Sebelum lamaran

1222 Words
Berita Asih yang telah menemukan calon pendamping, segera menjadi perbincangan hangat di kalangan pemuda desa. Mereka kecewa lantaran Paman Bagio lebih memilih berbesan dengan orang luar ketimbang warga sekitar. Namun, sebagian orang tahu, pernikahan yang diatur Paman Bagio hanyalah kedok agar Asih segera pergi dan melupakan hak atas semua warisan orang tuanya. Mempunyai suami dari kota lain adalah pilihan terbaik. Selain tempatnya jauh, cerita Asih pun akan terkubur dengan sendirinya. Namun, itu hanyalah asumsi orang. Yang sebenarnya terjadi adalah Paman Bagio keberatan. Ia merasa pilihan Asih tidak rasional. Andai bisa, lamaran itu dibatalkan saja. Secinta apapun dengan harta, Paman Bagio tidak akan pernah tenang kalau melepas Asih pada sembarang orang. Apa nikmatnya pernikahan kalau suami hanya menerima tanpa memberi? Walaupun kaya raya, Jarvis jelas tidak bisa diandalkan. Secara moral, orang tua Jarvislah yang bertanggung jawab atas semuanya nanti. "Paman, bagaimana dengan bajuku, bagus?" tanya Asih pada Paman Bagio di hari lamaran. Sejak pagi, semua orang di rumah sibuk, menyambut kedatangan Jarvis yang katanya akan tiba siang ini. Bahkan beberapa pohon ikut ditebang agar memberi lahan parkir yang luas pada tamu. Alhasil, bukan hanya ramai di dalam rumah, tapi di luar pun banyak pemuda desa yang diam-diam mengintip. Mereka sangat penasaran dengan calon suami Asih yang katanya kaya raya. Di sisi lain, Mila dan Lana yang biasanya iri, diam-diam merasa kasihan setelah diberitahu Ayahnya tentang kondisi Jarvis. Tidak terbayang kalau sepanjang hidup, Asih hanya akan jadi seorang perawat berstatus istri. Meski begitu, Asih tidak ambil pusing dengan pandangan semua orang. Ia sangat yakin kalau pilihannya sudah tepat. Buat apa suami yang sempurna? Selain terhindar dari urusan ranjang, Jarvis tidak akan pernah bisa melukai hatinya. Asih akan merawat Jarvis dengan tulus sebagai balasan seumur hidup. Asih menghembuskan napasnya berkali-kali, menenangkan kegelisahan hati. Makeup dengan gincu merah merekah yang menghiasi wajahnya, menambah kesan rupawan hingga Paman Bagio terkesima sebentar. Tak disangka, hatinya bisa ikut sedih saat mengantar keponakannya di hari-hari terakhir melajang. "Bagus, cantik sekali." Paman Bagio tersenyum, menepuk pundak kecil Asih yang dibalut kebaya warna biru langit. Rasanya baru kemarin Asih ia bawa ke rumah. Masih setinggi perutnya dengan wajah polos yang belepotan tanah kuburan. Sepeninggalan orang tuanya, Asih memang sering menghabiskan waktu di pemakaman, tapi kebiasaan itu berangsur menghilang setelah ia dirawat oleh sang Paman. "Sih, apa sudah mantap pilihanmu? Paman bisa mengusahakan untuk menolak mereka baik-baik nanti," kata Paman Bagio masih belum yakin dengan keputusan Asih. Sayangnya, puluhan kali bertanya, gadis itu masih memberikan jawaban yang sama. Tidak mungkin Asih jujur tentang alasannya memilih Jarvis. Terlalu konyol dan kekanak-kanakan. Namun belum sempat, Asih bicara, seorang pelayan rumah keburu berseru kalau rombongan keluarga Jarvis sudah datang. Asih dan yang lain langsung berdiri, menatap dua mobil warna hitam dan sebuah mobil porche warna perak, bergerak begitu lambat memasuki pelataran rumah. Asih cepat-cepat memeriksa riasannya, bertanya pada Mila dan Lana apakah make upnya luntur atau tidak. Di saat seperti itu, ia begitu gugup, takut membuat kesalahan kecil yang berujung fatal. Ny Carissa terlihat tidak begitu menyukainya. Pak Januar lah yang setuju dan menawarkan sebuah lamaran. Tak lama kemudian, rombongan keluarga Jarvis masuk satu-satu, mengisi tiap bangku di ruang tamu. Selain Pak Januar dan Ny Carissa, Asih tidak menemukan Jarvis. Calon suaminya itu ternyata tidak datang karena alasan kesehatan. Apa boleh buat, Asih harus menahan kecewanya dalam-dalam. Berbeda dengan Bibi dan Pamannya yang menatap takjub pada puluhan bingkisan lamaran, Asih justru tidak menaruh minat sedikitpun. Ia hanya menatap kosong pada jarinya, bermimpi kalau Jarvis setidaknya bisa memasukkan cincin di sana. Kini, di mata Asih, acara resmi yang harusnya menyenangkan dan sakral, malah berubah seperti perkumpulan warga biasa. Semua kalimat maupun ucapan basa basi yang terlontar dari para orang tua, serasa angin lalu di telinga. Warga sekitar pun hanya melihat baju, sepatu dan gemerlapnya tas dari pihak keluarga Jarvis ketimbang fokus ke acara inti. Maklum, semua terkesan berlebihan jika disandingkan dengan tempat tinggal Asih yang sederhana. Hingga kemudian ucapan Ny Carissa membuat lamunan Asih terjeda. "Asih, bisa tolong ambilkan cincin lamaran di mobil? Ibu lupa membawanya." Wanita paruh baya yang masih cantik itu, menunjuk sebuah mobil porche yang di parkir paling belakang. Terlihat, dari jauh, seseorang duduk di kursi depan. Asih buru-buru mengangguk. Ia lantas berjalan keluar sembari menarik ujung roknya agar tidak menganggu pergerakan. Tak perlu perjuangan untuk tampil mempesona, kulit langsat juga tubuh semampai itu sudah cukup menarik perhatian. Leher jenjang Asih yang biasanya tertutup kepang pun kini terpampang bebas karena digelung setinggi telinga. Pemandangan itu tidak luput dari tatapan para pemuda desa yang sengaja berkerumun di bawah pohon mangga. Mereka di sana sejak pagi demi memata-matai calon suami Asih. Namun, tetap saja, dari awal hingga akhir, mereka hanya penonton. Tidak ada yang benar-benar berani mengorbankan harta demi meminang gadis itu. Sesampainya di samping pintu mobil, Asih dengan sopan mengetuk jendela lalu memberitahu mengenai cincin yang tertinggal di dalam sana. Tak lama, kaca mobil mewah itu turun sedikit, lalu sebuah tangan pucat terulur keluar, menyodorkan kotak cincin warna putih keperakan. Awalnya, Asih ingin cepat pergi dari sana. Tapi kotak cincin itu malah tiba-tiba ditarik lagi. Di saat yang sama, kaca mobil semakin turun, menampilkan wajah rupawan pria blasteran yang tengah bersandar di kursi kemudi. Tanpa berkata-kata, pria itu berdecak keras, memainkan permen merah yang ada dalam mulutnya. Tingkah santai dan seenaknya itu membuat dahi Asih mengernyit kuat. Gadis itu tertegun, memergoki bahwa pria di depannya secara terang-terangan menatapnya sejengkal demi sejengkal, dari wajah hingga kaki. Itu adalah pandangan paling kotor yang pernah ia dapatkan dari kebanyakan laki-laki. Kadang, di saat seperti sekarang, Asih ingin sekali menyumpah, tapi tertahan di kerongkongan. Image sopan yang sudah mendarah daging dalam dirinya, tidak boleh dirusak. Pria itu--Jarvis, menyeringai tipis, memperlihatkan giginya yang berderet rapi dan bersih. Itu bukanlah kesan ramah, tapi sinis. Wajah setampan itu tidak seharusnya dinodai dengan sikap buruk. Asih langsung kehilangan minatnya kalau berhadapan dengan pria tanpa etika. "Itu, ambillah." Jarvis dengan enteng melempar kotak cincin ke luar, mengenai ujung kaki Asih yang tidak sempat menghindar. Asih terlalu terkejut hingga beberapa saat terpaku bingung. Tapi sedetik kemudian, matanya menajam, membalas tatapan liar Jarvis yang dirasa keterlaluan. Bagi Asih, Jarvis sangat aneh karena menurutnya, mereka belum pernah bertemu. "Kenapa? Bingung? Kamu pasti merasa cantik karena itu tidak menyangka diperlakukan seperti ini bukan?" ejek Jarvis kembali memainkan permen di mulutnya. Ia kesal karena seharian ini tidak bisa merokok. Terlebih, rasa permen tidak bisa mengganti kebutuhan nikotin. Asih tidak menyahut, memilih untuk memungut kotak cincin itu tanpa balasan emosi sedikitpun. Pikirnya, pria di depannya itu mungkin salah satu keluarga Jarvis yang tidak suka dengan pernikahan saudaranya. "Maaf, kita bicara lain waktu." Asih mengambil lalu menggosok kotak cincin itu agar tidak meninggalkan debu. Jarvis terdiam, mengigit permen di mulutnya kesal. Rupanya, Asih sulit dipancing seperti kebanyakan wanita lain. Meski pandangan matanya tajam, mulutnya tetap sopan. "Hei, sebaiknya kamu menolak lamaran ini. Aku memperingatimu, kalau masih keras kepala, aku jamin, hidupmu akan dililiti kawat berduri." Jarvis memberi tatapan serius, tak lagi main-main seperti tadi. Asih menoleh, mengulumkan senyum dingin di bibirnya yang bergincu tebal. Andai ia tahu pria di depannya itu adalah Garry Jarvis, keputusannya sudah pasti berubah. Siapa yang mau menikahi pria dengan tatapan tidak senonoh? Wajah malaikat, tapi hatinya lebih rendah dari iblis. Sialan, dia cantik sekali, batin Jarvis menyumpahi isi hatinya sendiri. Tubuh semampai yang menjauhinya itu, selangkah lagi akan ia rengkuh ke atas tempat tidur. Jangankan Pak Januar, Tuhanpun, tidak akan mau menyelamatkan Asih dari cengkraman Jarvis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD