2. Homeroom Teacher

1363 Words
Motor sport itu dengan mulus tiba di sekolah, menurunkan dia yang membonceng di belakang tepat di pintu depan gedung sekolah. Wildan turun lalu membuka helm tanpa suara. Entah suasana hatinya sedang buruk atau ada alasan lain yang membuat sikapnya hari ini terasa lebih dingin dari biasa. Cakra berpikir mungkin ini masih ada hubungannya dengan kejadian kemarin. “Siapa cewek tadi Wil?” Tanya Cakra mencari topik bicara. Penasaran dengan sosok siswi yang dilihatnya tadi bersama Wildan di sisi jalan. Meski mereka tidak jalan bersama tapi cukup jelas gadis yang Cakra maksud mengikuti Wildan dengan berjalan mengikutinya dari belakang. “Cewek yang mana maksudmu?” Tanya balik Wildan dengan wajah datar. “Cewek yang berjalan dibelakangmu tadi.” Atau mungkin Wildan tidak menyadari seseorang membuntutinya. “Ah lupakan.” Cakra menarik kembali rasa penasarannya, karena Wildan sama sekali tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Hanya membuatnya tampak bodoh bersikukuh mencari tahu sosok gadis yang dilihatnya tadi. Wildan hendak berlalu tapi Cakra kembali menahannya pergi. “Wil! Balapan kemarin itu adalah kesalahanku, Iki hanya bermaksud―” Sudah Wildan duga, Cakra yang sehari-hari hampir tidak pernah memiliki kepentingan bicara padanya punya sesuatu yang mengganggu benak Cakra. Sejak ia muncul di hadapan Wildan menawarkan bantuan. “Sudahlah lupakan. Jika Iki tidak mengatakan apa pun, seharusnya kau tetap diam.” Cakra tidak bisa berkata, apalagi membela diri. Wildan mungkin benar, ia lebih mengenal dan mengerti Iki. Hari semakin siang, sebuah mobil sedan memasuki lahan parkir siap menurunkan penumpang juga di pintu depan gedung sekolah. Wildan sangat mengenal siapa yang baru saja sampai di sekolah dengan antaran mobil sedan mewah itu. Cakra memacu motor sportnya meninggalkan Wildan, tidak berniat lebih lama berada di sana. Kembali pada mobil yang baru tiba tadi. Pengemudi dengan setelan jas hitam rapih layaknya tampilan bodyguard keluar dari dalam mobil. Lalu berlari berputar ke sisi kiri mobil untuk membuka pintu belakang. Jelas ia membukakan pintu untuk melayani tuannya. Wildan masih berdiri di tempat menunggu temannya turun dari dalam mobil. Meski bukan niatnya untuk menyambut, tapi karena kebetulan mereka bertemu di sana maka lebih baik mereka masuk ke dalam bersama pikir Wildan. Turunlah seorang gadis cantik nan jelita bah putri bangsawan. Gestur tubuhnya begitu anggun, pandangan mata sendu tanpa ekspresi. Rambutnya pirang panjang tergerai, tinggi semampai, berkulit putih bening. Tampak sangat jelas gadis itu blasteran orang asing. “Pantas aku tidak menemukanmu, rupanya kau sudah berada di sekolah Wil.” Sapa gadis itu. “Ya, terjadi begitu saja.” Wildan terlalu malas menjelaskan situasi paginya, atau kebersamaannya dengan Cakra sesaat lalu. Mereka mulai berjalan ke dalam sekolah bersama. “Kau... Pasti sudah mendengar apa yang Iki lakukan kemarin bukan?” “Ya, Mahdi yang memberitahuku.” Mungkin apa yang ada di benak kedua orang ini dan juga yang dirasakan sekarang sama. Tentang satu hal, mengkhawatirkan sahabat mereka―Iki. “Hhaah...” Hembusan napas panjang. “Aku tidak mengerti lagi harus menghadapi Iki seperti apa.” Wildan melepas kacamata, tiba-tiba kepalanya terasa penat. “Aku hanya minta satu hal padamu Carol...” Nada suara Wildan berubah jadi serius. “Jangan sampai kau mengikuti jejak Iki juga, aku tidak akan sanggup menghadapi kalian. Cukup Iki saja. Hanya kalian yang aku miliki...” Wildan terdengar amat putus asa. Dada Carol terasa sakit seperti terimpit, ia mengerti Wildan pasti kesulitan menghadapi Iki. Tapi bukan berarti Wildan bisa meminta hal yang kejam seperti itu padanya. Tidak ada yang melewati rasa kehilangan melebihi apa yang Carol alami. Ia sangat memahami mengapa Iki berubah seperti itu. *** Sekolah baru Elin bernama SOPA alias School Of Private Art. Berdiri di lahan seluas 70 ribu meter persegi. Kavling bangunan bukan hanya gedung sekolah SMA tapi juga terdiri dari tingkat TK hingga perguruan tinggi. Selain itu sekolah dilengkapi dengan berbagai gedung fasilitas lainnya yang membuat SOPA menjadi kawasan mega superblok. Siswa yang bersekolah di sini jelas dari kelas atas dan kalangan elite. Mereka umumnya mulai bersekolah dari jenjang TK hingga perguruan tinggi, karena sekolah tidak menerima kebijakan siswa pindahan. Jika ada pastinya itu adalah case yang langka terjadi. Seperti kasus pada kepindahan Elin, meski Elin sendiri sama sekali tidak tahu dan tidak punya ide tentang sekolah seperti apa yang ia hadiri mulai sekarang. Elin berjalan menyusuri lorong menuju kelas. Saat ia dan guru yang mengantar berhenti di depan satu ruangan, Elin paham di sinilah kelas ia ditempatkan. “Di sini kelas kamu nak Elin, sebentar lagi kelas akan dimulai. Silahkan...” Guru piket meminta Elin masuk ke dalam kelas. “Loh? Bukan biasanya siswa pindahan itu akan diperkenalkan wali kelas lebih dulu ya?” Pikir Elin merasa bingung, tapi Elin tetap masuk ke dalam. Tentu saja ia canggung, apalagi ia tidak tahu harus mengisi kursi yang mana. Beberapa pasang mata memperhatikannya sejak ia masuk, tapi tidak ada yang mendekat. Meski mencoba membalas dengan tersenyum ramah, tetap tidak membantu situasi jadi lebih baik. Elin terpaksa memilih duduk di kursi depan paling dekat dengan pintu masuk. Kalau ia kembali berjalan ke luar kelas akan terlihat lebih aneh. Suara bel tanda sekolah dimulai menyelamatkannya dari pasang mata yang sibuk memperhatikan kehadiran barunya di kelas. Karena tidak lama setelah bel berbunyi guru segera masuk ke kelas tepat waktu. “Pagi semua...” Wali kelas memberi sapaan sambil mengamati seisi kelas, matanya berhenti ketika menangkap sosok Elin yang masih terlihat canggung. “Ah! Bapak akan perkenalkan kalian dengan teman baru kita yang baru bergabung.” Dengan isyarat panggilan tangan wali kelas meminta Elin mendatanginya. Tanpa pilihan Elin menuruti, berjalan menghampiri hingga berdiri di depan muka kelas. “Evelin, benar?” Tanya Aryan memastikan nama siswa barunya. “Iya Pak...” Jawab Elin. “Tanyakan apa pun bila kamu butuh bantuan atau punya pertanyaan, Bapak dan teman-teman akan membantumu. Ya?” Belum sempat Elin menjawab guru sudah berpaling menatap seisi kelas. “Kalian dengar ‘kan? Bantu Elin untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Mengerti?” Jawaban suara rendah acuh tak acuh terdengar dari teman-teman sekelas. “Terima kasih Pak...” Ucap Elin ketika diminta kembali ke bangkunya. Kursi paling depan dekat pintu bisa dikatakan kini sudah resmi menjadi tempat duduk Elin. Dengan entah siapa pemiliki kursi itu sebelumnya, Elin akan berurusan nanti. Beberapa kursi di kelas masih terlihat kosong meski bel sekolah telah berbunyi. Wali kelas mulai membuka buku absen dan menghafal setiap wajah siapa saja yang sudah hadir di kelas. “Apa Iki lagi-lagi terlambat masuk kelas?” Aryan menyebutnya dengan menggunakan kata terlambat bukan bolos, yang mana itu artinya ia yakin Iki masuk sekolah tapi tidak berada di kelas. Aryan juga tidak melihat di dalam kelas anak-anak yang selalu mengikuti Iki ke mana pun ia pergi, itu membuat wali kelas amat yakin saat ini mereka bersama. “Siapa yang bisa menghubungi atau tahu keberadaannya?” Kelas tetap hening, tidak ada jawaban. Saat itu pintu ruang kelas yang berada di belakang terbuka dengan cara dramatis, terbuka dengan suara cukup keras. Kedatangan sekelompok siswa menimbulkan kegaduhan. Elin melonjak kaget, melihat wali kelasnya tiba-tiba marah dengan siswa yang belum berada di kursi masing-masing. Sejak awal Elin sudah merasa cangung lalu ditambah suasana tegang sekarang. Tapi teman-teman penghuni kelasnya terlihat biasa saja, tetap tenang. Mendapati siapa yang baru saja datang wali kelas jelas marah. “Iki!! Tidak bisa kamu tepat waktu saat homeroom dimulai? Sudah berapa kali saya tegaskan?!” “Kami harus menggunakan toilet dulu Pak.” Bela salah seorang rekan terlambat Iki. Sementara orangnya sendiri yang dipanggil nama oleh wali kelas menutup rapat mulutnya, melihat ke arah guru saja tidak. Iki dengan sikap tetap santai langsung duduk di kursinya. “Memang kalian anak perempuan?! Harus menggunakan toilet ramai-ramai?” Meski marah hanya sanksi teguran yang selalu wali kelas berikan pada Iki, karenanya mungkin itu yang membuat Iki kebal dengan omelan. Masih tersisa satu lagi kursi terlihat kosong di sana, tapi guru melewatkannya begitu saja karena percuma menunggu hanya membuang waktu. Setelah selesai memastikan semua kehadiran kelas terisi, Aryan meninggalkan ruangan. Elin masih terperangah dengan perlakuan kumpulan siswa terlambat tadi pada wali kelas mereka. Baru kali itu Elin melihat sikap kurang ajar kumpulan siswa pada pengajar tanpa menunjukkan kesopanan dan rasa hormat sedikit pun, terutama yang bernama Iki. Lalu guru hanya membiarkan mereka begitu saja. “Ada apa dengan mereka? Ada apa dengan sekolah ini?!” Elin tak habis pikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD