Tiga

1823 Words
Ayah Robert Eijun membeli sebuah lahan terminal bus yang berlokasi di pusat kota Yamaguchi pada tahun 1973, sewaktu Eijun tengah duduk di sekolah menengah dan persis sebelum pemerintah kota hendak merobohkannya. Mr. Johnson mampu memperoleh sejumlah uang dari menggugat perusahaan-perusahaan pengeboran dan ingin menghabiskan sebagian uang itu. Dia bersama kawan-kawannya merenovasi terminal tersebut dan bersama-sama menempatinya hingga selama dua puluh tahun ke depan meraup laba yang terbilang lumayan. Mereka jelas-jelas bukan konglomerat, tidak berdasarkan standar orang kaya di Kanto, namun mereka adalah kumpulan pengacara-pengacara sukses, dan biro hukum mereka terkenal di kota. Kemudian muncul Eijun. Dia mulai bekerja di biro hukum tersebut sejak remaja, dan tidak butuh waktu lama, para pengacara yang lain melihat bahwa dia berbeda. Dia termasuk orang yang tidak terlalu terobsesi pada laba, namun dia sangat menggebu-gebu terhadap ketidakadilan sosial. Dia memaksa ayahnya untuk menerima segala kasus yang berkaitan dengan hak-hak sipil, kasus diskriminasi umur, gender, kasus pertanahan, kasus kekerasan polisi, dan jenis pekerjaan yang membuat seseorang bisa dikucilkan di kota kecil di belahan utara. Eijun yang cerdas dan frontal, menyelesaikan kuliahnya di selatan dalam tiga tahun, dan dengan cemerlang lulus di sekolah hukum yang terkenal di Tokyo. Dia tidak pernah ikut tes wawancara untuk melamar pekerjaan, dan tidak pernah berpikir dia akan bekerja di mana kecuali di terminal bus di pusat kota Yamaguchi. Ada begitu banyak orang yang hendak digugatnya karena melakukan ketidakadilan, juga terdapat klien-klien miskin yang membutuhkan bantuannya. Dia dan ayahnya sempat berselisih paham sejak hari pertama. Dan para pengacara yang lain, entah memutuskan pensiun atau pindah. Tahun 1989, di usianya yang ketiga puluh empat, Eijun menuntut Kota Chiba atas diskriminasi pertanahan. Persidangan itu berlangsung selama sebulan, dan pada satu ketika, dia terpaksa menyewa jasa pengawal keamanan saat ancaman sudah mulai menyeruak menjadi suatu yang nyata. Saat dewan juri kembali dengan keputusan $85 juta, Robert Eijun menjadi seorang legenda, seorang yang kaya-raya, sekaligus pengacara radikal yang tidak terbantahkan. Demi menyingkir dari jalan Eijun, ayahnya terpaksa pensiun ke sebuah padang golf. Istri Robert Eijun mengambil sebagian uang itu dan bergegas kembali ke Kanto. Biro Hukum Eijun menjadi utopia bagi mereka yang mengalami kondisi injustice, meski resultannya relatif kecil sekali. Yang dianiaya, difitnah, dituduh, yang diperlakukan tidak adil, mereka pada akhirnya menghubungi Mr. Eijun. Untuk menyaring kasus yang semakin hari semakin bertambah itu, Eijun mempekerjakan mulai dari mahasiswa hukum yang hendak lulus kuliah, juga paralegal dalam jumlah lumayan. Dia memilih dalam posisi itu setiap hari, mengais tangkapan-tangkapan dari yang sepele sampai yang krusial dan melemparkan sisanya. Biro hukumnya berkembang pesat. Pasang-surut, berkembang lagi dan kemudian pecah akibat sebuah krisis. Para pengacara termasuk yang masih berstatus sebagai mahasiswa datang dan pergi. Dia menggugat mereka, dan sebaliknya. Terjadi adu lempar gugatan. Barangkali bagi mahasiswa, mereka beralasan tidak terikat kontrak di luar magang. Uangnya habis, namun kemudian Eijun memenangkan kasus besar yang lain. Titik terbawah dalam kariernya yaitu ketika dia memergoki pegawai akuntannya menggelapkan uang dan menimpuknya dengan tas. Dia berhasil lolos dari hukuman serius dengan menegosiasikan hukuman penjara selama tiga puluh hari karena pelanggaran ringan. Peristiwa itu menjadi headline surat kabar. Eijun yang tidak mengherankan mendambakan publisitas, lebih terusik oleh pemberitaan buruk  mengenai dirinya di media atau surat kabar, daripada oleh hukuman penjara itu. Sementara, asosiasi pengacara negara bagian mengeluarkan surat peringatan terbuka dan pencabutan izin terhadap biro hukumnya selama enam puluh hari akibat keterlibatannya melanggar kode etik. Namun, dia bersumpah bahwa hal itu bukan menjadi yang terakhir baginya. Istri keduanya akhirnya meninggalkannya dan melegasikan selembar cek gemuk. Kehidupannya, seperti kepribadiannya, carut-marut, dan selalu riuh dengan pertentangan, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan mereka yang berada di sekilingnya, tapi tetap, tidak pernah membosankan. Meski dengan kepengaran semacam itu, dengan rekan-rekan yang memusuhinya, juga kondisi keuangan yang rapuh dan kasus-kasus yang tak mampu tertolong serta hujatan-hujatan dari orang-orang di sekitarnya, Robert Eijun tetap datang pagi-pagi ke terminal busnya dengan semangat menggebu-gebu buat menghabiskan hari itu dengan berjuang demi kepentingan orang-orang kecil yang masih mengharapkan bantuannya. Bila dia mendengar sepintas tentang ketidakadilan, dia secara sigap langsung melompat ke arah mobilnya dan segera melacak sumber selentingan tersebut. Tekadnya yang tak kenal lelah demikian itu, membuatnya dirinya menuju ke sebuah kasus paling terkenal dan fenomenal dalam sejarah kariernya. *** Pada tahun 2002, Kanto dibuat tercengang oleh suatu kejadian kriminal paling mengerikan sepanjang sejarah. Salah seorang siswi SMA di Kanto yang berusia delapan belas tahun—Bella Stefa—hilang dan tak kunjung ditemukan. Entah dalam kondisi hidup atau mati, tidak diketahui. Selama beberapa minggu, kota itu terasa berhenti beraktivitas seperti biasanya. Yang muncul adalah kepanikan, berita-berita sensasional, dugaan-dugaan dan hanya dipenuhi rutinitas penyelidikan tentang kasus hilangnya salah seorang siswi yang cukup populer di salah satu SMA Kanto, berusia delapan belas tahun, Bella Stefa, hilang dan tidak pernah terlihat lagi, entah dalam kondisi mati atau hidup. Selama beberapa minggu, kota itu terasa berhenti beraktivitas seperti biasanya. Yang muncul adalah kepanikan, berita-berita sensasional, dugaan-dugaan dan hanya dipenuhi rutinitas penyelidikan tentang kasus hilangnya salah seorang siswi yang cukup populer di salah satu SMA Kanto. Banyak sukarelawan yang datang, juga berduyun-duyun dari sekolah lain. Anak-anak sekolahan, teman korban, para praktisi, detektif, semuanya rela mengorbankan libur hari kerja hanya untuk menyelidiki dan mencari informasi terkait hilangnya Bella Stefa. Namun, usaha pencarian mereka sia-sia. Stefa termasuk gadis populer, salah seorang siswi SMA Kanto dengan perolehan nilai rata-rata B, dia menjadi anggota beberapa klub pada umumnya, rutin datang ke gereja setiap Minggu, tempatnya terkadang menyanyi dalam paduan suara remaja. Namun, yang paling penting diketahui adalah prestasinya menjadi pemandu sorak di SMA Kanto. Pada tahun terakhirnya di SMA, dia dipilih menjadi ketua regu, mungkin posisi tersebut yang paling diidamkan di sekolah, paling tidak bagi para gadis. Asmara dia berjalan terjal, putus-nyambung dengan pacarnya, seorang pemain sepak bola dengan cita-cita besar dan kemampuan terbatas. Di suatu malam sebelum dia dinyatakan hilang, dia sempat berbincang dengan ibunya melalui telepon genggam dan meyakinkan bahwa dia akan pulang ke rumah sebelum tengah malam. Hari itu, tepat hari Kamis, di awal November. Pertandingan sepak bola sudah selesai bagi Seido, dan kehidupan sudah kembali seperti biasa. Ibu dari Stefa di suatu hari berkata, dan catatan perusahaan telepon mendukung hal tersebut, bahwa dirinya dan putrinya berbicara melalui telepon setidaknya selama lima kali dalam sehari. Keduanya juga kerap bertukar pesan melalui SMS rata-rata enam kali. Ibu dan anak itu selalu berhubungan, dan dugaan kalau Stefa seolah-olah minggat tanpa pamit mengucapkan sepatah kata pun kepada ibunya adalah fakta yang tidak masuk akal. Stefa tidak pernah mempunyai sejarah masalah didasarkan emosi, prasangka yang dibuat-buat, masalah rutinitas makan, perilaku pencitraan, gangguan jiwa, atau penggunaan dan penyelundupan n*****a. Dia secara tiba-tiba menghilang. Tak ada saksi mata. Tidak ada apa pun, penjelasan, kalimat implisit yang mengindikasikan selamat tinggal atau sekadar nada ngambek melalui telepon. Untaian doa tidak pernah putus digaungkan di gereja-gereja, sekolah-sekolah, media sosial, dan lain-lain. Nomor inklusif dibuat hanya untuk menerima telepon yang ada kaitannya dengan kasusnya, tapi dugaan dan indikasi bukti tak semuanya terbukti benar. Sekaligus dibuatlah sebuah situs web yang dirancang khusus untuk memonitor pencarian atau menyaring desas-desus gosip. Para ahli, pejabat, baik yang tulen maupun yang fake, berduyun-duyun ke kota hanya untuk memberikan wejangan. Juga seorang paranormal datang tanpa diundang, langsung pergi ketika tak satu pun orang yang mau membayar jasanya. Sementara progres pencarian itu berlangsung seret, desas-desus gosip tanpa henti terdengar sebab tak ada hal lain yang dibicarakan di seluruh kota selain kasus itu. Sebuah mobil polisi yang biasanya mangkrak di depan kantor polisi, secara rutin mentereng di depan rumah Stefa dua puluh empat jam sehari. Polisi merasa bertanggungjawab untuk membuat keluarga gadis itu merasa tenang. Satu-satunya stasiun televisi Kanto mempekerjakan reporter pemula tambahan untuk ikut membantu mencari tahu tentang kasus itu. Para sukarelawan dengan ikhlas meneliti setiap inci permukaan bumi saat pencarian itu mulai diperluas sampai ke daerah-daerah pinggiran. Seluruh pintu dan jendela rumah rajin dikunci. Para bapak ketika tidur tetap siaga dengan pistol-pistol yang diletakkan di meja nakas. Anak-anak kecil diawasi dengan ketat oleh para orangtua. Para pemimpin agama mengubah substansi ceramahnya dan menitikberatkan tentang dalil menentang kejahatan. Pihak kepolisian rutin menerbitkan laporan harian selama minggu pertama, namun ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak punya bahan apa-apa lagi untuk dilaporkan, mereka mulai membuka kardus donatnya sambil menari-nari diiringi musik. Mereka yang terlibat, seluruhnya menunggu terus, berharap mendapatkan petunjuk. Telepon berdering yang tidak disangka-sangka dari akun anonim diharapkan meski dia ingin menukarkan informasinya dengan sejumlah uang. Mereka semua tidak henti-hentinya berdoa supaya diberi pencerahan. Kemudian hari itu akhirnya tiba, lima belas hari setelah Stefa dinyatakan menghilang. Pada pukul 04.15, telepon rumah Detektif Yuval Bonjamin berdering dua kali sebelum dia mengangkatnya. Meskipun merasa lelah, dia tetap tidak bisa tidur nyenyak. Dia secara otomatis menekan tombol untuk merekam apa yang mau dikatakan. Rekaman itu, rekaman yang di kemudian hari diputar selama ratusan bahkan ribuan kali, bunyinya sebagai berikut: Bonjamin: “Halo.” Anonim: “Apa betul ini dengan Detektif Bonjamin?” Bonjamin: “Iya, betul. Ini dengan siapa?” Anonim: “Pertanyaanmu itu tidak penting. Bagian pentingnya adalah bahwa aku tahu siapa pembunuhnya.” Bonjamin: “Aku butuh namamu.” Anonim: “Cih, lupakan saja, Bonjamin. Kau mau berbicara mengenai gadis itu?” Bonjamin: “Silakan.” Anonim: “Gadis itu berpacaran dengan Furuya Satoru. Rahasia yang besar. Gadis itu berusaha memutuskannya, tapi Furuya tidak mau pergi.” Bonjamin: “Furuya Satoru? Siapa orang itu?” Anonim: “Come on, Detektif. Kau tak mengenalnya? Semua orang tahu tentang dia. Dia pembunuhmu. Dia menyambar gadis itu di luar mall, melemparkannya di sebuah jembatan di Route 234. Gadis itu berada di dasar Sungai Merah.” Telepon itu langsung berakhir dengan menitipkan tanda tanya besar. Tentu Bonjamin bersiaga menyiapkan sistem pelacakan, dan hasilnya menunjukkan bahwa telepon itu berasal dari telepon umum di toko kelontong yang buka semalam penuh di Kanto, di situlah jejak itu berakhir. Detektif Bonjamin sepintas pernah mendengar tentang rumor yang ditutup-tutupi tentang Stefa yang pernah berpacaran dengan pemain sepak bola berkulit hitam, tapi masih belum satu pun orang yang mampu membuktikannya. Namun, pacaranya dengan tegas menepis rumor itu. Dia mengatakan bahwa antara dia dengan Stefa masih berpacaran walaupun putus-sambung selama satu tahun lebih, dan dia yakin bahwa Stefa tidak aktif secara seksual. Tapi, begitu suatu rumor terdengar, tidak butuh waktu lama dampaknya akan menyeruak secara signifikan. Hal itu begitu memuakkan dan bisa meledak sewaktu-waktu, sehingga Bonjamin tak begitu bersemangat untuk membahas hal itu bersama orangtua Stefa. Bonjamin berkendara menuju Kantor Polisi Kanto, meracik secangkir kopi, dan perlahan-lahan mendengarkan rekaman itu lagi. Dia menjadi berkeringat dan tidak sabar untuk membagi rekaman itu dengan regu penyelidiknya. Semuanya terasa cocok sekarang, kisah asmara seorang remaja, berkulit hitam dan putih, hal itu masih sangat tabu di Kanto, sementara Stefa yang berusaha memutuskan hubungan, juga jawaban yang buruk dari pacarnya yang marah dan menolak untuk diputuskan. Ciri-ciri itu nampak sangat masuk akal. Detektif itu merasa betul akan mempunyai seorang tersangka. Tiga hari setelahya, Furuya Satoru—seperti dugaan awal—ditangkap dan didakwa dengan dakwaan penculikan, p*********n, dan pembunuhan seorang gadis sekaligus kekasihnya yang bernama Bella Stefa. Dia secara sigap mengakui telah melakukan kejahatan itu dan berkata bahwa dialah yang melemparkan mayat Stefa ke Sungai Merah.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD