Penuh Kebencian

1003 Words
Leon menekan tubuhnya ke ranjang dengan kemarahan, mengambil satu ciumaan pemaksaan dari Jovita, dengan kasar tanpa izin. “Aaaa … apa yang kamu lakukan, dasar brengsek.” Jovita menendang perut ber-otot keras itu dengan kuat. Namun, Leon lelaki tangguh, sedikitpun tidak digubris tubuhnya, tidak merasakannya. Leon, hanya berharap Jovita berteriak ketakutan, ia berpikir ... rasa rasa sakit di dalam hatinya selama ini, akan berkurang. Tapi Jovita justru bertahan, ia diam tidak ada teriakan ataupun sikap manja lalu memohon seperti yang di inginkan lelaki itu. Jovita mencoba berontak tanpa harus mengeluarkan suara, karena ia juga tidak punya tenaga, karena tubuhnya sudah tidak punya energi lagi, sebab di biarkan kelaparan. Leon semakin marah karena Jovita tidak melakukan apa yang ia inginkan, ia menarik kaki wanita berkulit putih, seputih s**u itu, hingga melorot ke sisi ranjang. Tangan Leon menarik piyama, lalu melemparkan ke lantai, hingga tubuh itu benar-benar polos. Jovita dengan wajah panik berusaha menutupi bagian pahanya dengan telapak tangannya. Ia ketakutan dengan perlakuan Leon, tubuhnya gemetaran dan matanya melotot ketakutan. Ia akhirnya sadar, lelaki yang saat ini bersamanya seorang iblis kejam. Mata lelaki itu menatap tajam, bukan tatapan hanya hasrat semata, tetapi tatapan itu menggambarkan amarah dan dendam yang sudah tersimpan lama, Leon menatap tubuhnya dengan tatapan tajam penuh kebencian. “Berteriak Lah, ayo berteriak” Ia membentak dan memintanya berteriak. Ia mengecup bagian tubuhnya di segala sudut, melakukanya dengan paksa, tubuh Jovita semakin menegang ketakutan. Ia takut melihat kemarahan di mata lelaki yang bernama Leon Wardana. Ia berdiam diri, membiarkan lelaki itu menikmati tubuhnya, sepuasnya. Naga terlihat semakin murka, ketika Jovita hanya diam membiarkan tubuhnya di nikmati sendiri olehnya, Jovita menutup matanya membiarkan lelaki menakutkan itu melakukan apapun maunya pada tubuhnya. Karena merasa di abaikan, ia membuka pangkal wanita itu dengan kasar. Tubuh Jovita bergetar karena takut, ia masih bertahan, tidak mau berteriak atau minta ampun, tapi ia menahan dirinya. “Bagus, kamu akan berteriak sebentar lagi” Naga memiringkan bibirnya dengan licik. Tapi jovita tidak mau menuruti kemauan gila itu, baginya apa yang di lakukan adalah hal gila. Mata Leon merah menahan emosi. “Jadi kamu bertahan … Sampai di mana kamu bertahan?” “Siapa kamu, kenapa kamu melakukan ini?” Tanya Jovita. “Harusnya itu kamu tanyakan itu pada ayahmu” “Ayahku suda-” Belum juga ia menuntaskan kalimatnya tapi Leon sudah membekap mulutnya dengan bibirnya lagi. “Hmmm … kamu kurang ajar, kamu iblis” Jovita berontak. “Bukan itu yang ingin aku dengar. Aku ingin kamu berteriak dan memohon padaku . Nona, aku kasih kamu satu kesempatan” Cuih …! Jovita sepertinya melakukan kesalahan besar, ia meludahi wajah Leon, membangkitkan amarah yang lebih besar lagi dari seorang Leon. Ia sangat marah mendapat penghinaan dari Jovita, hal yang paling di benci lelaki itu, sebuah penghinaan dan sikap merendahkan dan Jovita melakukanya. Tanpa rasa empati dan tanpa perduli. Ia benar-benar melakukanya. Ia membuka kedua kaki itu dan melakukannya. “Aaa …. SakiiiT!” Pekik Jovita merasakan rasa sakit yang amat sakit di bagian intinya. Tangannya mencengkram kuat lengan kokoh milik Naga, kuku panjang itu menancap kuat di kulit Leon, meninggalkan jejak di sepanjang lengan dan tubuhnya. Ia senyum miring melihat jovita meringis kesakitan. “Harusnya kamu tidak keras kepala tadi Nona,” ujar Leon tanpa merasa bersalah. Padahal ia sudah merampas mahkota paling berharga milik wanita yang ia tawan. Tetapi ia masih tertawa sinis . Jovita memperkuat cengkraman kuku panjang di lengan Leon, seolah-olah ia tidak mau, ia tidak mau sakit sendirian, ia mencakar d**a lelaki itu, meninggalkan guratan seperti cakaran kucing di seluruh tubuh Leon. Ia tidak tahan lagi, rasa sakit di di area sensitifnya membuat tubuh berkeringat. Ia diam dan mengigit bibirnya lagi ia menangis tanpa suara. Noda-noda berwarna merah mengotori seprai berwarna abu-abu itu, noda itu menandakan ia sudah tidak suci lagi, ‘Bagaimana nanti aku menghadapi tunangan ku, bagaimana menjelaskannya, kalau aku sudah tidak suci lagi ? Aku sudah mati-matian menjaganya, pada akhirnya harus hilang di tangan orang jahat’ Jovita menangis tanpa suara menahan rasa saki di seluruh tubuhnya dan rasa nyeri di bagian bawahnya terasa berkedut. ‘Mas Beni, maafkan aku karena aku, tidak bisa menjaga kesucian ku, sampai hari pernikahan kita Jovita dalam hati, menangis dalam diam, tangisan tanpa suara. Naga merasa kecewa dan berpikir apa yang ia rencanakan tidak sesuai dengan kenyatannya, tadinya ia ingin Jovita berteriak minta ampun dan berlutut di kakinya, hal itu akan membuatnya puas dan setan dalam dirinya pasti akan ikut tertawa. Tapi apa yang dilakukan wanita itu …. Jovita pasta, malah, membiarkan tubuhnya digerayangi sendirian. Tanpa ada penolakan, ia bersikap pasrah. ‘Ah … ini tidak seperti yang aku inginkan’ Leon membatin, merasa kesal. Ia berdiri, merapikan pakaiannya setelah menuntaskan hasrat dan kemarahannya pada Jovita. Jovita membuka mata sekilas, ia melihat lelaki itu memiliki tato di d**a tato seekor Naga Wajahnya datar dan dingin, ada guratan bekas luka yang sangat lebar diperutnya, guratan mengerikan itu sangat panjang, mulai dari bawah d**a sampai ke tulang rusuk. Bekas luka itu membuktikan kalau lelaki yang sudah merenggut kesuciannya, sudah melewati hal yang mengerikan dalam hidupnya, luka itu menggambarkan ia bukan lelaki biasa. Luka itu menggambarkan betapa sangarnya lelaki itu. Ia tau betapa marahnya lelaki itu padanya, saat melihat Jovita masih berani menatapnya, matanya kembali menatap tajam, ia membalikkan tubuhnya. Tangannya ditekan dengan kuat disisi tubuhnya, Jovita membiarkan tanpa suara, bibirnya yang sudah bengkak itu, kini bibir kecil itu di lumat lagi dengan kuat, bibir itu terasa berdenyut-denyutan perih karena luka. Melihat Jovita bersikap pasrah, ia terlihat kesal lagi. Ia kembali melakukannya untuk kedua kalinya. “Kamu wanita batu, aku memintamu memohon tapi kamu tidak melakukannya, kamu pantas dihukum,”ucapnya sinis. Air matanya mengalir deras dari pipinya, ia merasakan rasa sakit itu lagi Ia hanya merintih pilu, menahan sakit, tanpa berani membuka mata lagi sedikitpun. Ia ketakutan melihat mata tajam pemilik tato seekor naga itu, mata kemarahan, ia juga tidak berani membuka mulut, hanya untuk memohon agar berhenti pun ia tidak berani melakukannya “Ayo berteriak lah atau kamu memohon padaku,” ujar Leon Naga kepadanya, memegang kasar. dagunya Bersambung .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD