Love Is Sinta Bab 1 - Pandangan Pertama

1374 Words
“Aww...,” pekik seorang wanita yang terpeleset di lobang kecil sedalam kurang lebih 30 centimeter.   “Hati-hati, Mbak.” Seorang pria memegangi tubuh wanita itu yang akan jatuh karena lobang tersrbut. Pria itu adalah Agus, Danar Agus Wibowo. Arsitek yang sedang menangani proyek besar pembuatan Hunian Mewah.   “Aduh... sakit sekali,” rintihnya dengan mengaduh kesakitan.   Agus melihat wanita itu kesakitan dan tidak bisa berjalan dengan baik. Tanpa aba-aba Agus menolongnya, dia menggendong wanita yang tidak ia kenal itu ke tenda klinik darurat.   Agus memandangi paras cantik wanita yang sedang di gendongnya itu. Dia merebahkan wanita di bed yang ada di tenda klinik darurat.   “Terima kasih, Mas,” ucap wanita itu.   “Iya, Mbak. Berhubung belum ada tenaga medis yang datang, baik perawat atau dokter jaga, bolehkah saya melihat kaki mbak? Sepertinya kaki mbak terkilir,” ucap Agus.   “Ah... iya, Mas.” Wanita yang entah siapa namanya itu mengizinkan Agus melihat kakinya.   Agus melepas high heel yang menempel di kaki cantiknya wanita tersebut. Kakinya yang terlihat seksi bak model itu membuat Agus sedikit gugup dan grogi.   “Ehm... mungkin ini agak sakit, di tahan sedikit ya, Mbak?” ucap Agus.   “Jangan sakit-sakit, Mas,” ucap wanita itu dengan raut wajah yang sedikit pucat karena takut akan sakit sekali.   “Iya, seperti itu rasanya, Mbak, soalnya ini terkilir,” ucap Agus.   Wanita itu menutup matanya, dan tangannya mencengkram erat bantal yang ada di atas bed itu.   “Sungguh manis sekali wanita ini, ada perlu apa dia ke sini?” gumam Agus sambil memandangi wajah wanita itu yang sedang memejamkan matanya.   Agus mulai mengurut kaki wanita itu yang terkilir, dia mengurutnya dengan pelan, karena dari tadi wanita itu merintih kesakitan.   “Awww... sakit, Mas...!” pekiknya dengan keras hingga seorang pekerja mendengar suara wanita itu.   “Aduh Bos...! kau apakan wanita itu!” seru seseorang pekerja dan mendekatinya.   “Enggak apa-apa, Mas. Mas ini sedang mengurut kakiku yang terkilir karena  tadi terpeleset di lubang yang ada di sana,” jelas wanita itu.   “Haduuh... aku kira bos kita sedang melakukan hal yang...yah, pokoknya, maklum bujang tua,” ucap seorang pekerja tersebut.   “Kau itu ada-ada saja, Bang. Masa saya mau melakukan seperti itu,” ucap Agus.   “Mbak, ini sudah, lain kali hati-hati ya, Mbak,” ucap Agus pada wanita tersebut.   “Iya, Mas. Terima kasih,” ucap wanita itu.   Agus keluar dari tenda klinik, dan melanjutkan pekerjaannya. Dia menatap wanita itu sebelum meninggalkannya. Agus terpaku di depan tenda dan tercenung menatap wanita tersebut.   “Mas, ada yang salah dengan saya?” tanya wanita itu pada Agus.   “Ah enggak, Mbak,” jawab Agus dengan gugup. “Bolehkah saya tahu nama mbak?” tanya Agus.   “Ehm... nama saya....”   “Pak Bos, di panggil Bang Mandor!” teriak seorang pekerja pada Agus.   Tanpa mendengar jawaban wanita itu, Agus langsung meninggalkan wanita itu karena harus mengurus pekerjaannya lagi.   ^^^   Agus melupakan wanita yang ada di tenda klinik itu, karena harus menyelesaikan pekerjaannya. Dia fokus dengan pekerjaannya. Memang dia pekerja yang ulet, dan menjadi kepercayaan pimpinannya.   Adzan dzuhur sudah di kumandangkan, Agus menghentikan aktivitas bekerjannya. Dia langsung pulang ke rumah kontrakannya untuk istirahat sebentar dan sholat. Agus memang merantau di ibu kota, dia berasal dari sebuah desa yang berada di kota kecil. Agus lulusan terbaik dari Universitas ternama di Yogyakarta. Cita-citanya menjadi Arsitek terkabul karena mendapat beasiswa. Meninggalkan ibunya di desa yang terpencil merupakan hal terberat bagi Agus. Ia harus meninggalkan ibunya di desa saat kuliah, dan sekarang harus meninggalkan ibunya lagi ke ibu kota untuk bekerja.   Agus anak pertama dari dua bersaudara, adiknya perempuan, sekarang sudah lulus SMK dan bekerja menjadi buruh pabrik di sekitar kotanya yang dekat dengan rumah. Ayahnya sudah meninggal semenjak ia SMP. Menjadi tulang punggung untuk keluarganya merupakan tanggung jawab Agus, apalagi ibunya sudah berusia senja, dan hanya bekerja menenun kain  di rumah.   Sejenak dia melupakan tentang rindu pada ibu dan adiknya, yang terkadang ingin sekali untuk pulang karena rindu yang sudah tak tertahan. Tapi, dia menepis semua rindu, dan ia tabung rindu itu hingga waktunya tiba. Terlintas wajah wanita yang tidak tahu siapa namanya. Wanita yang tadi ia tolong di lokasi proyek. Padahal baru kali ini Agus langsung terjun ke lokasi proyek di pagi hari, biasanya dia hanya di kantor kalau pagi, dan ke lokasi menjelang sore.   “Coba kalau tadi tidak di panggil, pasti aku tahu siapa nama wanita cantik itu. Sepertinya dia masih muda sekali, siapa namanya? Dan ada perlu apa dia ke lokasi proyek?” ucap Agus dengan lirih sambil melepas baju yang ia gunakan untuk tugas di lapangan.   Agus selama ini tinggal di rumah kontrakan yang di huni dua orang. Teman satu kontrakannya bernama Iwan, dia lebih muda dari Agus. Iwan bekerja di sebuah pabrik tekstil. Dan, kali ini Iwan sedang tidur, karena baru saja pulang kerja tadi pagi.   “Demi apa aku tidak bisa melupakan wanita itu. Dia mengganggu pikiranku saja, siapa namamu gadis cantik? Gadis? Iya, dia sepertinya masih gadis, paling umurnya belum ada 20 tahun,” ucapnya sambil membayangkan wajah cantik wanita yang ia temui tadi di lokasi proyek.   “Gadis siapa, Bang?” tanya Iwan.   “Ah... apaan sih kamu! Tajam sekali pendengaranmu, Wan?” jawab Agus.   “Yah, orang jelas abang bilang gadis cantik kok, meskipun bangun tidur, telingaku masih normal, Bang, apalagi soal cewek,” ucapnya.   “Kamu itu, giliran dengar gadis cantik saja langsung bangun,” ujar Iwan.   “Yah... gini, Bang, naluri lelaki,” jawabnya sambil berjalan ke arah kamar mandi.   Agus hanya menggelengkan kepalanya saja. Dia membuka tudung saji di atas meja makan minimalis. Agus mengangsurkan air putih ke dalam gelasnya. Lauk yang tadi pagi untuk sarapan masih bisa untuk makan siang, namanya juga merantau, dia sebisa mungkin mengatur keuangannya untuk hidup sehari-hari dan untuk biaya orang tua di desa.   Lagi-lagi Agus mengingat gadis cantik itu. Selera makannya benar-benar hilang, hanya membayangkan wajah gadis cantik itu, dia sudah merasa kenyang. Dia hanya meneguk air putihnya saja.   “Bang, tumben makanannya Cuma di lihatin aja? Pasti nih karena gadis cantik itu, ya?” Iwan yang baru saja keluar dari kamar mandi mengagetkan Agus yang sedang melamun.   “Kamu itu sok tahu, Wan!” tukas Agus.   “Ya tahu lah, sepertinya Abang sedang jatuh cinta,” ledek Iwan.   “Entahlah, Wan. Aku mau sholat dulu,” ucap Agus dengan meninggalkan Iwan.   “Lagi bucin nih orang,” lontar Iwan.   Agus berpikir sejenak sambil melepas kemejanya dan mengambil handuk di kamarnya. Dia memikirkan kata-kata Iwan tadi, yang katanya dia sedang jatuh cinta.   “Masa iya aku jatuh cinta pada gadis itu? Apa mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah, aku tidak tahu menahu soal cinta, karena memang aku tidak pernah jatuh cinta. Memikirkan wanita saja baru kali ini, sampai terbayang-bayang wajahnya,” ucapnya dengan lirih.   Agus keluar dari kamarnya dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil air wudhu. Setelah selesai, Agus kembali masuk ke dalam kamarnya, dia melaksanakan kewajiban yang tak pernah ia tinggalkan, yaitu sholat. Seusai sholat, agus kembali bersiap-siap untuk ke kantor menemui pimpinannya yang bernama Hadiwidjaja, yang akrab di panggil Pak Hadi. Katanya ada hal penting yang harus di bicarkan, entah apa yang akan di bicarkanannya.   Agus menatap cermin minimalis berukuran 60cm x 40cm yang menempel di tembok kamarnya. Dia merasa sudah pantas untuk menemui pimpinannya. Memang Agus menjadi anak kesayangan Hadiwidjaja, entah mengapa selama hampir 2 tahun ikut dengan perusahaan Hadiwidjaja, Agus semakin cemerlang kariernya.   ‘Gus, kamu menikah kapan? Ibu ingin kamu menikah, Nak.’   Kata-kata ibunya itu selalu terngiang di telinga Agus. Memang ibunya yang sudah berusia senja menginginkan anaknya segera memiliki seorang istri, dan sudah sekitar 4 tahun dia di ibu kota, dia belum juga mewujudkan mimpi ibunya untuk memiliki seorang menantu.   ‘Ibu tidak ingin rumah mewah, Gus. Ibu ingin lihat kamu memiliki istri.’   Agus hanya tersenyum kecut saat mengingat kata-kata ibunya seperti itu. Memang selama di ibu kota karier Agus sangat bagus, dia juga sudah berhasil menyulap rumah kecilnya menjadi rumah yang mendekati kata mewah.   “Ibu, jangan khawatir, Agus sudah memiliki pandangan wanita yang akan Agus jadikan sebagai istri Agus. Ah... jangan mengkhayal, nama wanita itu saja kamu tidak tahu, Gus! Sukanya mengkhayal yang tidak pasti. Kerja Gus, kerja! Jangan mengkhayal terus.”  ucap Agus dengan lirih dan merutuki dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD