Tujuh Puluh

1227 Words
Ichiro meregangkan kedua lengannya di atas kepala, lalu mencondongkan maju dan menopangkan siku-siku. “Ini scenario terburukku. Bukannya aku meramal begini lho, cuma contoh kasus terburuk saja. Jika kau mengakui perananmu dalam mengajak Harry ke Kanto, bersiap-siaplah menghadapi sejumlah pemaparan. Lalu, jika Harry memerkosa perempuan lain, maka semuanya akan gempar. Aku dapat membayangkan Jaksa Penuntut Umum akan mencecarmu dengan membabi-buta, namun aku tidak bisa, dalam skenario apa pun, membayangkan dirimu masuk penjara. Kau mungkin harus mengaku bersalah, mendapat hukum percobaan, membayar sejumlah denda kecil, tapi aku meragukan itu semua.” “Aku harus berdiri di ruang sidang, dan di hadapan hakim, juga mengaku bahwa diriku bersalah?” “Ya, biasanya itu yang terjadi.” Ivan memegang tangan Kiki di meja. Masing-masing merenung dengan serius, lalu Kiki mengatakan, “Jika saja kau yang di posisi Ivan, apa yang akan kau lakukan, Ichiro?” “Ya, menyewa pengacara, dan berdoa supaya Harry entah dalam keadaan mati atau sakit parah, untuk tidak lagi menyerang seseorang." ***            Tepat pada tengah hari, sekitar empat puluh satu pemain kulit putih regu futbol SMA Kanto bertemu di halaman parkir sebuah sekolah dasar kecil di pinggiran kota. Di sanalah, mereka dengan cepat diangkut menggunakan bus sewaan dan meninggalkan kota. Semua peralatan mereka ada di van yang berhasil dibawa dengan sewaan, mengekor tepat di belakang bus. Satu jam setelah itu, mereka tiba di Togo, dengan populasi sekitar dua puluh ribu penduduk. Dan dari sana, bus itu membuntuti mobil polisi menuju lapangan futbol SMA. Para pemain itu berganti pekaian dengan cepat dan bergegas menuju lapangan untuk persiapan pertandingan. Terasa aneh, melakukan pemanasan tanpa disertai sorot lampus dan sorakan para pendukung. Yang ada hanyalah keamanan yang berlebihan; mobil-mobil polisi menutup setiap rute yang ada untuk menuju lapangan. Tim Hikeshaki dari SMA Lobo muncul di lapangan beberapa menit setelahnya. Tak ada pemandu sorak, tak ada regu band, nyanyian kebangsaan, doa menjelang pertandingan, atau pembawa acara. Sementara uang logam dilempar, pelatih Kanto memandang ke seberang lapangan pada tim Hikeshaki dan bertanya-tanya dalam hari, seberapa buruk p*********n yang mereka alami. Mereka memiliki sekitar delapan puluh pemain dalam daftar, setidaknya tujuh puluh persen di antaranya adalah pemain kulit hitam. Kanto belum pernah bisa mengalahkan Lobo sejak masa kejayaan Furuya Satoru, jadi tim mereka tak memiliki kesempatan hari ini.            Dampak dari semua kejadian yang terjadi di Kanto pada waktu itu terasa hingga ke prefektur Jepang bagian timur, mungkin barangkali lebih jauh. Kanto memenangkan lemparan koin dan memilih untuk menerima. Sebetulnya itu tidak jadi masalah, tapi pelatih Kanti ingin menghindari kickoff return yang lama dan tujuh nilai cepat. Tim penerimanya mengambil lapangan, dan tim Hikeshaki berjajar untuk menendang. Sekitar sepuluh anak kulit hitam dan seorang penendang kulit putih. Begitu siulan terdengar, pemain yang paling dekat dengan bola mendadak maju ke depan dan menyambarnyanya. Gerakan yang belum pernah terlihat sejauh ini, dan selama satu detik semua orang terkejut. Sepuluh pemain kulit hitam di tim kickoff itu lalu melepaskan helm mereka masing-masing dan meletakkannya di lapangan. Wasit meniup peluit, para pelatih berteriak, dan selama beberapa detik yang ada cuma kebingungan total. Sesuai arahan, para pemainkulit hitam Loboo lainnya berjalan ke lapangan,sambil menjatuhkan helm dan melepaskan seragam mereka. Para pemain Kanto di lapangan menyingkir tak percaya. Pertandingan itu bubar sebelum dimulai. Para pemain kulit hitam itu membentuk lingkaran rapat dan duduk bersama-sama di tengah-tengah lapangan, sebuah demo versi modern. Para pejabat pertandingan, empat kulit putih dan dua kulit hitam berkumpul sejenak dan menahan diri. Tidak satu orang pun dari mereka berenam mau mengambil bola itu secara sukarela. Pelatih Lobo berjalan ke tengah-tengah lapangan dan bertanya, “Apa yang kalian lakukan?” “Pertandingan bubar, Coach,” sahut salah seorang pemain penyerang sekaligus wakil kapten yang memiliki berat tubuh sekiar seratus enam puluh kilo. “Kami tak ingin bertanding,” kata seorang wakil kapten yang lain. “Kenapa tidak?” “Ini adalah bentuk protes. Kami setia kawan dengan saudara-saudara kami di Kanto.” Pelatih itu mengetuk-etuk ujung sepatunya ke rumput lapangan sambil menimbang-nimbang pilihannya. Sudah jelas situasi itu tidak akan berubah, tidak dalam waktu dekat. “Nah, supaya kalian masing-masing jelas mengenai apa yang kalian lakukan di sini, ini sama saja artinya kita harus mengaku kalah, di mana menyingkirkan kita dari babak semi final, dan mereka mungkin saja akan menjatuhkan semacam hukuman pada kita. Dan itu yang kalian mau?” Keenam puluh pemain itu secara serempak menjawab, “Ya!” Pelatih itu mengangkat kedua tangannya, pengganti jawaban menyerah. Dia berjalan keluar dari lapangan dan duduk di bangku. Pelatih Kanto meneriaki para pemainnya untuk keluar dari lapangan. Dari kedua garis tepi, para pemain kulit putih memandangi para pemain kulit hitam. Seragam hijau dan helm tim Hikeshaki berserakan di tengah lapangan. Para pejabat itu mundur ke wilayah ujung dan memperhatikan bahwa tugas mereka telah selesai. Sepanjang menit berlalu, sementara kenyataan itu teresapi. Lalu dari garis tepi Lobo, salah seorang pemain cadangan memasuki lapangan, mencopot helm dan kaus seragamnya, dan dia duduk di garis empat puluh meter, di dekat teman-teman satu timnya yang kulit hitam. Seorang demi seorang para pemain lainnya mengikuti, hingga cuma para pelatih yang tersisa di garis tepi. Pelatih Kanto merasa tak yakin harus bagaimana. Dia tengah memikirkan kalau mungkin timnya baru saja diberikan kemenangan, dirampas oleh sebuah mukjizat dari kekalahan tertentu. Dia baru saja mau meneriaki para pemainnya untuk meninggalkan lapangan saat salah seorang pemain yang merupakan anak dari seorang polisi Kanto, melangkah memasukilapangan, menjatuhkan helmnya dan mencopot kaus. Dia duduk di lapangan bersama para pemain Lobo, salah seorang di antaranya menjulurkan tubuh dan menjabat tangan anak polisi itu. Seorang demi seorang dari keempat puluh pemain Kanto itu mengikuti jejaknya, hingga tak satu orang pun yang tersisa. *** Pada pukul tiga sore, kantor Gubernur mengeluarkan pernyataan untuk pers yang dirancang oleh Waka Shohei dan ditulis ulang oleh Chiba dan oleh Gubernur sendiri, versi terakhirnya berbunyi: Gubernur sangat memprihatinkan mengenai kejadian terakhir yang menyangkut soal Furuya Satoru. Semua tuduhan kalau kantor Gubernur menerima rekaman video yang berisikan pengakuan tersangka pembunuh Bella Stefa, persis sebelum eksekusi, itu merupakan sesuatu yang keliru. Gubernur pertama kali melihat video itu kemmarin, hari Jumat, kira-kira enam belas jam sesudah eksekusi dilakukan. Gubernur sendiri akan ada di kantornya pada hari Senin untuk memberikan beberapa komentar tambahan. ***            Terminal bus itu pada akhirnya tutup pada hari Sabtu sore. Misaki Osikawa menempatkan dua pengawal bersenjata di pelataran, dengan perintah untuk mengancam siapa saja yang berani mendekat. Biro Hukum Eijun berkumpul di rumah Robert untuk sebuah pesta dadakan. Semua orang datang, bersama pasangannya masing-masing. Tuan rmah menyewa jasa catering yang ahli dalam bidang panggang-memanggan, dan bau lezat iga bakar mengembang ke setiap sudut beranda. Kento Himura menangani bar dan minuman-minuman mengalir lancer. Semua orang berkumpul di ruang bilyar dan berusaha untuk santai. Siaran televisi menunjukkan pertandingan futbol yang membuat banyak orang berkumpul di sekitarnya. Eijun berupaya untuk melarang diskusi apa saja mengenai kasus Furuya Satoru, namun pembicaraan mereka toh tetap beralih ke sana juga. Mereka tidak dapat menahan diri untuk tidak membahasnya. Mereka keletihan, terkuras habis, dan kalah, tapi tetap mampu menenangkan diri. Minuman-minuman keras itu sangat menolong.            Pertandingan Lobo disiarkan dan mereka mendentingkan gelas-gelas mereka untuk menghirmati protes itu.            Kento Himura, sambil menangani bar, memonitor obrolan polisi di radionya. Jalanan-jalanan di Kanto sungguh terlihat lengang, yang mana menurut pendapat mereka yaitu berkat permohonan emosional Minami Satoru. Mereka juga mendengar bahwa anak-anak Minami Satoru juga sudah pergi ke taman pusat kota dan meminta kepada semua orang untuk segera pulang ke rumah masing-masing dan menghentikan kekerasan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD