Satu Sejuta

1261 Words
Yulia tidak tenang karena memikirkan Rashi. Melody juga ikut-ikutan bingung. Mereka tidak tahu lagi harus bagaimana. Rashi saat ini tengah membaringkan kepalanya di meja. Sama seperti dua hari yang lalu—saat akan pingsan. "Kita pulang aja, yuk!" Yulia kembali membujuk Rashi. Tak peduli pekerjaannya masih banyak—dan terancam akan dimarahi manajer—tapi ia tak peduli. Yulia belum bisa tenang selama Rashi masih bersikap sok kuat. "Lo mau dipecat? Udah sana kerja!" Rashi masih mengelak. "Shi, lo tuh bener-bener ya. Gue nggak mau tahu. Jatah libur lo, kan, masih sisa sehari, jadi nggak apa-apa kalau lo pulang." Kali ini Melody. "Pulang ke mana? Gue aja belum cari kost, Dy." "Iya juga, ya." Melody kebingungan. "Lo, sih, pakek ada acara kabur-kabur segala. Udah tahu lagi sakit." Rashi menutup kedua telinga. Bosan mendengar omelan sama, yang diucapkan lagi, lagi, dan lagi. Kenapa juga ia harus sakit di saat yang tak tepat? Ia memang ingin sakit, tapi sakit seharusnya bisa membaca situasi, dong! Tapi tak bisa dipungkiri, di saat bersamaan, Rashi juga merasa senang. Selain karena impiannya untuk sakit yang lumayan serius dan lama akhirnya terkabul, juga karena kedua sahabatnya sangat perhatian. Persetan dengan perhatian keluarga. Salah mereka sendiri jika sekarang Rashi lebih nyaman bersama orang lain. Dan setelah ini, Rashi akan menjadi anak kost. Ia akan bebas dari segala pekerjaan rumah, dan tak akan lagi korban perasaan setiap hari karena harus mengalah. "Ah, gue punya ide!" seru Yulia sedikit terlalu keras. Beberapa orang menatapnya. Yulia jadi tengsin sendiri. "Ide apaan?" tanya Melody. "Kita bawa Rashi ke rumah sakit aja! Sekalian periksa lebih lanjut. Ntar kalo dibawa ke klinik, pasti cuman diinfus kayak kemaren." "Ide bagus, sih. Tapi ...." Melody mengalihkan pandangan pada Rashi. "Apa lo mau dibawa ke rumah sakit, Shi?" Rashi berpikir keras. Bagaimana nanti kalau di rumah sakit ia bertemu orang tuanya yang sedang menunggui Dio opname? Tapi, kan, di kota ini rumah sakit tidak hanya satu. Baiklah. Rashi memilih untuk setuju dengan ide Yulia. *** Mereka bertiga berdiri di halte bus di depan kantor Marlon. Matahari sedang terik-teriknya. Membuat Rashi pusing tujuh keliling sampai keringat dingin. "Guys, Guys, mata gue kunang-kunang, nih!" lirih Rashi "APA? Heh, tahan dulu!" panik Yulia. "Bentar lagi busnya lewat, Shi," timpal Melody. "Gue pusing!" keluh Rashi lagi. Melody dan Yulia segera menuntun Rashi untuk duduk di salah satu kursi halte yang berderet. Tiba-tiba muncul mobil warna hitam dari gerbang Marlon. Mobil itu hampir saja melewati mereka sebelum akhirnya berhenti. Seseorang yang keluar dari mobil itu, membuat Tiga Serangkai terkejut setengah mati. "Ada apa ini?" tanyanya seraya menghampiri mereka. "Kalian anak Marlon, kan?" Karena tak ada di antara mereka bertiga yang benar-benar mengenalnya secara langsung, suasana menjadi canggung. Yulia dan Melody saling mendorong, sama-sama bingung siapa yang harus menjawab pertanyaan Xavier. Ya, Xavier. Lelaki pujaan hati si Rashi. Si high class yang dielu-elukan semua orang di Marlon. Si blasteran malaikat yang tanpa diketahuinya telah memberi sokongan semangat besar pada Rashi dalam melakukan diet ketat. Jujur saat ini Tiga Serangkai sedang bingung. Bagaimana bisa seorang Xavier yang agung mengenali mereka—bagian dari onggokan karyawan Marlon yang tidak terlihat. Boleh kah mereka merasa bangga dengan hal ini? Karena telah dikenali oleh Xavier si blasteran malaikat. "Gue sering lihat kalian di Administrasi Umum. Tiga Serangkai yang duduk di ujung ruangan, itu bener kalian, kan?" tanya Xavier lagi. Bahkan Xavier mengetahui julukan mereka. Rashi membeku. Ia diam tanpa kata. Matanya lurus memandang sosok menjulang Xavier. Untuk pertama kali ia bisa melihat Xavier dari jarak sedekat ini. Ya Tuhan, bagaimana bisa ada manusia sesempurna ini? Terlebih lagi Rashi juga tersanjung karena Xavier yang agung diam-diam juga memperhatikan tiga makhluk udik penghuni Administrasi Umum ini. "B-begini." Melody akhirnya buka mulut. Ia memang paling bisa diandalkan dalam situasi genting seperti ini. "Kami mau ke rumah sakit, tapi kami nggak ada mobil. Jadi, kami milih naik bus. Sayangnya, dari tadi belum ada bus lewat." "Emang siapa yang sakit?" Xavier lanjut bertanya. "Dia." Yulia dan Melody kompak menunjuk Rashi. Rashi menjadi semakin salah tingkah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, kemudian tersenyum garing. Yulia dan Melody mati-matian menahan malu karena kelakuan Rashi. "Kenapa nggak ke klinik aja? Kasihan panas-panas begini, nanti malah tambah parah lho," saran Xavier. "Sebenernya dua hari yang lalu dia udah nginep di klinik." Melody lagi yang menjawab. "Terus dia dapet libur tiga hari. Jatah masuk sebenernya masih besok, tapi dia maksain diri. Akhirnya dia balik parah lagi. Makanya, gue sama Yulia mau bawa ke rumah sakit." Sejak dulu Melody memang paling bisa diandalkan dalam urusan seperti ini. Karena di antara mereka bertiga, Melody lah yang paling pemberani dan dan juga percaya diri. Tak gentar dalam menghadapi segala situasi. "Gimana kalo bareng gue?" Seperti mendapat berkah dari Surga. Sungguh rejeki tak terduga. Dan rezeki tidak akan tertukar. Kapan lagi seorang Xavier tiba-tiba datang dan menawari hal sebagus ini? Memang sudah Rashi prediksi sejak jauh-jauh hari. Sakit memang membawa berkah. Sakit itu menyenangkan. Sungguh sangat menyenangkan. Bila tadi Yulia dan Melody susah payah menahan malu karena tingkah Rashi, sekarang mereka justru ingin tertawa melihat ekspresi Rashi. Muka sahabat mereka itu sudah merah padam seperti kepiting rebus bumbu tomat cabai keriting—saking merahnya. Saat akan masuk ke mobil Xavier, mereka bertiga kembali saling mendorong. Bingung menentukan siapa yang harus duduk di mana. "Salah satu duduk di depan dong!" seru Xavier. Tiga Serangkai berpikir keras. Apa Rashi saja yang di depan? Dengan kata lain, ia akan duduk di sebelah Xavier. Tapi bagaimana nanti kalau sakitnya semakin parah karena detak jantungnya meningkat drastis? Namun jika Yulia atau Melody yang duduk di depan, tentu saja lebih tidak mungkin. Karena Rashi pasti akan cemburu buta. Mereka tak mau mengambil risiko akan diamuk Rashi saat ia sudah sembuh nanti. "Kita bertiga duduk di belakang aja deh," putus Melody final. Ia memang bisa diandalkan, bukan? Dengan keputusan itu, Xavier hanya bisa mengangguk setuju. Ia maklum karena memang ini pertama kalinya mereka berinteraksi. Wajar masih canggung. Arashi susah payah menjawab pertanyaan Xavier tentang rumah sakit mana yang akan mereka tuju. Awalnya Xavier menawarkan rumah sakit yang terdekat dengan kantor. Tapi Rashi menolak mentah-mentah. Karena itu adalah rumah sakit faskes pertama asuransi kesehatan keluarganya. Ia tak bisa mengambil resiko bertemu orang tuanya. Berhubung Rashi mendapat jatah asuransi sendiri dari Marlon, ia bebas menentukan rumah sakit mana yang akan ia pilih. "K-ke rumah sakit selanjutnya aja!" seru Rashi cepat. "Lho, emangnya kenapa?" bingung Xavier. "Nggak apa-apa kok. A-aku biasa periksa ke rumah sakit yang itu." Rashi bohong tentu saja. Memang kapan ia pernah sakit? Melody dan Yulia sibuk menahan tertawa karena kebohongan Rashi itu. Begitu sampai di rumah sakit tujuan, mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Xavier. Pada kenyataannya Xavier adalah orang yang sangat baik. Ia bahkan menawarkan untuk ikut mengantar sampai ke dalam. Tapi tentu saja hal itu ditolak secara halus oleh mereka bertiga. Padahal ini adalah kesempatan emas untuk menjadi lebih dekat dengan Xavier. Sayang, situasinya tidak tepat. Xavier pasti akan illfeel jika akhirnya tahu bahwa ternyata Rashi sakit karena diet ketat. Diet ketat dalam usaha mendapatkan dirinya. "Ya Tuhan, Shi, dari sekian banyak cowok di dunia, kenapa lo milih dia, sih? Udah jelas dia nggak mungkin lo miliki. Dia terlalu nggak manusiawi, saking sempurnanya." Yulia nyerocos tidak jelas. Ia masih belum bisa move-on dari pesona Xavier. Arashi segera menoyor pelipis temannya itu. "Mungkin Xavier emang nggak manusiawi karena terlalu mempesona. Tapi gue bakal selalu berusaha. Kata orang bijak, usaha nggak akan mengkhianati hasil. Lee Sang Hoon aja bisa dapetin Lee Hyori. Seal bisa dapetin Heidi Kulm. Ya kali gue yang cantik dari lahir ini nggak bisa dapetin Xavier?" "Tapi, Li, Seal sama Lee Sang Hoon itu tajir." Melody menggebu-gebu. "Jadi lo ngatain Lee Hyori sama Heidi Kulm matre, Dy?" "Ng-nggak juga, sih. Gimana ya ... hubungan kayak mereka itu, bisa dibilang satu banding sejuta." "Easy. So I will be one of that million." "Kayaknya penyakit si Rashi tambah parah." Yulia meletakkan telapak tangannya di kepala Rashi sebagai wujud sarkasme. "Buruan Yul, seret!" tandas Melody lagi. Dua gadis mungil itu benar-benar menyeret Rashi setelahnya. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD