Tentang Asih 2

1129 Words
Seminggu berselang, kabar buruk datang pada Asih. Gadis itu tengah mengambil cucian kotor ketika sang Paman mendekat dan mengajaknya ke kota. Di depan semua orang, Paman Bagio berseru lantang kalau itu adalah acara kunjungan ke tempat kediaman calon besan. Tidak lama, mungkin hanya menginap satu malam. Jarak dari desa ke kota membutuhkan kurang lebih 5-6 jam. Jadi terlalu melelahkan kalau mereka harus bolak-balik di perjalanan. Asih tidak mengatakan apapun. Ia hanya membisu kemudian meneruskan pekerjaan mencuci. Hari itu akhir tiba, ia terpaksa harus pergi. Walaupun Asih bisa saja memohon dengan mencium telapak kaki Pamannya, tetap saja ia diharuskan menikah. Asih mendengar banyak gosip buruk tentangnya di desa. Meski semuanya tidak benar, tapi dampaknya tetap tidak bisa dihindari. Dari ucapan buruk, hingga tuduhan palsu. Bibinya pun akhir-akhir ini mengeluh karena sering memergoki pemuda desa mengintip dari balik pagar rumah. Asih akhirnya paham kenapa Paman Bagio tiba-tiba mengatur pernikahan untuknya. Para lelaki desa jarang ada yang berani melamar karena mahar Asih ketinggian. Subuh itu, untuk pertama kalinya, Lana dan Mila berbaik hati meminjamkan baju dan sepatu mereka. Hampir dua jam dua saudari itu mendandani Asih secantik mungkin. Rambut hitam panjang yang biasanya hanya dikepang, kini disisir dan diberi wewangian. Lana banyak menyumbang keterampilan make upnya. Alhasil, wajah cantik Asih mendapatkan pesona lebih dari biasanya. Bukan tanpa alasan keduanya melakukan itu. Mereka menganggapnya hadiah pernikahan sekaligus ucapan syukur karena Asih akhirnya pergi dari rumah. Pemuda yang diincar mereka pasti akan berpaling dengan mudah kalau tahu Asih akan menikah. "Sih, jangan pasang wajah cemberut. Sayang makeupnya nanti," tegur Lana memberi sentuhan akhir. Ia memberi isyarat pada Mila agar ikut membujuk Asih. Gawat juga kalau nantinya, calon suami Asih berubah pikiran. "Aku memang seperti ini. Apa kalian pernah melihat aku tersenyum?" tanya Asih getir. Meski tidak bermaksud apapun, ucapan itu serasa menusuk sembilu Lana dan Mila. Selama ini Asih memang hidup dengan wajah datar, tanpa ekspresi layaknya manekin. Berbeda dengan mereka yang selalu dilimpahi kasih sayang, Asih berjuang agar orang-orang di sekitarnya tidak kecewa. "Kenapa lama sekali? Mobil sudah siap sejak tadi," kata Paman Bagio masuk ke ruangan itu tanpa permisi. Asih buru-buru berdiri, mengambil tas milik Mila dari atas kursi. Melihat itu, Paman Bagio terkejut kemudian menatap kedua putrinya bergantian. Mungkin untuk memastikan kalau tas di tangan Asih memang murni pemberian. "Itu hadiah," kata Mila canggung. Pasti Ayahnya merasa heran dengan kepedulian mereka, tapi hal semacam itu, tidak berarti apapun. Nasib Asih akan dipertaruhkan hari ini. Diam-diam gadis itu merasa sakit hati. Bagaimana bisa sang Paman mempermasalahkan barang bekas? "Ambil lagi, jangan memberi apapun padanya." Paman Bagio memberi isyarat pada Asih agar cepat mengembalikan tas itu. Terlihat sekali ia tidak setuju hingga wajahnya timbul kerut. Hal tidak mengenakkan itu membuat suasana mendadak dingin dan kaku. Kalau sudah begitu, tidak ada yang berani membantah. Baik Lana maupun Mila hanya mematung sembari menunduk. Asih memendam rasa kesalnya dalam-dalam. Ia kemudian mengikuti langkah sang Paman keluar dengan perasaan yang campur aduk. Gadis itu ingin menangis, tapi ditahan. Untuk waktu yang lama, Asih berhasil memakai topeng anak penurut. Tapi berpura-pura di saat terakhir adalah hal paling berat. Ia sampai harus menggigit lidahnya agar tetap bertahan. Namun, saat Asih masuk ke dalam mobil. Paman Bagio yang biasanya duduk di depan dengan sopir, tiba-tiba berpindah ke belakang untuk memberi Asih sebuah bingkisan. Bau khas barang baru tercium begitu semerbak, menusuk hidung. Jantung Asih seketika berdetak, tidak percaya saat melihat tas dan sepatu di dalamnya. "Kamu harus pakai sesuatu yang pantas saat menemui calon suamimu," ujar Paman Bagio memberi penjelasan. Asih langsung menelan pilu, kecewa sekaligus sakit hati. Ia pikir, di moment terakhir ini, Paman Bagio akan memberinya hadiah di luar kepentingan pribadi. Tapi semua hanyalah khayalan kosong. Asih sadar, sejak awal menginjakkan kaki di rumah itu, ia akan menjadi manekin hidup hingga akhir. Mobil akhirnya melaju, menembus jalanan desa beserta alam liar dan kabutnya. Desa tempat tinggal Asih memang jauh dari hiruk pikuk kota, tapi tidak bisa dibilang pinggiran. Buktinya, Lana dan Mila bisa kuliah di kota sebelah tanpa harus indekost. Hanya saja meski akses dari luar terbilang gampang, tapi jalanan desa 40 persen belum diaspal. Sinyal internetpun kembang kempis karena kalah dengan tingginya pepohonan. Di sepanjang perjalanan, Asih memutuskan untuk tidur. Dalam waktu yang cukup lama itu, ia menyenderkan tubuhnya ke belakang, menikmati angin yang masuk dari sela jendela yang sengaja dibuka. Tak lama, sebuah bantal leher warna pink terang disodorkan Paman Bagio, mungkin milik Lana. Gadis penyuka pink itu sering membeli barang dengan nuansa yang sama. Asih tidak tahu berapa jam ia terlelap di posisi itu. Sayup-sayup tadi, ia seakan melihat dirinya sendiri tengah duduk bersama kedua orang tuanya. Ya, itu memang hanya sebuah mimpi tentang sedikit sisa kenangan masa kecil. Asih tidak bisa mengingat terlalu banyak karena usianya yang masih sangat muda. Bagian terburuk dalam hidupnya adalah tidak punya apapun untuk diingat. "Sih, bangun. Sebentar lagi kita sampai," kata Paman Bagio menepuk bahu sang keponakan. Asih yang terbiasa disiplin waktu, segera membuka matanya. Lagipula, tidurnya tidak nyenyak lantaran tidak terbiasa naik kendaraan. Untung Asih sempat minum obat anti mabuk jadi pusing dikepalanya tidak begitu parah. Asih mengerjap, melempar pandangannya keluar. Tidak hanya puluhan bangunan megah yang menarik perhatian, tapi juga suasana ramai yang datang dari pedagang pinggir trotoar, sangat asing di telinganya. Pemandangan seperti itu serasa tidak menyenangkan. Tapi Asih bisa apa? mulai sekarang, tempat itu akan menjadi tujuan hidupnya yang baru. Tak lama kemudian mobil milik Paman Bagio perlahan keluar dari jalanan besar. Sang sopir mengarahkan kemudinya ke sebuah kompleks megah dengan bangunan model serupa. Asih hanya pernah melihat lingkungan seperti itu lewat televisi. Saat sang Bibi menonton sinetron, ia acap kali menemani. Namun, dari kebanyakan hal asing, tempat tinggal orang kaya adalah yang paling mengerikan. Di kebanyakan drama diceritakan kalau anggota keluarga akan berebut warisan hingga saling menjatuhkan. Apa semua itu memang terjadi di kehidupan nyata? Batin Asih bergeming. Kini mobil yang membawanya telah berhenti di depan pagar rumah paling ujung. Selain desainnya paling berbeda, halamannya lebih luas daripada hunian lain. Asih lebih pantas datang sebagai pelayan baru ketimbang calon mantu. "Sih, sebelum keluar, perbaiki dulu riasanmu. Paman akan menunggu," pinta Paman Bagio mengulurkan sekotak kecil alat make up kepunyaan Lana. Entah sejak kapan benda itu ada di sana, tapi Asih semakin tidak nyaman. Kenyataan kalau ia akan 'dijual' sangat menyakitkan. Mana ada wanita yang datang untuk menawarkan diri? Yang seharusnya terjadi adalah, calon suami ke rumah membawa lamaran sebagai tanda penghormatan. Sementara itu, dari dalam rumah megah terlihat bayangan seseorang yang berdiri di balkon lantai dua. Ia tengah menghisap rokok sembari menggoyang-nggoyangkan segelas wiski di tangan kiri. Mobil Asih bukanlah yang pertama. Mungkin sudah ada puluhan gadis yang datang dan pulang dengan membawa rasa kecewa. Pria itu yakin, kali ini akan tetap sama. Ia benci wanita pengendus harta dan munafik. Sesuai perjanjian awal, sandiwara harus dijalankan agar keluarga itu mendapat menantu yang terbaik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD