DIJAUHKAN DARI ANGGA

1005 Words
Tinggal satu atap dengan madunya, membuat Andini harus menahan perih. Sakit.. tapi dia tidak pernah menampakkan di depan orang-orang. Termasuk suaminya sendiri. Dia seolah tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Galang. "Angga, mau Mama suapin?" tanya Andini pada Angga yang sudah duduk duluan di ruang makan. "Enggak mau.. aku maunya dicuapin sama Bunda. Bunda, cuapin Angga ya." Angga kemudian duduk di samping Kartika dan menggeser piringnya di depan ibu tirinya itu. "Angga, kenapa tidak sama Mama aja makannya. Angga ga kangen sama Mama?" Kartika mencoba merayu Angga agar mau disuapin oleh Andini. Andini rasanya ingin mati saja kalau sudah berurusan dengan Angga. Angga yang tiba-tiba menjauh, membuat hatinya rasanya sakit sekali. Anak yang dia kandung dan dia lahirkan dengan susah payah, kini malah menghardiknya saat ada wanita lain yang menggantikannya. "Ga mau.. aku maunya cama Bunda." jawab Angga. Angga malah menangis saat disuruh Kartika makan dengan Andini. "Tuh kan Din.. lihat Angga.. Anak kecil saja tahu koq mana orang baik dan tidak. Mana yang tulus dan tidak," celetuk Galang sambil menikmati makanan yang ada di depannya. Seolah tak peduli dengan perasaan Andini saat ini. "Ya karena kamu yang menjauhkan dia dariku, Mas. Makasih buat semua ini. Kartika, tolong jaga anakku. Kalau memang dia nyaman denganmu, gapapa. Asal dia bahagia." ucap Andini. Tak ada tetes airmata yang keluar dari kelopak mata Andini. Meski ingin rasanya airmata itu dia tumpahkan. Tapi dia tidak ingin dipandang lemah oleh Galang. "Iya Mbak Dini. Maaf ya Mbak." Andini tidak menjawab. Dia langsung keluar dari rumah tanpa pamitan dengan suami atau madunya. "Dasar istri durhaka. Begitu tuh kalau istri ga takut sama Allah. Sama suami ya berani." ucap Galang sambil menatap tajam ke arah istri pertamanya yang sudah sampai teras rumahnya. "Mas, jangan seperti itu sama Mbak Andini. Kamu jangan terlalu kejam sama dia. Kasihan dia. Angga juga ga mau didekati sama Mbak Dini. Aku jadi ga enak sama Mbak Dini, Mas." Kartika masih menyuapi Angga. Bocah empat tahun itu bahkan tidak melihat Mamanya sudah pergi. "Sudah ga usah kamu pikirin. Dia bisa cari kebahagiaannya sendiri koq. Lihat saja nanti pulang kerja juga bawa belanjaan banyak," ucap Galang Sedangkan Kartika hanya diam. Dia bingung harus menanggapinya seperti apa. ** Andini menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. Dia ingin meluapkan kekesalannya di jalanan. Meski kadang tersendat karena jalan ibu kota yang padat saat pagi hari seperti sekarang. Tak peduli rasa lapar. Karena belum sarapan. Perutnya rasanya sudah kenyang saat mendapat penolakan dari Angga tadi. "Kamu boleh menikah lagi Mas. Kamu boleh menyakitiku dengan cara menduakan aku. Tapi aku ga terima kalau kamu menjauhkan Angga dariku. Kurang apalagi kamu bikin aku menderita Mas? kenapa kamu ga bunuh aku aja sekalian? kalau bukan karena pesan Almarhum Ayahmu, mungkin aku juga tidak akan bertahan dengan semua ini Mas." Andini menangis di belakang kemudianya. Airmata sebanyak apapun yang keluar tak akan bisa mengubah keadaan saat ini. Hartanya yang paling berharga yaitu Angga kini juga menjauhinya. Andini enggan untuk berangkat ke kantor. Kantornya kini mungkin akan menjadi neraka kedua setelah rumahnya. Bagaimana tidak, Galang juga bekerja di sana. Usaha klinik kecantikan, skincare dan showroom mobil adalah usaha yang mereka miliki. Usaha itu mereka rintis berdua sejak awal menikah, kini semakin besar dan maju dengan dibukanya beberapa cabang klinik kecantikan di kota-kota besar di Indonesia. Andini bisa dibilang adalah otak untuk beberapa usaha yang mereka geluti sekarang. Tanpa tangan dinginnya mungkin tidak bisa berkembang sendiri kalau hanya Galang yang berusaha sendiri. 'Ingatkah kamu akan semua itu, Mas?' ucap Andini dalam hati. Setiap mengingat perjuangan mereka di awal menikah, hanya tetes airmata yang bisa mewakili perasaannya. [Halo Len, kamu ada acara?] tanya Andini pada Lena lewat sambungan telepon. [Ga ada deh kayaknya. Acaraku tiap hari kan cuma ngurusin anak sama masak kalau lagi pengen aja.] [Shopping yuk. Aku yang bayarin. Tapi nanti habis makan siang aja ya. Aku mau ke kantor dulu. Sekalian liat stok di gudang.] [Oh ya ini kan mau 7/7 Flash sale ya. Harus stok lebih banyak lagi, Din.] [Ya aku udah kasih tahu pegawaiku koq. Stok aman katanya. Tapi aku mau lihat langsung aja. Sama lihat pekerjaan para karyawan.] [Iya Bu Bos.. oke deh nanti jemput aku di rumah aja ya Bos.] [Oke, siap] Andini tersenyum tipis sambil menyetir mobil. Musik pun dia bunyikan keras agar bisa mengurangi rasa kesepiannya. Sampai di kantor, Dini langsung menuju ke gudang tempat penyimpanan produk skincarenya yang dia pasarkan lewat situs jual beli online. Tak segan Andini ikut serta terjun langsung membantu para karyawannya. Dari mulai menyiapkan pesanan hingga packing pun dia mau membantu. "Bu Dini, istirahat saja bu. Bu Dini kayaknya pucat. Belum makan ya Bu?" tanya salah seorang karyawan. "Ah masa sih? oh ya kayaknya emang belum sarapan sih tadi," jawab Dini sambil membantu karyawannya. "Sebaiknya ibu sarapan dulu saja. Khawatir kalau ibu sakit. Apa mau saya belikan sarapan, Bu?" "Oh gitu? ya deh boleh aja. Beli nasi uduk di warung depan situ aja. Yang lain ada yang belum sarapan?" tanya Andini pada semua karyawan. Tadinya dia tidak merasakan lapar. Karena terlalu banyak beban pikiran yang memenuhi otaknya. Hingga rasa lapar pun tak dia hiraukan. "Kami sudah sarapan, Bu." Jawab karyawannya serentak. "Ya sudah kalau gitu belikan satu aja buatku ya," ucap Andini ramah. Lalu mengambil uang dan memberikannya pada karyawan. Andini merasa beruntung karena di tengah badai rumah tangganya, masih banyak karyawan yang selalu memperhatikannya. Bahkan soal urusan makan. Mereka yang sering mengingatkan Andini. "Ya Bu." karyawan itu menerima uang dari Andini. Lalu pergi untuk membeli makanan di warung depan gudang. Beberapa saat kemudian karyawan Andini terdengar berkasak kusuk setelah seseorang keluar dari mobil sambil bergandengan tangan. Seolah tak peduli dengan keadaan sekitarnya. Mereka santai saja masuk ke dalam kantor sambil bergandengan tangan. Andini langsung mengikuti arah pandang para karyawannya. Dan ternyata--- 'Teganya kamu Mas melakukan semua ini sama aku.' Andini memalingkan wajahnya. Jijik sekali melihat pemandangan di depan matanya itu. Kedua orang itu seolah tak peduli dengan keberadaannya. Setidak berharganyakah dirinya kini bagi suaminya? Hanya bisa menahan perih. Sakit tapi tak berdarah. Itulah yang dirasakan Andini saat ini. Sungguh suaminya itu kini sudah sangat keterlaluan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD