Empat Puluh Satu

1559 Words
PARADE itu telah dikasak-kuskkan sejak hari Senin, tapi kompleksitasnya belum difinalisasi. Saat minggu itu dimulai, eksekusi masih beberapa hari lagi, dan ada harapan menggebu di kalangan orang-orang kulit hitam kalau seorang hakim di suatu tempat akan terbangun dan menghentikan eksekusi. Tapi hari-hari berlalu dan para pemegang otoritas itu masih terlelap. Saat ini ketika hampir tiba, dan para penduduk kulit hitam di Kanto, terutama para pemudanya, tidak mau disuruh duduk diam begitu saja. Penutupan sekolah justru mengobarkan semangat mereka dan membuat mereka bebas mencari cara untuk membuat keributan. Sekitar pukul sepuluh pagi, sebuah kerumunan mulai terbentuk di Taman pusat kota, di tikungan jalan kesepuluh. Berkat dukungan beberapa telepon genggam dan koneksi internet, kerumunan itu berubah menjadi berlipat ganda, dan tidak lama berselang seribu orang kulit hitam telah berkumpul dengan waspada, mereka yakin kalau sesuatu akan segera terjadi, namun mereka masih belum yakin apa itu. Dua mobil polisi datang dan diparkir di jalanan, sedikit agak jauh dari kerumunan itu. Glover adalah salah seorang pemain pemula untuk posisi tailback SMA Kanto, dan dia mengemudikan SUV dengan jendela-jendela berkaca gelap, dan ban-ban kebesaran, penutup-penutup roda mengilap dari krom, dan sistem audio yang mampu memecahkan kaca. Dia memarkir kendaraannya di jalanan, membuka keempat pintunya, dan mulai memainkan salah satu lagu rap yang penuh dengan luapan kemarahan. Dan lagu tersebut semakin menggelorakan kerumunan tersebut. Orang-orang baru berdatangan, kebanyakan dari murid SMA, namun kerumunan itu juga menarik perhatian mereka yang pengangguran, beberapa ibu rumah tangga, dan ada beberapa pensiunan. Sebuah ensambel drum terbentuk saat empat anggota Inachiro datang sambil membawa dua bas drum dan dua genderang. Sepotong mantra dimulai, “Bebaskan Furuya Satoru,” dan suaranya menggema ke semua penjuru pemukiman. Di kejauhan, menjauhi taman, seseorang menyulut serangkaian petasan dan selama sedetik yang mengagetkan semua orang mengira itu suara letusan senapan. Setiap bom asap yang ada dinyalakan. Dan sementara menit-menit berlalu, ketegangan pun memuncak. Batu bata itu tidak dilemparkan dari Taman Pusat Kota. Melainkan datangnya dari belakang mobil-mobil polisi, dari belakang sebuah pagar kayu di samping rumah Ernie yang tengah duduk di berandanya untuk memperhatikan kerumunan itu. Menurut keterangannya, dia sama sekali tidak tahu siapa pelemparnya. Batu bata itu memecahkan kaca belakang sebuah mobil polisi, mengagetkan kedua polisi di dalamnya hingga hampir panik, dan menimbulkan sorakan mendukung yang meriah dari kerumunan massa. Para polisi itu berlarian selama beberapa detik, dengan pistol-pistol tercabut, bersiap-siap menembak apa saja yang bergerak, dengan Ernie sebagai sasaran empuk pertama. Dia mengangkat kedua tangannya dan berteriak, “Jangan tembak! Bukan aku pelakunya!” Salah seorang polisi berlari cepat ke belakang rumah, seolah-olah bisa mengejar si pelaku, namun sesudah empat puluh meter dia terengah-engah dan menyerah. Dalam hitungan menit, bala bantuan pun datang, dan pemandangan lebih banyak mobil polisi itu semakin menyulut kemarahan mereka yang sedang berkerumun. Parade itu akhirnya dimulai saat para penabuh drum melangkah memasuki jalan tikungan dan mengarah ke utara, menuju pusat kota. Mereka diikuti oleh Glover dengan SUV-nya, semua jendela diturunkan, lagu rap diputar kencang-kencang. Di belakangnya berjalan orang-orang lainnya, sebaris panjang para pemrotes, banyak yang memegangi poster-poster yang menuntut keadilan, penghentian pembunuhan, dan pembebasan Furuya Satoru. Anak-anak bersepeda menggabungkan diri. Para penduduk kulit hitam yang tengah duduk santai di beranda-beranda berdiri dan mulai berjalan membuntuti kerumunan itu. Ukuran parade itu semakin panjang, melebar dan bergerak semakin perlahan, seperti tanpa tujuan yang jelas. Tidak satu orang pun dari para demonstran itu yang dirumitkan dengan persoalan izin, seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang Kota Kanto. Demi satu hari sebelumnya di depan gedung pengadilan yang memang dilakukan secara resmi, artinya melibatkan seluruh instrumen pemerintah, tapi parade yang satu ini tidak. Kendati demikian, tetap para polisi itu tidak mengambil tindakan represif. Para polisi itu membiarkan mereka memprotes sesuka hati. Biar mereka—para demonstran itu—saling berteriak. Toh tetap saja semua yang diteriakinya akan berakhir pada malam ini, semoga saja. Misalnya dengan merepresi secara halus seperti memblokir jalan rute parade, atau berupaya membubarkan kerumunan atau bahkan menahan beberapa orang, justru hal itu akan mengobarkan amarah dan hanya membuat keadaan jauh lebih buruk. Oleh karenanya, para polisi itu menahan diri, beberapa mengikuti dari kejauhan sedang yang lain berkeliling di depan, membuka jalan, mengalihkan lalu lintas. Seorang polisi kulit hitam bermotor menghampiri SUV itu dan berteriak, “Mau ke mana kalian, Glover?” Glover yang terlihat seperti pemimpin tidak resmi dari acara itu, menjawab, “Kami mau ke gedung pengadilan lagi.” “Jaga mereka agar harus tenang, biar tidak ada masalah.” “Akan aku upayakan,” sahut Glover sembari mengangkat pundak. Dia dan polisi itu sama-sama tahu kalau masalah bisa membeludak kapan saja. Parade itu menikung memasuki Jalan Hirohito dan merambat maju, sebuah kerumunan massa yang terorganisirm longgar dan terdiri atas para warga yang prihatin dan terkesima akan kebebasan mereka dalam berekspresi, sekaligus menikmati perhatian. Para penabuh drum mengulangi latihan mereka yang akurat dan mengesankan. Irama rap mengguncang tanah dengan lirik-liriknya yang memekakkan telinga. Para murid bergoyang dan berputar mengikuti irama tabuhan sambil menyerukan bermacam-macam teriakan peperangan. Suasana ketika itu gegap gempita sekaligus marah. Anak-anak itu bangga dengan jumlah mereka yang semakin membengkak, namun masih ingin melakukan lebih banyak. Di depan mereka, para polisi memblokir Jalan Utama dan memberitahukan pada para pedagang bahwa parade itu mengarah ke tempat mereka. Panggilan 911 itu tercatat pada pukul setengah dua belas pagi. Gereja Gunung Fuji Tuhan Dalam Kristus terbakar, tidak jauh dari Taman Pusat Kota. Sebuah van putih berlogo dan bertuliskan beberapa nomor telepon sebelumnya tampak diparkir di belakang gereja itu, menurut si penelepon, dan dua laki-laki kulit putih yang berseragam, seperti tukang ledeng atau tukang listrik, bergegas keluar dari dalam gereja, memasuki van dan lalu melaju pergi. Beberapa menit berselang, ada asap yang muncul. Sirene mulai mengaung ketika penerima tanggapan pertama menjawan panggilan itu. Beberapa truk pemadam kebakaran menggemuruh di dua dari tiga stasiun di Kanto. Di tikungan Hirohito dan Jalan Utama, parade itu berhenti. Para penabuh diam tidak bergerak. Musik rap dipelankan. Mereka mengamati truk pemadam kebakaran yang melaju dengan sangat cepat, mengarah ke bagian kota mereka. Personil polisi kulit hitam yang sama itu berhenti di samping SUV dan memberitahu Glover kalau salah satu gereja mereka sedang terbakar pada saat itu. “Ayo kita bubarkan saja parade kecil ini, Glov,” ucap polisi itu. “Menurutku tidak perlu.” “Kalau begitu akan ada kerusuhan.” “Kerusuhan telah terjadi,” sahut Glover. “Kalian musti bubar sebelum keadaan menjadi tidak terkendali.” “Ha ha ha… Itu tidak perlu. Kaulah yang harus menyingkir.”   ***   ENAM belas kilometer di barat Kanto terdapat toko dan kedai desa bernama Poush. Pemilik kedai itu adalah seorang laki-laki besar dan gahar yang bernama Jesse, sepupu kedua Minami Stefa. Ayah Jesse membuka Poush lima puluh tahun silam, dan Jesse tidak pernah bekerja di tempat lain. Poush, begitulah sebutannya, merupakan tempat berkumpul untuk gosip dan makan siang, bahkan menjadi sebuah temoat beberapa kampanye barbecue para politisi. Pada Hari Kamis itu, toko itu jauh lebih ramai dibandingkan biasanya, lebih banyak orang yang mampir untuk mendengarkan berita terakhir tentang eksekusi. Jesse menyematkan satu lembar foto keponakan perempuannya yang tersayang, Bella Stefa, dia meletakkan di dinding di belakang konter di sebelah rokok-rokok, dan dia selalu siap mendiskusikan kasus gadis itu dengan siapa saja yang berkenan mendengarkan. Secara teknis, Bella Stefa adalah sepupu ketiga, namun Jesse tetap menyebutnya keponakan sebab Bella Stefa sudah menjadi seperti selebriti. Bagi Jesse, pukul enam petang hari Kamis tanggal 8 November itu kurang cepat datangnya. Toko itu menempati bagian depan gedung, area tempat makan yang kecil itu terletak di belakang dan di seputar kompor yang kuno itu ada setengah lusin kursi goyang, semuanya ditempati menjelang jam makan siang. Jesse tengah menangani mesin kas, menjual bensin dan bir, berbicara nonstop pada kerumunan kecilnya. Dengan kerusuhan di SMA Kanto yang baru saja terjadi beberapa jam lalu, Gereja Baptis Pertama yang masih mengepulkan asap, dan tentu saja, eksekusi yang telah ada di depan mata, desas-desus gosip kian menjadi panas dan orang-orang itu saling mengobrol penuh kebisingan dengan penuh semangat. Seorang laki-laki yang bernama Akae berjalan masuk dan mengumumkan, “Orang-orang kulit hitam itu berparade ke pusat kota lagi. Salah seorang dari mereka melemparkan batu bata dan memecahkan jendela mobil polisi.” Ini, di samping cerita-cerita yang lain, semakin menambah kegemparan berita-berita yang telah ada, sehingga perlu dibahas, dianalisis, dan dicermati dengan cepat. Akae menjadi pusat perhatian selama beberapa menit, tapi dengan cepat tergeser oleh Jesse yang selalu mendominasi semua pembicaraan. Pelbagai pendapat diucapkan tentang apa yang semestinya dilakukan oleh para polisi itu, dan tidak seorang pun berdebat kalau para polisi itu menangani keadaan dengan pantas. Selama bertahun-tahun Jesse membanggakan kalau dia akan menyaksikan eksekusi Furuya Satoru, tidak sabar untuk menyaksikannya, sebenarnya kalau sudi melaksanakan eksekusi itu sendiri jika diberi kesempatan. Dia kerap mengatakan kalau Minami Stefa tersayang bersikeras supaya diinya ikut hadir, mengingat perasaan cinta dan kedekatannya dengan Bella Stefa, keponakannya yang tersayang. Setiap orang yang duduk di kursi goyang itu pernah melihat Jesse tercekat dan mengusap mata saat membicarakan Bella Stefa. Namun saat ini, gegera keruwetan birokrasi menjelang saat-saat terakhir, Jesse batal mengikuti pertunjukan Nagano. Ada sangat banyak reporter dan pejabat penjara, pun para pejabat lain yang ingin menyaksikan eksekusi itu, akibatnya Jesse tersingkir. Eksekusi itu adalah tiket terlaris di Kota dan Jesse, sekalipun tercatat dalam daftar yang disetujui, entah bagaimana tidak masuk hitangan. Seorang yang bernama Rusty berjalan masuk dan mengatakan, “Ada gereja lain yang dibakar! Salah satu gereja Pentakosta orang-orang kulit hitam.” “Di mana?” “Di Kanto, dekat Taman Pusat Kota.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD