Kehilangan Jiwa

1267 Words
benar benar tidak memikirkan arah, Karin hanya berjalan hingga menemukan sebuah sebuah terminal. Pandangan itu terasa kosong meski yang ada di hadapannya adalah keramaian dan keriuhan, banyak orang berlalu lalang mencari bus atau angkutan antar kota antar provinsi yang akan mereka naiki. melihat semua itu yang terbayang dalam benak Karin hanya sebuah pengalaman yang begitu menyakitkan. Dulu, saat dia masih menjadi seorang murid sekolah menengah pertama, terminal itu adalah tempat yang selalu di datangi dalam enam dari seminggu sejak hari Senin hingga hari Sabtu. Pagi pagi sekali, Karin sudah mengayuh sepedanya menuju terminal itu lalu menitipkan sepedanya pada tukang parkir sementara dirinya harus menaiki angkot menuju sekolahnya. Bukan tidak ada sekolah lain yang lebih dekat dengan rumahnya hanya saja memang ambisi Karin untuk bersekolah di tempat SMA unggulan terlalu besar Pada sore harinya Karin kembali menaiki sepedanya menuju rumah, gadis itu tidak pernah iri pada kedua kakaknya yang selalu di antar jemput ke sekolah dengan mobil sang ayah, gadis itu sudah terbiasa dengan hal seperti itu sejak kecil. Meskipun Karin tidak tahu apa salahnya, apa salahnya terlahir menjadi seorang wanita. Dulu, gadis muda bernama Karina Oktavia itu hanya merasakan semangat dan kegigihan selama tiga tahun menjadi pengunjung tetap terminal itu tapi sekarang wanita dewasa bernama Karina Oktavia itu merasakan sakit yang luar biasa pada ketidakadilan dunia yang dia terima. Wanita itu tetap berwajah datar, rasa sakit dalam hatinya pun nyatanya tidak lagi mampu membuat dirinya menitikkan air mata, wanita itu hanya melangkah pelan lalu menaiki bus secara asal. ia tidak peduli ke mana putaran roda armada itu akan membawanya dia bahkan sudah tidak peduli dengan putaran roda kehidupan. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Seorang kondektur saat mendekati Karin yang duduk sendirian di kursi belakang, penampilan berantakan wanita itu membuat para penumpang lain enggan duduk bersamanya. "Tujuan terakhir," jawab Karin tanpa menatap sang lawan bicara, wanita itu tetap menatap kosong sandaran kursi di depannya. "Monggo, Mbak," kata kondektur bus itu sambil menyerahkan tiket yang baru saja dia tuliskan sebuah nama kota dan sederet angka nominal yang harus Karin bayarkan. Karin menerima tiket itu lalu merogoh saku tasnya mengeluarkan segenggam uang yang nilainya berkali lipat dari angka yang kondektur itu tuliskan pada tiketnya. "Mbak. ini kebanyakan," kata laki laki berkumis tebal itu. "Ambil aja aku enggak butuh," jawab Karin datar, meski agak takut dan bingung tapi akhirnya sang kondektur merasa senang karena mendapatkan rejeki nomplok yang begitu banyak, masa bodoh dengan keanehan Karin yang lalu dia tinggalkan. Karin menatap ke luar jendela tanpa memikirkan apapun, wanita itu bahkan tidak ingat di mana dia meninggalkan kopernya saat langkah kakinya akhirnya terhenti di terminal tadi. Wanita itu benar benar kehilangan jiwanya. Hingga entah sudah beberapa jam berlalu, sinar matahari masih begitu terik menyinari bumi. Lelah jiwa dan raga yang Karin alami membuatnya begitu terlelap dalam tidurnya. "Mbak. Mbak bangun kita udah sampe," kata kondektur bus tadi saat memeriksa semua bangku penumpang yang telah kosong dan hanya tersisa satu bangku dengan perempuan tertidur lelap. Laki laki itu ikut terperanjat kaget saat Karin tersentak karena di bangunkan dari tidurnya yang begitu lelap. "Mbak, enggak turun? mau ikut ke Jogja lagi?" tanya Kondektur itu, uang yang tadi Karin berikan sangat cukup sebagai ongkos jika memang Karin ingin ikut ke Jogja lagi. "Ini di mana?" tanya Karin sambil menatap laki laki yang berdiri di dekat kursinya. "Ini sudah sampai terminal Pekalongan, Mbak. tujuan terakhir bus ini, sebenarnya Mbak mau ke mana to?" tanya Kondektur bus dengan logat jawa tengahnya. "Enggak tau," jawab Karin singkat, wanita itu lalu bangun dari duduknya dan segera turun dari bus. "Ealah, mesakne ayu ayu gendeng!" gumam Kondektur itu sambil menatap Karin melangkah menjauhi bus. Wajarnya, jika kita baru saja menginjakkan kaki di tempat baru maka secara spontan mata kita akan melihat ke sekeliling, membuat diri kita mengenali lalu terbiasa dengan tempat itu tetapi tidak demikian dengan Karin. Entah di mana dia berada sekarang wanita itu hanya melangkah pelan tanpa tujuan, tanpa sesuatu yang ia pandang bahkan ia pikirkan. Wanita itu melangkah tanpa arah di atas trotoar hingga tidak terasa telah keluar dari terminal, tidak ada yang tahu ke mana kaki itu akan melangkah, Karin juga tidak tahu kalau sekarang sedang ada seorang pemuda yang berjalan membuntuti dengan pandangan awas mengintai dan menunggu agar Karin berjalan ke tempat yang lebih sepi. Harapan pemuda berkaus hitam dan celana jeans sobek sobek itu terwujud, akhirnya langkah kaki Karin tertuju ke sebuah jembatan kecil, jembatan satu arah yang terlihat begitu sepi siang itu. Jembatan itu cukup tinggi, dengan aliran sungai yang tidak begitu jernih di bawahnya, di sisi kanan dan kiri jembatan itu terdapat trotoar yang di khususkan untuk pejalan kaki dan Karin berjalan pelan di sisi kanan jembatan itu. Melihat situasi sudah kondusif, pemuda yang memiliki tatto di tangan kanan dan lehernya itu berlari dan dengan begitu cepat ia mengambil shoulder bag yang menggantung di bahu kiri Karin lalu berlari menjauh secepat mungkin. Beberapa pengendara sepeda motor yang melintas berteriak copet dan berniat mengejar pemuda itu tapi saat melihat reaksi Karin mereka urung melakukannya, mereka malah memerhatikan wanita itu. Tubuhnya yang tinggi semampai dan terlihat semakin kurus itu sempat terhuyung saat pemuda itu menjambret tas nya tapi setelah itu Karin kembali berjalan pelan tanpa ekspresi. "Dasar cah gemblung, tas punya orang stress di jambret!" kata seorang pengendara sepeda motor yang sempat berhenti di dekat Karin. "Mesakke yo, Pak, ayu ayu stress gitu," kata seorang wanita yang ada di boncengan sepeda motor sang suami. Sepasang suami istri itu kembali menjalankan sepeda motornya karena Karin pun sudah berjalan menjauh meninggalkan jembatan. Kini sudah tidak ada yang tersisa, Karin tidak memiliki apapun selain pakaian yang melekat di tubuhnya. Dan sesuatu yang ada di dalam perutnya, sesuatu yang begitu membuat Karin semakin terluka saat memikirkan oleh karena itu Karin begitu tidak ingin memikirkannya. Karin ingin lupa, ingin lupa segalanya, ia tidak ingin lagi mengingat semua hal menyakitkan yang ada dalam hidupnya. Semuanya karena semua yang dia dapatkan dalam hidup ini adalah luka. Wanita itu berjalan di keramaian kota, lalu semakin menjauh hingga melintasi hamparan persawahan. Karin berjalan di atas jalanan kecil lebarnya hanya sekitar satu setengah meter jalanan yang aspalnya sudah tidak begitu bagus, di kanan dan kirinya hamparan sawah begitu luas dan jauh di belakang wanita itu terbentang memanjang jalan layang penghubung antar provinsi. Melihat hamparan padi yang sudah mulai menguning itu membuat sebuah kenangan melintas, kenangan saat dirinya duduk di gazebo bersama Adrian. Saat itu Karin meluahkan kesedihannya, meluahkan segala rasa sakit hatinya pada Adam, lalu saat ini saat dia kembali terkenang rasa sakit itu terasa menghujam semakin dalam. "Aaaaaaaa ...." Sekuat tenaga Karin berteriak lalu menangis sejadi jadinya, wanita itu semakin melemah lalu duduk tersungkur dengan kedua tangan menopang tubuhnya, Karin terus menangis. Hingga matahari semakin terbenam tangis wanita itu mereda, Karin kembali melanjutkan langkah tanpa arahnya tanpa rasa lelah lalu saat malam tiba wanita itu telah sampai pada lada suatu desa. Rasa haus dan lapar akhirnya dia rasa walaupun dirinya tetap tidak sadar dia sudah tidak memiliki apa apa, bahkan hasrat untuk melepas rasa dahaga dan rasa laparnya tidak ada di kepala, wanita itu hanya merasa lelah dan mengantuk saja beruntung ada sebuah pos Ronda yang bisa dia datangi sebagai pelindung dari gerimis yang sudah mulai turun sejak beberapa waktu yang lalu. Entah pukul berapa, tapi sebagian besar warga sekitar sudah terhanyut dalam mimpi mereka, begitu juga dengan Karin yang begitu kelelahan, ia terbaring di atas lantai pos ronda yang terbuat dari semen. Sedikit berdebu karena memang pos ronda itu sudah tidak pernah di gunakan. Lelapnya Karin membuat dirinya tidak menyadari kalau ada tiga orang laki laki mabuk yang sedang menatapnya. "Orang gila!" "Iya, orang gila baru kayaknya." "Cantik!" "Lumayan." "Ayo sikat aja!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD