Dua Puluh Sembilan

1524 Words
APABILA Ivan ketiduran, dia tidak sadar akan hal itu. Selama tiga hari terakhir dia hanya sempat tidur sedikit sekali, dan pada jam-jam yang tidak biasa, sehingga rutinitas dan irama tidurnya kacau-balau. Ketika telepon berdering, dia berani bersumpah dia sedang melek. Tapi Kiki mendengar deringan itu terlebih dahulu dan menyikut suaminya. Ivan baru menyambar gagang pesawat telepon usai deringan keempat atau kelima. “Halo,” katanya, setengah sadar, sedang Kiki menyalakan lampu. Jam menunjukkan pukul 23.30. Belum sampai satu jam mereka naik ke ranjang. “Hai, Pendeta. Ini aku Harry,” ucap suara seseorang yang ada di seberang ketika telepon itu tersambung. “Halo, Harry,” jawab Ivan. Sementara Kiki sedang mencari baju tidurnya. “Sedang di mana kau?” “Di sini, Fukui, pada sebuah kedai entah di mana ini. Di pusat kota, tidak jauh dari Rumah Singgah Kanto.” Suaranya terdengar lamban. Pikiran Ivan menduga bahwa Harry baru saja minum-minum. “Kenapa kau tidak sedang di rumah singgah?” “Itu bukan masalah. Gini Pendeta, aku sungguh lapar, aku belum makan apa pun sejak tadi pagi, dan aku duduk di sini hanya dengan satu cangkir kopi sebab aku tidak punya uang. Aku sangat lapar, Pendeta. Kau punya ide?” “Apa kau baru minum-minum, Harry?” “Hanya dua bir saja.Aku tidak apa-apa.” “Kau menghabiskan uang untuk membeli bir, dan bukan makanan?” “Aku tidak menelepon hanya untuk bertengkar denganmu, Pendeta. Bisa tidak kau membantuku mendapatkan makanan?” “Tentu, Harry, tapi kau harus kembali ke rumah singgah dulu. Mereka pasti menunggu dan mencarimu. Aku sudah bicara pada Rudy, dan menurutnya mereka akan menjewermu, tapi tidak serius. Ayo kita mencari makanan, setelah itu aku bawa kau kembali ke tempatmu.” “Aku tidak mau kembali ke sana, Pendeta, lupakan saja. Aku ingin pergi ke Kanto, oke? Maksudku sekarang, aku benar-benar ingin pergi. Aku akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada orang-orang, memberitahu mereka di mana mayat itu berada, pokoknya semua akan aku katakan. Kita harus menyelamatkan anak itu.” “Kita?” “Siapa lagi, Pendeta? Kita tahu hal yang sebenarnya. Kalau kau dan aku pergi ke sana, kita bisa menghentikan eksekusi ini.” “Kau ingin aku membawamu ke Kanto sekarang?” tanya Ivan, sambil menatap lekat-lekat mata istrinya. Kiki mulai menggeleng-geleng. “Tidak ada orang lain lagi, Pendeta. Aku mempunyai saudara laki-laki di , tapi kami tidak saling berbicara. Aku rasa aku bisa menghubungi pihak petugas pembebasan bersyaratku, namun aku ragu bahwa dia sudi menyeret bokongnya untuk pergi ke Kanto. Aku kenal beberapa orang di sekitar Rumah Singgah, namun mereka semua tidak punya mobil. Kalau kau menghabiskan hidupmu di penjara, Pendeta, kau tidak punya banyak teman di luar.” “Saat ini kau ada di mana, Harry?” “Tadi sudah aku katakan. Sekarang aku ada di sebuah kedai, cepatlah, Pendeta.” “Kedai yang mana?” “Ichiraku. Kau tahu letaknya?” “Ya. Kau pesan saja makanan di situ. Aku bakal ada di sana sekitar lima belas menit lagi.” “Terima kasih, Pendeta.” Ivan langsung mematikan telepon dan duduk di pinggir ranjang bersebelahan dengan istrinya. Tidak seorang pun yang mengawali pembicaraan selama beberapa menit. Pun tidak seorang pun yang ingin bertengkar. “Apa dia mabuk?” tanya Kiki akhirnya. “Aku rasa tidak. Dia sudah minum sedikit, tapi kelihatannya masih sadar. Aku tidak begitu tahu.” “Apa yang akan kau lakukan, Ivan?” “Aku akan membelikan dia makan makam, atau sarapan, atau apa pun namanya. Dia belum makan sama sekali, katanya. Aku akan menunggu hingga dia berubah pikiran lagi. Kalau dia memang serius, maka aku tidak punya pilihan selain dengan mengantarkannya ke Kanto.” “Kau memiliki pilihan, Ivan. Tidak ada yang memaksamu untuk mengantarkan si c***l itu ke Kanto.” “Sedang gimana dengan pemuda yang akan dieksekusi itu Kiki? Coba kau pikirkan ibu Furuya Satoru sekarang. Ini bakal menjadi hari terakhirnya untuk melihat anak laki-lakinya.” “Harry hanya sedang mempermainkanmu, Ivan. Dia itu pembohong kelas berat.” “Mungkin saja, tapi mungkin juga tidak. Coba pertimbangkan taruhannya di sini.” “Taruhannya? Pekerjaanmu bisa dipertaruhkan. Reputasimu, kariermu, semuanya akan dipertaruhkan. Sedang kita mempunyai tiga orang anak yang masih kecil yang juga musti ikut dipikirkan.” “Aku tidak akan membahayakan karierku, Ki, atau keluargaku sekali pun. Aku mungkin saja akan mendapatkan tamparan keras di tangan, tapi hanya itu, tidak lebih. Aku tahu apa yang aku lakukan.” “Apa kau benar-benar yakin?” “Em, tidak.” Ivan dengan cepat melucuti baju tidurnya dan mengubah dengan sepasang celana jins, sepatu olahraga, kemeja, dan topi pet bisbol berwarna merah. Sedang Kiki mengamatinya berpakaian tanpa sepatah kata pun. Ivan mencium dahi istrinya, lalu keluar rumah. Ada apa denganmu, Ivan? Kiki masih meragu.   ***   Harry Kazuya sedang memelototi sepiring makanan yang mengesankan ketika Ivan mengambil tempat duduk di hadapannya. Kedai itu setengah penuh, dengan beberapa meja di tempati para polisi berseragam, semuanya melahap kue pai, rata-rata berbobot paling tidak 125 kilo. Ivan memesan kopi dan menyadari ironi itu, seorang pembunuh yang bebas dan pelanggar ketentuan pembebasan bersyarat sedang makan dan duduk sekitar sepuluh meter dari sekelompok polisi kecil. “Di mana saja kau seharian?” tanya Ivan. Harry cedutan. Sepotong besar telur dadar. Sambil mengunyah, Boyette menyahut, “Aku benar-benar tak ingat.” “Kita sudah menyia-nyiakan waktu satu hari penuh, Harry. Rencana kita adalah membuat video, mengirimkannya kepada pihak berwenang dan media-media di Kanto, dan berdoa bagi sebuah mukjizat. Dan kau telah merusak rencana itu dengan menghilang.” “Hari ini telah berlalu, Pendeta, biarkan saja. Kau jadi tidak, untuk mengantarku ke Kanto?” “Jadi. Dan sekarang kau memang berniat melanggar ketentuan pembebasan bersyaratmu?” Cedutan yang kedua kali. Harry Kazuya menghirup asap kopi, tangannya sedikit gemetaran. Dari suara sampai ke jemarinya, tangan dan matanya, rangka tubuh itu seolah terjalin dalam geletar yang tidak ada habisnya. “Pembebasan bersyarat merupakan bagian terkecil dari kecemasanku sekarang ini, Pendeta. Sementara sekarat begitu menyita sebagian besar waktuku. Pun anak di Kanto itu membuatku sangat prihatin. Aku mencoba melupakan pemuda itu, namun masih belum sanggup. Juga gadis itu. Aku harus melihatnya untuk yang terakhir kali, sebelum aku mati.” “Mengapa?” “Aku harus minta maaf padanya. Aku telah melukai begitu banyak orang, Pendeta, tapi aku hanya membunuh satu.” Dia melirik ke arah para polisi itu, lalu melanjutkan suaranya sedikit lebih pelan. “Dan aku tidak tahu kenapa. Dia kesukaanku. Aku ingin menyimpannya untuk selama-lamanya, dan saat aku tahu bahwa aku tidak bisa, aku…” “Aku mengerti, Harry. Sekarang kita membahas soal logistik. Kanto, jaraknya sekitar enam ratus lima puluh kilometer dari sini, jika kita terbang lurus seperti burung. Namun karena kita menggunakan mobil, jaraknya menjadi sekitar sembilan ratusan, dan harus melalui banyak jalanan dua arah. Saat ini tengah malam. Jika kita berangkat sekitar satu jam-an lagi, dan mengemudi layaknya orang gila, kita kemungkinan bisa tiba di sana saat tengah hari. Itu enam jam sebelum dieksekusi. Punya ide, apa yang harus kita lakukan setiba kita di sana?” Harry Kazuya mengunyah sepotong sosis dan mempertimbangkan pertanyaan itu, dia sungguh-sungguh tidak terpengaruh mepetnya waktu. Ivan memperhatikan bahwa dia hanya melahap potongan-potongan yang sangat kecil, dan mengunyah-ngunyah dalam waktu lama, meletakkan garpu, dan menyeruput entah kopi atau air. Dia terlihat tidak terlalu lapar. Makanan tidak penting. Usai lebih banyak kopi, Harry Kazuya mengatakan, “Menurutku kita bisa pergi ke stasiun televisi setempat dan aku mengudara, menceritakan kisahku, memikul tanggung jawab, memberitahu orang-orang bodoh di sana, kalau mereka telah menangkap pembunuh yang salah, dan mereka akan menghentikan eksekusi itu.” “Begitu saja?” “Aku tidak tahu, Pendeta. Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Tahu sendiri? Apa rencanamu?” “Pada saat ini, menemukan mayat gadis itu lebih penting dibandingkan pengakuanmu. Terus terang, Harry, mengingat riwayatmu yang panjang dan sifat kejahatanmu yang menjijikkan, kredibilitasmu akan dipertanyakan. Aku telah melakukan sejumlah riset sejak aku bertemu denganmu hari Senin pagi, dan aku menemukan beberapa anekdot tentang orang-orang gila yang unjuk diri menjelang dilaksanakannya eksekusi-eksekusi dan berkata yang tidak-tidak.” “Kau menyebutku orang gila?” “Tidak, tidak. Tapi aku yakin kalau mereka akan menyebutmu dengan banyak nama di Kanto. Mereka tidak akan mempercayaimu.” “Apa kau mempercayaiku, Pendeta?” “Iya.” “Kau ingin sedikit telur dan daging ham? Toh, kau yang membayar.” “Tidak, terima kasih.” Cedutan. Sebuah lirikan yang ke arah para polisi itu. Dia menempelkan kedua telunjuknya pada masing-masing pelipisnya dan memijat-mijat dalam lingkaran kecil, dan mengernyit seolah-olah hendak menjerit. Rasa sakit itu akhirnya berhenti. Ivan memandang jam tangannya. Harry Kazuya mulai menggeleng-geleng lemah dan mengatakan, “Butuh waktu lebih lama untuk menemukan mayat gadis itu, Pendeta. Tidak mungkin selesai pada hari ini.” Sebab Ivan tidak mempunyai pengalaman sehubungan dengan hal-hal seperti itu, dia hanya mengangkat pundaknya dan tidak mengatakan apa pun. “Entalah kita pergi ke Kanto, atau aku pulang ke rumah singgah dan diomeli habis-habisan. Kau yang memilih, Pendeta.” “Aku tidak yakin. Kenapa aku yang harus membuat keputusan.” “Mudah sekali. Kau memiliki mobil, bensin, surat izin mengemudi. Aku tidak memiliki apa pun selain hal yang sebenarnya.” Mobil itu adalah Subaru, four-wheel drive, 297.000 kilometer sejak penggantian olinya yang terakhir. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD