnya apalagi sampai larut malam. "Ya udah, besok gue print tugasnya. Power point-nya udah kelar kan, Ra? Siap besok presentasi?" "Udah kok. Siap dong." "Okay, belajar aja buat besok. Gue tutup dulu, ya, Ra. Mau lanjut kerjain," kata Raka. Namun matanya membulat sempurna ketika melihat sang adik berjalan ke arahnya dengan wajah pucat. "Ray!" Rayyan bertumpu sepenuhnya pada Raka. Sakitnya luar biasa menyiksa. "Sa ... kit, A." *** Rio baru saja hendak memejamkan mata di kamar karyawan, namun tiba-tiba seseorang mengetuk pintu lantas masuk yang kontan membuatnya menggeram kesal. Seharian ia menggantikan dokter tetap yang tak bisa bertugas karena anaknya sakit. Di tempat ini belum begitu banyak petugas. Hanya ada dua dokter umum, satu dokter kandungan, satu dokter gigi, empat orang perawat, satu apoteker, dua orang asisten apoteker, dua admin, dan dua cleaning service. Rio membuka mata untuk melihat siapa yang datang. Hendra—asisten apoteker. "Ada apa, Dra?" "Pasien bed sepuluh mengeluh perutnya sakit. Dokter lain sedang sibuk." "Sebentar lagi saya lihat." Hendra mengangguk lalu pergi. Rio berjalan ke kamar mandi untuk membuat dirinya sedikit lebih segar. Tidak enaknya jadi petugas kesehatan memang seperti itu, kadang tidur terganggu, makan apalagi, meskipun ada jam istirahat, tapi ketika tempat kerjanya kekurangan petugas tetap saja dipanggil. Namun sisi baiknya adalah ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika tidak terdengar lagi erangan kesakitan, pasien nampak nyaman, bahkan tersenyum dan berterima kasih setelah sembuh. *** Raka memijat tengkuk leher sang adik berharap bisa sedikit membantu. Sudah lebih dari lima menit Raka menemani adiknya yang kini berdiri sedikit membungkuk di depan wastafel. Rayyan mengeluh mual. Selama itu berdiri di sini, tak ada apa pun yang berhasil keluar. "Ray gimana?" tanya Raka. Yang ditanya menggeleng lemah. Setelah perutnya sakit, mual pun tiba-tiba datang, tapi tak ada yang bisa dimuntahkannya. Percayalah kalau itu lebih menyiksa dibanding harus menguras habis isi lambungnya. "Ya udah jangan dipaksa, bawa tidur aja siapa tahu nanti hilang sendiri. Atau ... mau gue buatin teh manis?" Lagi-lagi bocah itu menggeleng. Ia menyerah. Dengan bantuan Raka, Rayyan segera kembali ke dalam kamar. Aneh, jika memang sakit maag gejala seperti ini tidak biasa dialaminya ketika kambuh. Biasanya Rayyan merasa ulu hatinya sakit, perih, mual, kembung dan lain-lain. Nanun kali ini yang sakit perut bagian kanan atasnya—di sana titik sakitnya. Raka mendaratkan punggung tangannya di dahi Rayyan. "Panas. Lo tiduran dulu, gue mau telepon Teteh." "Kenapa gak telepon Mama, A? Gue kangen Mama. Kalau Mama di sini gue pasti langsung sembuh." Raka geleng-geleng. "Lo lagi demam, jadi ngelantur. Tidur aja." Rayyan menatap kepergian lelaki yang satu tahun lebih tua darinya. Pernyataan rasa rindunya itu serius, tetapi Raka malah memberi tanggapan demikian. "Shh ...." Rayyan meringkuk berharap dengan posisi seperti itu sakit di perutnya lenyap. Namun nihil. Rasanya tetap sangat sakit. "Ray kata Teteh sakitnya di bagian mana?" tanya Raka dengan kepala menyembul di balik pintu. "Perutlah, kan sakit perut." "Ye, bloon. Maksudnya perut bagian mana yang sakit? Tengah atas, kanan, kiri, bawah?" Rayyan menyentuh bagian yang dirasa sakit. "Kanan atas, A." Raka mengangguk kemudian melaporkan hal itu pada Ibel, menunggu instruksi selanjutnya. Sesekali pemuda itu terlihat mengerutkan kening, mengangguk, seperti tengah berusaha mencerna baik-baik apa yang dikatakan kakaknya di seberang telepon sana. "Jadi kalau besok gak turun demamnya, hilang sakitnya, dibawa ke rumah sakit, ya, Teh?" Rayyan sontak melotot. Apa-apaan main rumah sakit. Obat saja tak suka apalagi harus memasuki bangunan berisi obat, peralatan medis, dan lainnya. "Gak ada rumah sakit!" "Ya udah lo harus nurut sama gue kalau gak mau sampai ke rumah sakit. Sekarang lo makan terus minum obat." "Lo sweet banget deh, A. Jadi ngeri gue," seloroh Rayyan. Raka mendengus sebal. Padahal wajah adiknya masih sangat pucat, keringat dingin masih enggan berhenti mengucur, bahkan suaranya terdengar begitu lemah, tapi masih sempat bercanda? Ingin rasanya Raka melempar sang adik dengan golok. Untung sayang, kalau tidak? Rayyan selesai. Seketika lamunannya buyar saat mendengar Rayyan merintih tertahan sembari memegang perutnya. Jelas sekali kalau Rayyan begitu kesakitan. "Ray!" "Sakit banget, A." Raka mulai kelabakan. Ibel hanya menyuruhnya memberi obat pereda nyeri sekaligus penurun demam. Namun karena kondisi Rayyan yang begitu mengkhawatirakan, Raka jadi kalang kabut dan melupakan apa yang dikatakan Ibel. *** Ibel nampak melamun di ruangannya. Jam istirahat begini biasanya ia makan siang bersama rekan-rekan kerjanya, tapi tidak untuk hari ini. Ia benar-benar malas melakukan apa pun selain mengurusi pasiennya. Kedua adiknya masih terus menari-nari di otaknya, apalagi semalam Raka menghubunginya dan melapor kalau Rayyan sakit. Orang tuanya sendiri masih belum bisa dihubungi. Chat Ibel sampai detik ini masih belum dibaca. Cklek Pintu terbuka. Muncul sosok Rio di ambang pintu. Ibel memasang sikap tak acuh, Rio sudah melibatkan diri terlalu jauh dan Ibel tidak suka itu. Ini ruangan untuk para semua perawat, jadi wajar saja kalau Rio tiba-tiba masuk. Tak disangka Rio menyodorkan nasi lengkap dengan lauk dan sebotol air mineral ke hadapan Ibel. "Itu buat kamu. Kamu perlu kekuatan untuk menyelesaikan masalah kamu," kata Rio. Bukan tanpa alasan. Berkali-kali Rio memergoki Ibel melamun. "Makasih, aku udah makan." "Kapan? Tadi pagi? Dimakan aja. Dosa buang-buang makanan, di luar sana banyak yang gak bisa makan." Ibel mendengus sebal. Lagi pula siapa yang menyuruh Rio membawakan makanan untuknya? Tidak ada kan? Namun dengan mempertimbangkan ucapan Rio, Ibel akhirnya menyentuh makanan itu. Rio berjalan ke belakang Ibel. Lelaki itu menggabungkan dua kursi kemudian berbaring di sana. Ibel melirik Rio yang sepertinya mulai terlelap. Kantung mata lelaki itu secara tidak langsung menggambarkan kalau Rio kurang beristirahat. Ibel heran kenapa akhir-akhir ini Rio sering sekali mengajaknya bicara? Padahal selama bekerja di sini, mereka paling anti bicara jika bukan masalah pekerjaan. Sedang asik makan tiba-tiba terdengar suara-sura aneh. Pelan, namun masih sanggup didengar Ibel. Suara itu seperti ... suara perut? Tunggu. Di ruangan ini hanya ada Ibel dan Rio. Tidak mungkin itu suara perut Ibel karena perutnya sedang di sini. Apakah Rio? Jangan-jangan makanan ini sebenarnya untuk Rio, tapi karena sadar Ibel tidak ikut makan siang, jadi Rio mengalah untuknya? Mungkin begitu. Tapi, rasanya sikap Rio itu ... terlalu manis. *** Rupanya si gadis bermata coklat yang bertetangga dengan Raka maupun Rayyan malah duduk di kelas yang sama dengan Rayyan—lelaki bermulut pedas. Konyolnya lagi mereka dipaksa duduk berdampingan karena tidak ada lagi bangku kosong selain bangku Rayyan yang ada di deretan paling pojok. Tentu saja Gwen kesal. "Kak Raka lagi main basket, gila keren banget." "Lo kemana aja Non sampai gak sadar kalau dia tuh keren banget?" "Gila, rambutnya basah sama keringat gitu jadi kelihatan seksi." "Ya Tuhan kapan gue jadi ceweknya." "Ray juga cakep sih, tapi petakilan." Gwen hanya mendengarkan percakapan gadis-gadis kecentilan itu tanpa hasrat. Didorong rasa penasaran, Gwen melihat suasana di lapangan basket yang memang ramai. Kelasnya yang ada di lantai dua memudahkan Gwen melihat hal itu. Pandangannya terhenti pada sosok Raka yang sedang ber-high five dengan teman satu timnya sembari tertawa. Lain Raka lain pula adiknya, Rayyan kini malah tengah tidur di bangkunya. Sepertinya Rayyan sedang tidak sehat. Tadi saja ketika berangkat sekolah Gwen sempat mendengar perdebatan kecil antara kakak beradik itu. Intinya Raka melarang adiknya bersekolah karena masih demam, tapi Rayyan tetap ngotot ingin masuk sekolah. Bahkan beberapa menit yang lalu Raka masuk ke dalam kelasnya mengantarkan makanan untuk Rayyan. Benar-benar kakak-adik goals.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD