Saat Nyawa Manusia Tidak ada Artinya

1150 Words
06:00 Pagi Samar Jovita mendengar suara ayam saling bersahut-sahutan, ia tersenyum manis ‘Sebentar lagi ibu akan menarik selimutku dan menggelitik kaki ini’ ucap Jovita dalam hati, kedua ujung bibirnya saling bertarikan membentuk lengkungan manis. Jovita masih dalam senyuman, ia menimang langkah kaki yang semakin mendekati tubuhnya, ia menghitung aba-aba dalam hatinya, satu, dua, tiga, ia terdiam, tidak ada tindakan seperti yang ia pikirkan, senyumannya yang tercipta di bibirnya mendadak memudar. ‘Apa yang terjadi? kenapa ibu tidak menarik selimutku, kenapa ibu tidak menggelitik kakiku, ah apa aku melakukan kesalahan pada ibu’ Ia mencoba mengingat. Ia penasaran dengan apa yang terjadi, ia membuka kelopak matanya dengan perlahan. Hingga mata bulat itu terbuka sepenuhnya, menatap dengan bingung. “Selamat pagi non?” sapa seorang wanita paruh baya dengan ramah. Ia masih mengawasi sekelilingnya, mencoba mencari dimana keberadaan tubuhnya, mencoba mengingatnya, tiba-tiba ia merasa kepalanya sangat sakit di bagian depan, dan sudah dipakaikan stempel luka di kepalanya. “Auh sakit,” pekiknya pelan memegangi kepalanya. “Hati-hati non jangan banyak bergerak dulu, nanti luka di kepala dan di kaki non akan tambah sakit,” pinta wanita itu penuh perhatian. “Ini dimana Bu, maksudku aku dimana sekarang?.” “Oh ini di rumah tuan Naga Non, kalian datang bersama kemarin,” wanita paru baya itu mencoba menjelaskan, ia kasihan melihat Jovita kebingungan. Jovita diam sejenak, otaknya mencoba mengingat, setau nya ia tidak punya teman bernama Naga, baik ayahnya juga tidak punya teman dengan nama itu, ada juga teman Ayahnya Marga Sinaga orang batak, ada beberapa marga Sinaga teman ayahnya bagian kontraktor, atau bagian vendor. Tapi sinaga yang mana dulu,apa sinaga yang muda apa yang tua?” pikiran Jovita tertuju pada teman-teman ayahnya. “Non tidur saja dulu, mudah-mudahan nanti, ingatannya bisa pulih lagi.” Ia meninggalkan Jovita yang masih berbaring dengan tubuh lemah, badannya seperti habis di gebukin orang satu RT. Dalam duduknya, ia terus saja mencari petunjuk, dia ada dimana? bersama siapa? mirip judul lagu jadinya. Saat matanya tertuju ke bagian dinding, ada sebuah pedang panjang yang di buat hiasan dinding, ia lama menatapnya pada akhirnya otaknya bekerja, setelah melihat Mandau di pajang di dinding. “Oh iya ampun,” ia menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya lolos begitu saja tanpa pamit, ia sempat berpikir kalau ia masih bersama keluarganya. “Aku merindukan ibu dan ayah,” Ia menangis sesenggukan, merindukan ayah dan ibunya, ia sudah mengalami hal buruk dari segala yang buruk di dunia ini, diperkosa lelaki asing dan disekap, ia juga hampir mati beberapa kali. Wanita paruh baya itu datang lagi ke kamarnya, kali ini ia datang tidak dengan tangan kosong, ia membawa nampan berisi makanan. Mencium baunya Jovita langsung merasa kelaparan lagi. “Aku harus makan agar punya kekuatan untuk bertahan,” ujar jovita berucap pelan. Baru saja di letakkan di depannya, sebelumnya wanita itu mengangkat meja kecil dan meletakkan di depannya di atas kasur, ia langsung memakan dengan lahap. “Pelan-pelan saja Non,” kata wanita itu menatap dengan iba, “ Apa kamu begitu lapar?” “Iya bu, saya sangat lapar, tidak tau kapan saya terakhir makan,” katanya tangan sibuk memasukkan sendok demi sendok ke mulut. “Makanlah dengan pelan-pelan, kalau habis kita akan menambahnya lagi,” kata wanita itu wanita paruh baya yang bekerja di rumah Leon. “Dia kemana Bu? maksudku lelaki yang bersamaku,” matanya masih berfokus pada piring di depannya. “Oh, Tuan, ada di kantornya.” “Kantor, apa disini ada kantor?” “Setelah kamu selesai makan, keluarlah dari kamar untuk melihat-lihat sekitar rumah” “Apa boleh?” Wajahnya tidak percaya, karena di pikirannya, ia masih di tengah hutan. Mengetahui kalau ia bisa keluar, ia bersemangat, makanan dalam piringnya buru-buru ia habiskan, hingga akhirnya ludes tidak bersisa. Ia menggerakkan tubuhnya dan menjulurkan kelantai. “Aauuuh…!” ia meringis kesakitan, telapak kakinya terasa sakit bila di tekan kelantai, seakan ada duri yang masih tertinggal di kakinya. Ia mengangkat kaki ke atas kasur, untuk melihat apa yang terjadi. ‘Oh … kakiku banyak bekas luka, bukan hanya kaki, seluruh tubuhnya terlihat ada banyak memar-memar, dan banyak bekas luka-luka yang sudah mulai kering, kaki yang tadinya mulus tidak cacat, kini kaki itu di penuhi banyak luka, seperti bekas tembakan belanda. ada luka dimana-mana. “Kulitku hancur,banyak koreng menjijikkan,” ia meneliti semua sudut tubuhnya, tangan dan kaki semua sama, ada luka-luka kecil seperti gigitan nyamuk dan gigitan semut. Tapi rasa penasaran mengalahkan rasa sakit di bagian telapak kakinya, dengan langkah ter pincang-pincang, ia keluar dari kamar. “Oh langit.” Hara menoleh keluar, wajahnya ceria seakan ia baru lepas dari penjara, dari kamarnya ia menoleh keluar. Kota Pontianak, indah di pagi hari.’ “Oh iya ampun, aku pikir tidak akan melihat matahari lagi,”ujar Hara. “Terimakasih Tuhan, aku masih melihat matahari, masih bisa bernapas hingga hari ini,,” ia menghirup udara dari hidungnya dalam dalam dan menghembuskan dari mulutnya. Puas dengan olah raga kecil itu, ia baru ia menoleh sekeliling, rumah itu sanga luas dan di keliling tembok yang menjulang tinggi. Rumah besar itu bak istana yang menutup diri, karena tembok tinggi itu Rumah itu terlihat sangat mencolok, karena berbeda dengan rumah di sekelilingnya, tetangga hanya bangunan biasa. Saat ini ia berdiri di lantai dua, membuatnya bisa melihat sekitarnya. ‘Ini mirip penjara dari pada kantor’, gumam Jovita. Dengan kaki ter pincang pincang, ia berjalan dan menghampiri suara-suara dalam ruangan di lantai paling ujung. Pintunya kebetulan terbuka , untuk mengobati rasa penasarannya, ia masuk, ruangannya besar terlihat seperti ruangan pertemuan, Jovita masuk dan di sebelah ruangan luas itu ada ruangan lagi. Ia juga masuk melihat-lihat, ia mendekat melihat lebih jelas, Seorang laki-laki duduk di kubelnya dengan kaki diangkat, saling menyilang tatapannya dingin mengintip. “Saya minta maaf Bos, tidak akan mengulangi lagi, beri saya pengampunan kali ini, tolong kasihani saya,” ia memohon dengan suara bergetar, wajahnya terlihat memar dan rambutnya berantakan. “Saya sudah bilang, saya tidak ingin punya anak dari siapapun, kamu paham! Lalu … kenapa kamu mengkhianati saya,” “Saya minta maaf Bos, saya salah,” si wanita bersujud di kaki Leon. “Saya benci penghianatan dan tidak akan mentolerir penghianatan,” ucap Leon marah. Wanita itu memegangi bagian perutnya. ‘Hamil kah dia? gumam Jovita , sebagai kaum hawa, ia merasa sedih melihat perlakuan tidak manusiawi itu, apa lagi benar kalau ia sedang hamil’ “Kamu sudah lama mengenalku , kamu juga paham bagaimana saya menghukum orang yang berani berkhianat pada saya, berarti kamu paham apa yang aku lakukan padamu,kan,” kata Leon nada suaranya terdengar tegas, raut wajahnya dingin. “Tolong kasihani saya Bos,” Suaranya melemah, ia terus saja memohon bahkan mencium ujung sepatu Leon, berharap nyawanya diampuni. Tapi bagai di sambar petir, Jovita merasakan tubuhnya bergetar, tungkai kakinya tidak kuat menahan beban tubuhnya, matanya berkaca-kaca, napasnya terasa berat. Suara tembakan itu membuatnya ketakutan. ‘Dia sangat tega, ia tidak punya hati, Apa ia menembak wanita yang mengandung anaknya sendiri?’ Bersambung ..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD