2. Seuntai Memori Bersamamu

1573 Words
(Jakarta, 6 tahun silam) "Apa, sih?" ketusku pada pemuda di hadapanku itu. Serius aku sebel banget kalo diliatin tapi nggak diajak ngomong apa-apa. Kurang kerjaan banget kan dia? Pemuda itu tersenyum. Bikin aku mencebik kesal. Ditanyain malah senyum. Apa coba maunya? "Rima, malam minggu nanti aku jemput, ya?" ucapnya dengan cengiran lebar. What!? Seorang Ridwan Atmaja Dwijaya mau ngajakin aku malam mingguan? Aku, loh? Cewek paling cupu di sekolah. Yang nggak punya kerjaan lain selain berkutat dengan pelajaran yang kata orang-orang ngebosenin banget? "Heh, Ridwan! Otak lo tuh kayaknya mesti dibenerin, deh!" tukasku padanya. "Loh? Kenapa, Rima?" pemuda nyebelin itu mulai menarik-narik tanganku dengan tak sabar. Ck! Apa, sih!? "Sejak kapan orang kayak lo gaul sama cewek kayak gue!?" tanyaku nyaring. "Sejak aku naksir sama kamu, Rima..." jawabnya. Cuih! Jijay banget gombalan nggak mutu gitu!? Dan apaan tadi? Aku-kamu katanya? Dueh, geli banget dengernya! Serius! "Udah sana jauh-jauh, deh. Bukannya gank nggak jelas kalian itu paling anti sama orang cupu kayak gue?" ketusku. Serius aku benci banget sama cowok sok kegantengan yang kebetulan emang ganteng banget ini. Aduh duh, fokus. Jangan pikirin muka gantengnya. Gawat ntar aku jatuh cinta sama cowok ganteng berwajah malaikat dengan nama malaikat ini juga! Nahloh, kenapa malah tambah muji? Aduh, kepalaku mesti diperiksa kayaknya, nih! "Rima, aku serius. Aku tuh suka kamu, naksir sama kamu. Pokoknya kamu harus jadi pacarku!" tegasnya lagi Dia kira gue apaan!? Harus? Cuih! "Heh! Ngaca deh lo, ya. Gue tuh nggak suka sama lo!" jawabku cepat. "Rima..." panggilnya, menarik tanganku lagi. Dan... APA?? Dia berlutut di hadapanku, yang masih duduk di bangku kantin tempat karyawisata yang kami datangi hari ini. "Rima, pliss... Jadi pacarku, ya..." pintanya. "Terima! Terima!" suara siswa-siswa dan para pengunjung nggak jelas mulai terdengar riuh. Sumpah ini memalukan banget! "Lepas deh, Ridwan! Gue ogah!" "Nggak, nggak sampe kamu bilang mau terima aku..." pintanya lagi. Hell! "Jangan sampe gue bikin malu lo, ya, Ridwan!" ancamku. "Aku nggak peduli, Rima..." ucapnya, dengan cekalan tangannya semakin kuat pada tanganku saat aku mencoba melarikan diri. Dan salah satu... Eh, dua... Bukan... Tiga temen gank-nya Ridwan datang membawa bunga di tangannya. Yang satu bunga matahari, yang satu bunga mawar merah, dan yang satu lagi bunga mawar putih. Mereka kemudian berdiri di belakang Ridwan dengan senyum sumringah. Apa-apaan sih, mereka!? "Rima, bunga apa yang paling kamu suka? Aku nggak mau ngambil resiko ngasih kamu bunga yang kamu nggak suka..." ucapnya lembut. Eh? Siapa yang ngomong? Si kepala preman yang ajaibnya jenius di sekolah bisa ngomong lembut kayak gitu? Mimpi apa aku bisa denger dia ngomong gitu? "Ridwan, lo pasti cuma ngejahilin gue, kan!?" aku tau dia memang selalu begitu! Menjahili cewek cupu di sekolah. Dia pasti mau membuatku malu dan membuat nilaiku hancur, jadi dia bisa duduk di peringkat pertama lagi. Aku tau dia nggak terima aku jadi peringkat satu di sekolah. Ridwan menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku serius, Rima..." dia berdiri, mengambil ketiga bunga dari teman-temannya, menyodorkannya padaku. "Bunga matahari, karena bagiku kamu adalah cahaya mentari yang menyambut pagiku. Mawar merah, karena cintaku untukmu merekah, seindah dan semerah mawar ini. Mawar putih, karena kamu adalah lambang kesucian yang ingin kujaga. Kamu semurni mawar putih yang rapuh tapi berduri. Aku rela melukai diri untuk menggapaimu, Rima..." ucapnya lembut, tapi penuh dengan keyakinan. Speechless. Aku speechless. Gila ni, pasti ada kamera deh, yang ngerekam kejadian memalukan ini, kan? Mana kameranya? Aku mau melambaikan tangan ke kamera, karena kayaknya aku udah nyerah! Nyerah ngelihat tatapan mata Ridwan, yang keliatan tulus banget menatapku. Nyerah dengan suaranya yang mendayu menyapu telingaku. Nggak! Aku nggak boleh suka sama dia! Dia nggak mungkin serius, kan!? Ini pasti cuma permainan! "Rima, kamu udah menarik perhatianku sejak pertama kali kamu merebut apa yang jadi singgasanaku. Sejak kamu menyaingiku di peringkat satu. Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Awalnya aku memang kesal sama kamu. Tapi, semakin sering aku gangguin kamu, jahilin kamu, melihat amarahmu, aku malah terpesona padamu, Rima. Aku nggak peduli lagi dengan peringkat satu itu. Beneran nggak peduli. Kamu boleh ambil apapun milikku, asal aku bisa memiliki kamu, Rima..." ucapnya, terdengar mantap di telingaku. "Udahlah Rima, terima aja. Kami udah nggak kuat ngelihat Ridwan mellow-mellow mikirin lo..." "Iya Rima, kami juga udah capek selalu ngikutin perintah dia buat ngejagain lo dari jauh..." "Dan kami nggak tahan banget lah dengan gaya preman jatuh cinta ini... Udahlah terima aja, Rima. Kami juga malu ikutan berdiri di sini..." Satu per satu suara teman-teman Ridwan menyapa telingaku. Ini serius? Ridwan beneran suka padaku? Nggak bohong ini? Yang bener nih!? "Aku nggak akan mundur, Rima. Aku udah ngumpulin semua keberanian yang aku punya buat nembak kamu hari ini. Dan aku nggak mau dengar penolakan. Aku cuma mau jawaban 'iya' dari kamu. Rima. Plis, jadi pacarku..." Lamaaa banget aku natap dia, mencari tau apa niatnya di balik pernyataan cintanya yang menggelikan ini. Tapi aku nggak bisa nemuin apapun. Entah dia memang tulus, atau dia terlalu pinter nyembunyiin niat busuknya di balik wajah tampannya itu. "Rima... Jawab, Rima... Aku cinta kamu, Rima. Plis terima aku jadi pacar kamu, dan aku janji bakal bikin kamu jatuh cinta sama aku... Mau ya, Rima?" Ridwan masih aja terus membujukku. Gile, ini sih bukan penembakan, ini namanya pemaksaan! "Rima, cepetlah!" suara temen-temannya mulai nggak sabar. "Yaudah... Aku mau.." terdengar suara yang kayaknya asing banget, tapi meluncur dari mulutku. Loh, aku kok udah setuju aja!? "Serius, Rima? Beneran mau jadi pacarku?" Ridwan berbinar menatapku. Aku mendecak kesal. Tadi bujuk-bujuk, sekarang nggak percaya. Nyebelin banget sih, jadi orang!? "Yaudah, aku mau jadi pacar kamu!" ketusku padanya. Ya udahlah, dari pada sama-sama malu di depan umum. Dan, apa-apaan nih si Ridwan pake peluk-peluk? Dikiranya aku cewek apaan!? "Ridwan! Apa, sih!?" protesku. "Eh, maaf Rima... Aku terlalu senang..." dia nyengir tanpa dosa. Alibi! "Cium! Cium! Cium!" Sialan! Apa-apaan penonton tak tahu diri itu!? Aku mendelik tajam kearah para penonton gratisan yang menyebalkan itu. Sampai sebuah kecupan mendarat di pipiku, membuatku dengan sebal menoleh pada Ridwan yang tak mau menatapku, malah tangannya udah meraih tanganku, mengangkat tanganku di udara. "Mulai hari ini, Rima milik gue! Nggak ada yang boleh macem-macem sama Rima!" teriaknya yang disambut riuh suara penonton yang makin nggak tau diri. Oh God, mimpi apa aku punya pacar setres kayak gini!? * "Yank, kenapa lihatin aku kayak gitu? Apa akhirnya kamu nyadar kalo kamu punya pacar yang ganteng banget?" Ridwan meluncurkan pertanyaan menyebalkan dan juga menggelikan itu saat aku tertangkap basah lagi mandangin dia yang sekarang lagi nyetir buat mengantarku pulang. "Cuih! Setres!" balasku sambil membuang muka. Dia tertawa. "Nggak papa deh, yank. Nanti juga suatu hari kamu akan ngerti... Bahwa aku emang serius cinta sama kamu. Bahkan walaupun kamu nggak cinta sama aku, aku tetep aja cinta kamu..." ucapnya riang. Tapi berhasil membuat pipiku terasa panas mendengar kalimat Ridwan yang terasa menembus hingga ke dalam hatiku. Iya, aku memang munafik. Masih sok bersikap cuek padanya. Padahal Ridwan selalu bersikap manis padaku. Bahkan dia memberiku hadiah saat sekali lagi aku meraih peringkat pertama di sekolah. Kurasa dia udah menepati janjinya untuk bisa membuatku jatuh cinta padanya. Mungkin dia memang bukan laki-laki terbaik yang ada di dunia, tapi kurasa, dia adalah cowok terbaik yang mungkin jadi pacarku. Tapi sampai kapan aku akan terus menyimpan sendiri perasaanku? Membiarkan dia mengira dia mencintaiku secara sepihak. Padahal, kini aku juga punya rasa yang sama padanya. Aku menyukainya. Setiap perlakuannya padaku. Caranya berbicara padaku. Caranya memandangku. Bagaimana dia menjagaku, seakan aku adalah barang rapuh yang terbuat dari kaca, yang sentuhan keras sedikit saja dapat membuatku terluka. Aku menyukainya. Ridwan. Malaikatku. "Udah nyampe, yank. Mau aku bukain pintunya lagi? Biar kayak di cerita princess-princess gitu..." tawarnya dengan seringai yang menghiasi wajahnya. Aku tersenyum padanya dan menggeleng. "Aku bisa sendiri kok, Ridwan..." jawabku. "See you tomorrow, tuan putri... I love you..." bisiknya. Aku udah akan membuka pintu mobil saat mendengar kalimatnya itu. Kurasa, ini giliranku, kan? Aku nggak mau terus jadi manusia yang munafik. Jadi aku kembali berbalik pada Ridwan yang masih menatapku dengan senyum manis di bibirnya. "I... Love you too..." bisikku pelan Dan senyuman di wajah Ridwan mendadak lenyap. Membuatku gelagapan sendiri, dan cepat-cepat mencoba membuka pintu. Tapi tangan Ridwan menahanku. Dia menarikku menghadapnya lagi. "Kamu bilang apa, yank?" tanyanya, menatapku dengan tatapan nggak percaya. "See... you?" elakku. Masa aku disuruh ulang? Padahal udah susah-susah bilang. Kan malu! Is, Ridwan bodoh! "Bohong. Bukan itu. Tadi kamu bilang apa yank? Kamu cinta aku? Iya, kan? Serius, yank?" Aku cuma bisa menatap matanya yang tampak berbinar bahagia, dan kembali merasakan rasa panas yang menjalar di pipiku. Dan kulihat sebuah senyuman kembali mengembang di wajah tampan Ridwan. "Akhirnya aku berhasil bikin kamu jatuh cinta sama aku ya, yank... Makasih, sayang... Udah mau membalas cintaku..." bisiknya saat dia udah menarikku dalam peluknya. Dan untuk pertama kalinya, aku membalas pelukannya. Mendekap tubuhnya erat. Menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang bercampur parfum bvlgary kesukaannya. Ridwan melepas pelukan itu, menatap mataku dalam-dalam. Menatapku dengan penuh hasrat yang rasanya membuatku sedikit menciut. Perlahan dia mendekatkan wajahnya. Wajah itu terlihat semakin mempesona dari jarak sedekat ini. Ridwan, kamu mau apa? Kulihat dia memejamkan matanya sesaat setelah dia memiringkan wajahnya. Sementara aku hanya diam melihatnya, mencoba melawan debaran jantungku yang terasa melonjak lebih parah daripada saat pertama aku menyadari perasaanku pada Ridwan. Akhirnya, bibir tipis itu bersentuhan langsung dengan bibirku. Membuat jantungku rasanya berhenti bekerja dan aku mati seketika. Mati dalam dekapan cintanya. Perlahan, dia melumat bibirku dengan lembut. Sangat lembut. Tangannya juga terulur mendekapku pelan dan hangat. Dia menciumku dan memelukku selembut mungkin. Seakan sedikit kekuatan saja akan membuatku remuk dalam pelukannya. Dan itulah yang membuatku jatuh cinta padanya. Ridwanku. Kekasihku. Kuulurkan tanganku memeluk lehernya, dan dengan perlahan kubalas lumatannya. Mencecap manis bibirnya. Dan menyelaraskan irama ciumannya, ikut menjelajah ke dalam mulutnya. Mulut manisnya yang selalu meluncurkan suara yang mampu menggetarkan hatiku kini. Mulut manis yang selalu tersenyum bahagia padaku dan setia merayuku. Kucecap pula lidahnya yang terjulur masuk ke dalam mulutku. Merasakan betapa lembutnya lidah itu. Lidah yang tak pernah berdusta padaku, yang selalu hanya mengungkapkan segala kebenaran tentang dirinya. Ridwan, aku mencintaimu. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD