PROLOG

1557 Words
“Ketika tahta bukan lagi alasan untuk tetap bersama.” BELANDA. 15:00 PM Suara elektrokardiografi masih setia mengisi keheningan ruangan serba putih. Ruangan di mana seorang gadis cantik masih tertidur dengan alat medis dan infus yang menempel pada tubuh. “Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya seorang pemuda tampan dengan iris mata biru, menatap gadis cantik itu sambil menggigit bibir bawah. “Dia baru saja melewati masa kritisnya. Kita hanya bisa berdoa, semoga pasien bisa cepat sadar,” jawab sang dokter paruh baya sambil menatap brangkar, tempat gadis itu tidur. “Kapan kira-kira dia bisa sadar?” ujar pemuda itu lagi, mulai pasrah. Sang dokter menggeleng. “Saya juga tidak tau. Tapi semoga dia akan segera baik-baik saja.” “Terima kasih, Dok.” “Kalau begitu saya permisi,” pamitnya lalu beranjak menghampiri pintu dan segera keluar dari sana. Arga Pramudya Alaska. Pemuda itu hanya bisa menghela napas, menatap gadis cantik itu sendu. Sudah empat bulan. Ralat. Lebih tepatnya hampir lima bulan, gadis itu belum membuka matanya juga. Terbaring di brangkar dengan alat yang semakin banyak di tubuh. Sudah tiga bulan belakangan ini, Arga melakukan hal yang sama. Datang ke rumah sakit setiap pulang sekolah, menjaga dan menemani gadis yang entah kapan akan terbangun dari tidur panjangnya. “Nta, apa kamu nggak capek? Kamu bukan putri tidur, kan? Kenapa kamu nggak ada niat buat bangun?” tanya Arga sambil mengusap kepala gadis itu penuh kelembutan. Namun, hanya suara alat pendeteksi detak jantunglah yang menjawab pertanyaannya. “Hei, apa kamu nggak kangen aku? Ini aku Arga, sahabat kecil kamu.” Arga menarik napas sejenak. “Nyaris delapan tahun kita nggak ketemu. Apa kamu nggak berniat buat buka mata dan lihat aku?” Pemuda itu tersenyum kecut, saat tidak ada sahutan apapun yang dikeluarkan sang gadis. Ya, Denta adalah sahabat kecilnya. Mereka berpisah delapan tahun yang lalu karena Arga yang harus pindah ke Belanda bersama kedua orang tua. Dia begitu merindukan sosok di depannya ini. Bulan dua kemarin, Arga sudah berniat untuk datang ke Indonesia. Tentu saja ingin bertemu Denta dan Sandy. Dua teman yang sangat dia rindukan sejak lama. Namun, takdir Tuhan seolah baik membuatnya bertemu dengan Vero dan kedua orangtua di bulan awal tahun ini pada sebuah restoran seafood dekat rumah sakit. Awalnya, Arga berpikir, pertemuannya dengan keluarga Denta karena sedang berlibur ke Belanda. Namun siapa sangka malah kecelakaan seperti ini? Arga merasa dunianya runtuh sesaat. Sejak hari itulah, Arga yang selalu menjaga Denta di sini dan meminta kedua orangtua, begitu pula adik Denta agar kembali ke Indonesia. Mereka benar-benar pergi untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat terbengkalai dan akan datang dua minggu sekali ke Belanda, mengecek keadaan putri mereka. “Kamu jadi cantik sekarang,” ujarnya sambil terkekeh pelan. “Kamu harus bangun. I miss you, Nta.” Arga mendekatkan wajahnya ke arah gadis itu. Mengecup keningnya cukup lama. Tanpa Arga sadari, ada sebuah pergerakan kecil pada jemari gadis itu. Gerakan itu semakin lama, jadi terlihat semakin jelas, diikuti kelopak mata yang perlahan terbuka. Butuh waktu yang lumayan lama untuk membuat kedua kelopak mata terbuka sepenuhnya. Meski terlihat sayu, namun gadis itu bisa melihat jelas apa yang ada di sekelilingnya. Ruangan serba putih yang hanya berisi keheningan. yang menyala. “A-Arga?” Tubuh pemuda itu menegang. Arga membeku seketika. Secepat mungkin pemuda itu bangkit, berlari ke arah pintu untuk memanggil tim medis. Setelah usai diperiksa, Arga mengusap lembut kepala Denta sambil tersenyum pada gadis itu. “Kamu ngapain di sini, Ga? Kamu ke Indonesia? Kapan datang?” Denta menatap Arga, masih bingung. Diperhatikannya sekeliling ruangan, tapi tidak juga menemukan kedua orangtuanya. Dia ingat, terakhir kali mengalami kecelakaan, dan berakhir masuk rumah sakit. Dia juga ingat, bukan Arga yang menemaninya di sini, melainkan Karrel. Lantas, di mana pemuda itu? “Terus, papa sama mamaku di mana? Apa mereka nggak di sini?” sambungnya. “Harusnya aku yang tanya, kamu kenapa bisa sampai ke sini?” tanya Arga sambil tersenyum. “Hah?” “Kamu yang ke Belanda, bukan aku yang ke Indonesia,” sahut pemuda itu. Denta membulatkan mata. “Ini Belanda?” “Iya.” “How long i sleep?” Dia bertanya lagi. “Almost four month,” jawab Arga. Gadis itu menaikkan alis. “Selama itu, Ga? Kamu serius?” tanyanya tak yakin. “Aku bakal hubungin orangtua kamu. Supaya mereka bisa datang ke sini, mereka pasti seneng,” ujarnya. Denta merapatkan bibir, tak mengerti harus menjawab apa. Dia hanya menatap wajah sahabatnya. Tentu saja Denta mengingat Arga, wajah cowok itu tidak banyak berubah hanya penampilan dan bentuk tubuh saja yang berubah. Dia lebih tampan dan keren. “Aku nggak mau pulang, Ga. Aku mau di sini aja sama kamu. Mereka yang ada di sana, semuanya jahat,” katanyaparau, cukup kesulitan mencangkul pita suaranya. “Who? Maksud kamu Gasta?” Pertanyaan dari mulut Arga diangguki pelan oleh Denta. Sementara Arga, diam-diam merapatkan bibir. Sudah banyak ia mendengar tentang laki-laki itu dari Vero, adik Denta. “Dia yang udah bikin aku kecelakaan kayak gini,” gumamnya jadi mengadu. “Aku takut Ga, kalau aku balik ke Indonesia sekarang pastiaku bakal ketemu lagi sama dia.” “Kamu mesti pulang! Ada Mama, Papa, dan Vero yang masih nungguin kamu,” tegas Arga, membuat Denta tersentak.. “Tapi, Ga-” “Aku janji, bakal nyusul secepatnya ke Indonesia setelah itu,” balas Arga. *** JAKARTA-INDONESIA Terlihat, dari atas balkon salah satu ruangan, seorang pemuda tampan, menatap kosong pada langit malam. Di tangan kanannya menggenggam buku diary bersampul merah muda yang nyaris lima bulan ini selalu menjadi obat rindu terbaiknya. Gasta tersenyum kecut, sesaat berhasil membuka halaman pertama diary itu. “Gasta, ngadep ke kamera dong! Itu tuh kamera yang dipegang Dira. Ayo dong foto berdua!” rengek Denta, mengayun lengan Gasta sebal. “Hah?” “Ayo foto berdua.” “Nggak. Foto sendiri aja sana!” balas Gasta langsung jutek. “Ish, sekali aja. Mumpung Alex bawa kamera. Sekalian gitu, mau gue post di **. Biar kelihatan kayak punya pacar. Fans gue pada nanyain, gue sebenarnya punya pacar apa nggak?” “Dih.” “Kok dih?” “Bukannya kemarin?” “Yang mana?” “Yang di rumah lo.” “Itu cuma sekali. Nggak kelihatan mukanya. Makanya sekarang foto lagi!” balas Denta. Gasta mendecak sebal. “Males ah.” “Ayo senyum!” “Malu, Nta,” balas Gasta, mencoba memberi pengertian. “Apanya yang bikin malu coba? Punya muka ganteng tuh dipamerin dong, Gas! Gue aja bangga kok punya cowok ganteng,” omel cewek itu. “Gue nggak suka difoto.” “Sekali aja, habis itu udah.” Gasta mendengkus. “Ya udah, sekali aja ya!” Akhirnya Gasta menyerah juga, dan dengan semangat Denta bergerak merapat. Mulai berpose digit dua jari, dengan satu tangan memeluk lengan berotot milik pemuda itu. “Gue kangen lo, Bawel!” desisnya sambil mengusap foto gadis itu dengan jari telunjuknya. Denta Kalla Nayyira, mahakarya terbaik dari semesta. Sejenis manusia dengan segala kerecehan dan mulut merconnya membuat Gasta merindukan sosok itu. Gadis berpipi agak bulat dengan tinggi sedagu Gasta.Gadis yang berhasil menarik perhatiannya sejak kelas 9 SMP, saat pertemuan pertama kali mereka di sebuah bus. Mata bulat dengan pipi gembul yang menggemaskan itu sering tertawa dan gampang membaur. Senyumnya selalu membuat Gasta gugup. “Eh, lo! Tolongin gue, dong!” teriak Denta pada pemuda yang berdiri tidak jauh dari pintu belakang bus. Pemuda berseragam SMP sama sepertinya membuat Denta yakin kalau mereka seumuran. Namun, ketika melihat badge sekolah SMP ternama, bernama Dirgantara, membuat Denta melebarkan mata. “Mas, lo budeg ya?” omel Denta. Cowok berambut hitam dengan model rambut quiff menoleh. Melepas headset putih yang tersumpal di telinga. Sedikit terkejut mendapati seorang gadis tengah mengejar bus. “Lo mau naik?” “Iya, gue mau naik!” seru cewek itu. “Kernet busnya di depan, nggak denger teriakan gue!” “Pegang tangan gue!” titah Gasta, mengulurkan tangan. Dengan senang hati Denta menyambutnya dan tak butuh waktu lama, Gasta berhasil menyeret Denta masuk ke bus. “Hmm, makasih ya!” katanya tulus, sementara Gasta tersenyum simpul. Pemuda itu tersenyum miris. Andai waktu bisa diputar kembali, mungkin saja malam itu ia tidak mengantar Melody. Semenjak kejadian itu Melody kembali ke Surabaya. Meskipun sempat meminta maaf dan berharap diberikan kesempatan untuk memperbaiki segalanya namun Gasta menolak keras. Sama halnya dengan Rita, mamanya memaki gadis itu dan meminta untuk pergi. Kehidupannya tanpa Denta selama beberapa bulan menjadi sangat hambar. Apalagi saat memasuki bulan ke dua kepergian Denta ke Belanda, Sandy—salah satu sahabatnya harus pindah ke Surabaya, karena papanya dipindah tugaskan. Sejak kepindahan Sandy, mereka hanya tinggal berempat. Nugraha, Leo dan Alex--tiga cowok tengil yang suka bikin onar itu, membuat hari-harinya menjadi cukup ramai. Hubungan Gasta dengan ketiga teman Denta membaik setelah sebulan gadis itu pergi. Alex yang menceritakan kejadian sebenarnya pada Ivon, Dira dan juga Gista membuat mereka langsung mengerti. Pun hubungannya dengan Karrel dan Azka juga lebih membaik dari sebelumnya, setelah Leo berhasil menemui keduanya dan menceritakan semua. Bahkan hubungan SMA Cendrawasih dan Dharma Wijaya akur sekarang. Tidak ada lagi tawuran dan lempar ejek di antara dua kubu sekolah yang selalu berselisih paham dan ingin tampil paling hebat. Bagaimanapun juga, Gasta hanya berharap semoga Tuhan membawa Dentanya kembali dalam keadaan sehat. Dirinya selalu yakin alasan mereka dipisahkan sementara waktu karena Tuhan ingin mereka berdua tau, jika mereka diciptakan pantas untuk bersama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD