Aku tidak akan buka butik untuk hari ini, hari ini aku memutuskan untuk di rumah saja. Tadi aku juga sudah mengabari Dinda kalau hari ini kita akan libur, aku ingin menghabiskan waktu bersama keluargaku. Sudah lama rasanya aku tidak beriman bersama Rian, sangat rindu hatiku untuk mengajaknya bermain. Saat ini aku sedang berada di ruang keluarga, aku duduk di karpet yang di gelar di atas lantai dekat televisi. Aku sedang menemani Rian bermain, sedangkan bunda sedang memasak di dapur. Tadi, awalnya aku ingin membantu bunda memasak, tetapi bunda menolak dan mengatakan kalau lebih baik aku menemani Rian saja di sini. Sedangkan ayahku sudah berangkat ke bengkel setelah subuh tadi, kata ayah mendadak ada beberapa pelanggan yang menghubunginya dan meminta ayah untuk cepat datang.
"Pintar banget sih adiknya kakak ini," ucapku saat melihat Rian dengan mudahnya memasang lego mainannya.
Rian yang saat ini berusia satu tahun terlihat lebih aktif, ia sudah mulai bisa memanggilku dengan sebutan 'kak' ataupun memanggil bunda dan ayah.
"Kak! Kak!" Rian tiba-tiba saja mengangkat kedua tangannya kepadaku, mengkodeku untuk meminta digendong.
"Loh? Kenapa? Kok minta digendong?" tanyaku.
"Ndong! Kak!" Rian setengah merengek membuatku tertawa dan merasa gemas dengan adik kecilku ini.
Aku akhirnya menggendong Rian dan mencium kedua pipinya dengan gemas, betapa aku menyayangi adik kecilku ini. Meskipun usia kami terpaut begitu jauh, tetapi aku sangat senang dengan kehadiran Rian. Sehingga aku tidak jadi menjadi anak tunggal, melainkan kini sudah menjadi seorang kakak.
"Kak, sarapan sudah siap! Ayo kita sarapan bersama!" Terdengar suara teriakan bunda dari arah dapur.
"Iya, Bun!" teriakku.
Aku pun bergegas pergi menuju dapur, di sana aku melihat bunda yang baru saja selesai menata makanan yang sudah beliau masak di atas meja makan. Bau harum masakan bunda tercium di hidungku, membuatku refleks ke sana sambil menggendong Rian.
"Sini, Rian biar sama Bunda. Kamu sarapan aja dulu," ucap bunda mengambil alih Rian dari gendonganku.
"Wah, ada sambal ati dan kentang, Bunda tahu aja kalau Risa lagi pengen makan ini," ujarku saat melihat menu makanan favoritku disajikan di atas meja.
"Iya, Bunda sengaja. Biar kamu bisa makan dengan banyak, udah makin kurus aja kamu sekarang. Meskipun lagi harap skripsi, tetapi badan juga harus dijaga. Bunda nggak mau ya anak Bunda jadi sekurus lidi." Aku tertawa mendengar perkataan Bunda.
"Sekurusnya Risa, nggak mungkin bisa sekurus itu, Bunda," tuturku.
"Udah ah, kamu makan dulu ya. Bunda mau mandiin Rian dulu," ucap bunda yang kemudian pergi meninggalkanku.
Aku pun duduk di salah satu kursi, mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi serta lauk. Aku mulai menikmati sarapanku yang lezat ini dengan tenang. Hingga tiba-tiba saja entah dari mana pikiran ini berasal, mendadak aku memikirkan perkataan Alex kemarin.
"Apaan sih kamu ini, Ris? Bisa aja dia cuma bercanda kemarin," gumamku yang akhirnya lebih memilih tak ambil pusing dalam memikirkan hal itu.
Aku pun melanjutkan makanku hingga tandas, usai makan aku pergi menuju kamarku. Ada beberapa desain yang harus aku kerjakan karena besok harus segera diberikan kepada tukang jahit.
Siang hari saat jam makan siang tiba, bunda tiba-tiba saja mengetuk pintu kamarku. Aku yang hendak melanjutkan mengerjakan skripsiku pun menghentikan kegiatanku. Aku membukakan pintu kamar dan terlihatlah bunda di sana sambil menggendong Rian.
"Ada apa, Bun? Tumben Bunda ngetuk kamar Risa. Jam makan siang masih agak lama 'kan?" tanyaku karena biasanya kalau aku sudah di kamar, bunda sangat jarang sekali mengetuk pintu kamarku kecuali untuk urusan penting dan juga mengajakku makan siang. Bunda seakan tahu kalau aku sedang sibuk, maka tidak boleh diganggu.
"Ris, kamu kok nggak pernah cerita sama bunda kalau kamu punya calon suami?" Aku terkejut mendengar perkataan bunda, alisku bertaut bertanya-tanya dengan pertanyaan yang sejujurnya menjadi pertanyaan juga bagiku.
"Maksudnya gimana, Bun? Calon suami apanya?" tanyaku bingung.
"Di depan ada seorang pria yang mengaku sebagai calon suami kamu, dia datang ke sini untuk melamarmu katanya, Kak," jawab Bunda.
"Apa? Masa sih, Bun? Mungkin orang salah alamat, Bun."
"Nggak, dia katanya kenal sama kamu. Makanya ayo kita ke depan dulu biar kamu lihat orangnya."
Aku dan bunda berjalan menuju ruang tamu, saat berada di ruang tamu aku dikejutkan dengan keberadaan Alex dan Bu Sievania.
"Bu Sievania? Alex?" gumamku yang sepertinya didengar oleh bunda. Buktinya saja beliau menoleh ke arahku.
"Kan kamu kenal sama dia, kenapa nggak pernah cerita sama Bunda?" bisik Bunda.
Jangankan untuk cerita, aku saja masih terkejut dengan yang terjadi hari ini. Mendadak aku menjadi gugup, apalagi melihat senyum Bu Sievania yang begitu lebar dan memiliki arti tersirat.
"Bu Sievania dan Pak Alex kenapa ada di sini?" tanyaku menyapa mereka dengan ramah kemudian menyalami tangan Bu Sievania.
"Tentunya buat jadiin kamu mantu Ibu secepatnya, Risa," ucap Bu Sievania sambal tersenyum.
"Kami datang ke sini untuk melamarmu, tetapi karena ayahmu tidak ada mungkin kami akan tunda besok. Yang jelas saya sudah mengatakan niat baik saja pada bundamu," ucap Alex membuatku menoleh ke arahnya.
"Maaf, apa bisa saya bicara berdua dengan Pak Alex?" Aku ingin bicara berdua dengannya, banyak pertanyaan yang harus aku tanyakan padanya.
"Boleh."
Aku mengkode padanya untuk berbicara di luar rumah, aku dan dia akhirnya pergi keluar rumahku. Saat ini kami duduk di kursi depan rumahku dengan meja kecil sebagai penyekat.
"Saya pikir perkataan Pak Alex tempo hari hanya bercanda saja," ujarku membuka suara.
"Sudah saya katakan kalau saya tak main-main dengan ucapan saya beberapa hari yang lalu," ucap Alex.
Aku terdiam mendengar perkataannya, masih tak percaya kalau ia dan Bu Sievania datang ke sini untuk melamarku. Saat ini aku bingung harus bertanya atau mengatakan apa lagi, karena sejujurnya aku masih ingin bertanya pada diriku. Apakah aku siap ataukah belum siap menerima semua ini.
"Kenapa diam? Apa kau ingin menolak saya?" tanya Alex membuatku menoleh ke arahnya.
"Bisakah beri saya waktu beberapa hari?" pintaku.
Alex mengerutkan dahinya seakan tak setuju dengan permintaanku, hingga akhirnya aku kembali melanjutkan perkataanku, "Saya butuh waktu untuk memikirkan semua ini, apalagi hal yang Bapak lakukan ini serba mendadak. Saya ingin Bapak juga memikirkan hal ini dengan matang, karena saya takut Pak Alex menyesal setelah menikahi saya."
"Saya tidak akan menyesal, saya tertarik saat melihatmu. Berhubung Mama memang sudah dari lama menginginkan saya menikah, tidak ada salahnya saya meminta seseorang yang saya sukai untuk ke jenjang yang lebih serius? Lagipula saya tahu, kamu tidak akan suka dengan hubungan yang tidak halal. Maka dari itu saya mengajak mama saya ke sini untuk melamarmu," ucap Alex yang membuatku tertegun.
Aku melihat keseriusan di matanya, tetapi meskipun begitu entah mengapa aku masih ragu.
"Saya benar-benar butuh waktu untuk memikirkan semuanya, Pak."
"Baiklah, saya beri kamu waktu satu minggu. Kamu bisa berikan jawaban itu pada saya setelah satu minggu," ucapnya yang membuatku merasa lega karena aku tak perlu menjawab pertanyaannya sekarang.