Tiga Puluh Tujuh

2578 Words
PADA suatu ketika di masa lampaunya yang suram, Furuya Satoru tahu persis jumlah hari yang sudah dihabiskannya di sel nomor 22F—di penjara hukuman mati di Unit Miyazaki. Kebanyakan tahanan memang membuat riwayat catatan seperti itu. Namun dia kehilangan hitungannya, sama seperti dia kehilangan minat untuk membaca, menulis, olahraga, makan, menggosok gigi, mandi, bercukur, berupaya menjaga komunikasi dengan para tahanan yang lain, dan mematuhi para petugas sipir. Dia bisa tidur dan bermimpi, pun bisa menggunakan toilet ketika dia memerlukannya; selain itum dia tidak mampu atau tidak bersedia mencoba hal yang lain. “Hari besarmu sudah tiba, Satoru,” ucap seorang penjaga sambil menyelipkan makanan ke dalam sel. Lagi-lagi makanan yang sama, panekuk dan saus apel. “Bagaimana kabarmu?” Penjaga itu bernama Mouse, seorang laki-laki kulit hitam bersosok mungil, salah seorang yang baik hati, Mouse beranjak, meninggalkan Furuya yang tengah menatap makanan itu seperti tanpa punya niat untuk menyentuhnya. Satu jam berselang, Mouse kembali mendekati sel Furuya. “Ayolah, Furuya, kau harus makan.” “Aku tidak lapar.” “Bagaimana dengan santapan terakhirmu? Apa kau sudah memikirkannya? Kau musti memasukkan pesananmu dalam beberapa jam lagi.” “Apa kiranya yang enak?” “Aku tidak begitu yakin santapan terakhir bisa enak, tapi saat kebanyakan orang makan seperti kuda. Steik, kentang, ikan goreng, udang, piza, apa saja yang kau mau.” “Gimana kalau bakmi dingin dan kulit rebus sama seperti hari-hari biasanya?” “Apa saja yang kau mau, Furuya.” Mouse mencondong sedikit lebih dekat, melirihkan suara, dan mengatakan, “Furuya, aku akan memikirkan dirimu, kau dengar itu?” “Terima kasih, Mouse.” “Aku pasti akan merindukanmu, Furuya. Kau orang yang baik.” Furuya Satoru merasa geli dengan membayangkan seorang di penjara yang akan merindukannya. Dia tidak menanggapi dan Mouse pun beranjak pergi. Furuya duduk di tepi ranjangnya begitu lama, kedua matanya terpaku pada dus karton yang mereka kirimkan kemarin. Di dalamnya, dia dengan rapi sudah mengemasi semua barang miliknya—sekitar satu lusin buku cerita, tidak ada satu pun di antara buku itu yang dibacanya selama bertahun-tahun, dua buku tulis, beberapa amplop, sebuah kamus, Kitab Suci, sehelai kalender tahun 2010, sebuah dompet, dua kaleng sarden dan satu paket biskuit asin yang dia dapat dari kantin, dan sebuah radio yang hanya menerima frekuensi stasiun agama Kristen dan stasiun lagu-lagu country. Dia mengambil sebuah buku tulis dan satu batang pensil dan mulai menghitung. Butuh beberapa saat, namun dia akhirnya sampai pada jumlah yang diyakininya cukup akurat. Tujuh tahun, tujuh bulan, dan tiga hari, di sel nomor 22F. Dia ditangkap pada tanggal 22 Desember 2002, dan dia dikurung sejak saat itu. Hampir sembilan tahun di balik jeruji. Begitu lama, namun bukan angka yang mengesankan. Beberapa orang di samping selnya bahkan sudah mendekam di penjara hukuman mati sejak lama. Di sana ada beberapa veteran dua puluh tahunan. Tapi hal itu akan berubah. Para pendatang yang lebih baru menghadapi serangkaian regulasi yang berbeda. Ada tenggat waktu yang lebih ketat bagi permohonan banding mereka. Bagi mereka yang dijatuhi hukuman mati setelah 1990, rata-rata masa penungguan sebelum eksekusi adalah sepuluh tahun. Itu meruakan yang terpendek di seluruh negeri. Pada tahun-tahun awalnya di 22F, Furuya Satoru menunggu dan menunggu terus datangnya kabar dari pengadilan-pengadilan. Terlihat mereka bergerak dengan kecepatan seekor siput. Setelah itu semuanya selesai, tidak ada lagi petisi yang diajukan, tidak ada lagi para hakim dan pengadilan-pengadilan yang masih bisa diserang Eijun. Jika dipikir-pikir saat ini, setiap banding itu kelihatanya melayang begitu saja. Dia meregangkan tubuhnya di atas ranjang, berusaha terlelap. Kau menghitung hari-hari dan memperhatikan tahun demi tahun berlalu. Kau memberitahu dirimu sendiri, dan kau mempercayainya, kalau kau lebih suka mati saja. Kau lebih suka menatap kematian lekat-lekat dengan berani dan berkata kau siap, sebab apa pun yang menunggu di sisi lain itu seharusnya lebih baik daripada menjadi tua di dalam kurungan berukuran dua kali tiga tanpa satu orang pun yang bisa diajak bicara. Toh kau sudah menganggap dirimu setengah mati. Tolong ambil yang setengahnya lagi. Kau mengamati lusinan orang yang pergi dan tidak kembali, dan kau menerima kenyataan bahwa suatu hari mereka akan datang untukmu. Kau bukan apa-apa selain seekor tikus dalam laboratorium mereka, tubuh sekali pakai yang bisa mereka gunakan sebagai bukti kalau eksperimen mereka bekerja. Mata untuk mengganti mata, setiap pembunuhan harus dibalas. Kau membunuh cukup banyak dan kau menjadi yakin bahwa pembunuhan adalah sesuatu yang bagus. Kau menghitung hari-hari, lalu tidak ada lagi yang harus dihitung. Kau bertanya pada dirimu sendiri di pagimu yang terakhir, apakah kau benar-benar siap. Kau mengais, mencari-cari keberanian, namun dia memupus. Saat semuanya selesai, tidak satu orang pun benar-benar ingin mati. *** HARI itu merupakan hari yang besar bagi Minami Stefa, dan untuk menunjukkan pada dunia betapa dia menderita, dia mengundang Najwa—Menggebrak Keras! kembali ke rumahnya untuk sarapan. Dalam setelan jaket dan celana panjangnya yang paling bergaya, Minami Stefa menggoreng daging dan telur, lalu duduk di seputar meja bersama Ryusei dan kedua anak mereka—Chris dan Yui, keduanya masih remaja. Tidak seorang pun dari mereka berempat yang memerlukan sarapan banyak. Mereka semestinya melupakan saja sarapan. Namun beberapa kamera merekam, dan sembari makan, mereka berbincang tentang kebakaran yang menghabiskan gereja tercinta mereka, kebakaran yang hingga saat itu masih mengepulkan asap. Mereka tercenung, marah. Mereka yakin bahwa itu merupakan pembakaran yang disengaja, tapi berhasil menahan diri dan tidak melemparkan tuduhan pada siapa saja—di hadapan kamera. Di luar kamera, mereka hanya tahu kalau kebakaran itu dimulai oleh para begundal kulit hitam. Minami Stefa sudah menjadi anggota gereja itu selama kurang lebih dari empat puluh tahun. Dia menikah dengan kedua suaminya di sana, di tempat yang sama. Chris, Yui, dan Bella dibaptis di sana juga. Ryusei adalah seorang diakon. Benar sebuah tragedi. Lambat laun mereka mulai membicarakan hal yang lebih penting. Mereka semua sepakat kalau hari itu adalah hari yang menyedihkan, sebuah kesempatan yang menyedihkan. Menyedihkan, tapi sangat perlu. Sebab hampir sembilan tahun lamanya mereka telah menunggu hari ini, karena keadilan akhirnya tiba bagi keluarga mereka, dan ya, bagi seluruh Kanto sekalian. Sean Najwa masih sibuk dengan sebuah eksekusi rumit di Tokyo, namun dia telah membuat semua orang mengetahui setiap rencananya. Dia akan tiba dengan pesawat jet pribadi, di lapangan udara Nagano sore nanti untuk melakukan interview singkat dengan Minami Stefa sebelum mereka menyaksikan eksekusi, dan jelas saja, Najwa pun akan hadir di sana saat eksekusi itu berakhir. Tanpa kehadiran sosok pemandu acara, sarapan itu menjadi berkepanjangan. Di luar kamera, seorang asisten sutradara memberikan beberapa petunjuk pada keluarga itu, seperti, “Menurut kalian, apakah suntikan mematikan terlalu manusiawi?” Minami Stefa tentu saja berpikiran demikian. Ryusei cuma bisa menggerutu. Chris sedang mengunyah daging goreng. Yui yang bawel seperti ibunya, berkata dengan mulut penuh, kalau Furuya Satoru semestinya mengalami penderitaan fisik yang luar biasa ketika menemui ajalnya, persis seperti kakaknya. “Menurut kalian, apakah eksekusi wajib disiarkan kepada publik?” Reaksi beragam saling mengundang di seputar meja. “Tahanan yang dihukum mati itu diizinkan untuk memberikan pernyataan terakhir. Jika kalian diberikan kesempatan untuk berbicara padanya, apa yang akan kalian katakan padanya?” Minami Stefa sambil mengunyah, langsung menangis dan menutupi kedua matanya. “Kenapa, oh, kenapa?” erangnya. “Kenapa kau merampas putriku?” “Najwa akan menyukai hal ini,” bisik asisten sutradara itu kepada juru kamera. Keduanya menahan senyuman. Minami Stefa mencoba mengendalikan diri, dan keluarga itu melanjutkan sarapan. Pada suatu titik, dia berteriak kepada suaminya yang hampir tidak mengatakan apa pun. “Ryusei! Apa sih, yang sedang kau pikirkan?” Ryusei mengangkat pundak, seolah-olah dia tidak berpikir sama sekali. Tanpa senjaga, Jacob mampir persis saat sarapan mereka selesai. Dia sudah melek semalam suntuk karena memperhatikan gerejanya yang terbakar, dan dia butuh tidur. Namun Minami Stefa dan keluarganya juga membutuhkan dirinya. Mereka menanyainya tentang kebakaran itu. Dia kelihatannya cukup terbakar. Mereka berpindah ke bagian belakang rumah, ke kamar Minami Stefa, duduk dan berkumpul di seputar meja kopi. Mereka sama-sama kompak berpegangan tanganm dan Jacob membimbing mereka dalam doa. Dengan gaya yang dramatis, dan dengan kamera yang hanya berjarak dua jengkal dari kepalanya, dia memohon kekuatan dan ketabahan bagi keluarga itu untuk menghadapi apa yang akan terjadi pada hari yang sulit ini. Dia bersyukur pada Tuhan atas keadilan. Dia berdoa bagi gereja mereka dan para jemaatnya. Dia sama sekali tidak menyebut nama Furuya Satoru atau keluarganya. *** SESUDAH satu lusin kali terlempar ke mesin penjawab telepon, seorang manusia sungguhan akhirnya menjawab, “Biro Hukum Eijun,” ucap perempuan itu dengan gesit. “Tolong dengan Robert Eijun,” kata Ivan, sedikit bersemangat. Harry Kazuya berpaling dan memandangnya. “Robert Eijun tengah rapat.” “Aku juga yakin begitu. Dengarkan, ini sangat penting. Namaku Ivan. Aku seorang Pendeta Lutheran. Aku ingin berbicara dengan Pengacara Eijun kemarin. Saat ini aku sedang berkendara menuju Kanto sedang bersamaku di sini, di dalam mobil, adalah seorang laki-laki bernama Harry Kazuya. Harry Kazuya ini memerkosa dan membunuh Bella Stefa dan dia mengetahui di mana mayat gadis itu dikubur. Aku membawanya ke Kanto agar dia bisa menceritakan seluruh kisahnya. Jadi, sangat penting buatku agar bisa berbicara dengan Robert Eijun, saat ini.” “Eh, tentu saja. Bisakah anda menunggu sebentar?” “Mau tidak mau, kan?” “Sebentar.” “Tolong cepat.” Perempuan itu memutuskan pembicaraan. Dia meninggalkan meja tulisnya di dekat pintu depan dan bergegas masuk ke dalam stasiun kereta api, mengumpulkan tim. Eijun ada di kantornya sedang bersama Kento Himura. “Eijun.., kau harus mendengarkan ini,” ucap perempuan itu, raut wajah dan suaranya menunjukkan bahwa dia tidak ingin dibantah. Mereka bertemu di ruang rapat, berkumpul mengitar pesawat telepon berpengeras suara. Robert Eijun menekan tombol dan mengatakan, “Ini Robert Eijun.” “Mr. Eijun, ini aku Ivan. Kita sempat mengobrol kemarin sore.” “Ya. Kau Pendeta Ivan, bukan?” “Ya, tapi saat ini hanya Ivan.” “Kau di pengeras suara. Tidak apa, kan? Semua biroku sedang ada di sini, ditambah ada beberapa kolega yang lain. Ada sekitar sepuluh orang. Tidak masalah, kan?” “Tentu saja. Terserah.” “Dan alat perekam sedang dipasang. Tidak masalah juga?” “Ya, aku tidak mempermasalahkan itu. Ada lagi? Gini, kami telah berkendara sepanjang malam, dan kami semestinya tiba di Kanto sekitar tengah hari. Aku sedang bersama Harry Kazuya, dan dia sudah siap untuk menceritakan kisahnya.” “Ceritakan pada kami tentang orang itu,” jawab Eijun. Tidak ada yang bergerak, semuanya menahan napas di seputar meja. “Dia berusia empat puluh tujuh tahun, dia dilahirkan di Shibuya, dia seorang kriminal veteran, pelaku kekerasan seksual yang terdaftar setidaknya di empat prefektur.” Ivan melirik ke arah Harry yang memandang ke arah luar jendela di sisi penumpang seolah-olah dirinya tengah berada di tempat lain. “Dia bertempat tinggal di Kanto ketika Bella Stefa dinyatakan hilang, menginap di sebuah Losmen Rebel Motor. Aku yakin bahwa kau tahu di mana letaknya. Dia ditahan sebab mengemudi dalam keadaan mabuk di Kanto pada bulan Januari. Ada salinan surat penahanannya.” Kazuya dan Ibuki seibuk memencet papan ketik laptop mereka, masing-masing berlomba menembus internet, mencari apa pun tentang Pendeta Ivan, Harry Kazuya, dan penahanan di Kanto. Ivan menambahkan, “Sebenarnya, dia tengah dipenjara di Kanto sesaat ketika Furuya Satoru ditangkap. Harry membayar uang jaminan, lalu keluar, dan meninggalkan kota. Dia terdampar Kyoto, berusaha memerkosa seorang perempuan lain, tertangkap, dan hampir menyelesaikan masa hukumannya.” Tatapan tegang saling dilemparkan di seputar meja. Semua orang menghirup napas. “Kenapa dia berkenan untuk menceritakan itu saat ini?” tanya Eijun, mencondong semakin dekat ke pesawat teleponnya. “Dia sekarat,” sahut Ivan berterus terang, tidak perlu bertenggang rasa pada titik ini. “Dia tengah menderita toksoplasmosis, kengeriannya sejenis dengan penyakit tumor otak ekstrem yang lain, dan itu sudah tidak bisa dioperasi lagi. Kata dia, dokter memberitahu dirinya kalau usianya tak lebih dari satu tahun. Katanya dia mau melakukan hal yang benar. Sedang di penjara, dia tidak bisa mengikuti kasus Furuya Satoru ini, katanya dia berpikir bahwa pihak berwenang di Kanto suatu hari pasti menyadari bahwa mereka sudah menangkap pelaku yang salah dalam kasus ini.” “Orang ini sedang ada di mobil bersamamu?” “Iya.” “Dia bisa mendengar percakapan ini?” Ivan mengemudi dengan tangan kiri dan memegang telepon genggamnya dengan menggunakan tangan kanan. “Tidak,” jawabnya. “Kapan kau bertemu dengan orang ini, Ivan?” “Hari Senin.” “Kau mempercayainya? Kalau benar dia p*******a kambuhan dan kriminal kawakan, maka dia lebih senang berdusta dibandingkan mengatakan hal yang sebenarnya. Gimana kau tahu dia menderita salah satu jenis penyakit tumor otak? Apa itu.., toksoplasmosis?” “Aku sudah memeriksanya. Itu sungguhan.” Ivan melirik ke arah Harry Kazuya yang masih menatap kosong melalui jendela di sisi penumpang. “Menurutku semua itu benar.” “Apa yang dia mau?” “Sejauh ini, tidak ada yang dia inginkan.” “Sudah di mana kau saat ini?” “Sudah tidak jauh dari wilayah Kanto. Gimana prosedurnya, Eijun? Apa eksekusi itu masih mungkin untuk dihentikan?” “Mungkin-mungkin saja,” jawab Eijun sambil memandang lekat-lekat wajah Riko. Perempuan itu mengangkat pundak, mengangguk, sebuah “mungkin” yang lemah. Eijun menggosok tangannya dan mengatakan, “Oke, Ivan, inilah yang musti kita lakukan. Kami harus menemui Harry dan mengajukan banyak pertanyaan padanya, dan jika itu berjalan baik, maka kami akan menyiapkan afidavit agar ditandatanganinya, lalu mengajukannya sebuah petisi. Kita masih punya waktu, namun tidak banyak.” Kazuya mengulurkan pada Riko selembar foto Harry yang baru dicetaknya dari sebuah situs di internet yang dia temukan di Web Lembaga Permasyarakatan Fukui. Riko menunjuk foto Harry dan berbisik, “Suruh dia berbicara melalui telepon.” Robert Eijun mengangguk dan mengatakan, “Ivan, aku mau berbicara dengan Harry. Bisa kau memintanya untuk bicara?” Ivan menurunkan telepon genggamnya dan mengatakan pada Harry, “Harry, ini si pengacara. Dia ingin berbicara denganmu>” “Aku rasa tidak perlu,” sahut Harry. “Kenapa tidak? Aku akan berbicara setibanya kita di sana.” Suara Harry terdengar jelas di pengeras suara. Robert Eijun dan orang-orang yang lain merasa lega sebab mengetahui bahwa benar-benar ada orang lain di dalam mobil bersama Ivan. Mungkin dia bukan orang gila yang ingin bermain-main menjelang detik-detik terakhir. Eijun mendesak. “Kalau kami bisa berbicara dengannya saat ini, kami yang di sini bisa memulai mempersiapkan afidavitnya. Itu akan lebih bisa menghemat waktu. Ingat, kita sudah tidak punya banyak waktu sekarang.” Ivan menyampaikan ini pada Harry di mana reaksinya sunggu mengejutkan Tubuh bagian atasnya terbanting ke depan dengan keras, sedang dia menyambar kepalanya itu menggunakan kedua tangannya. Dia berupaya menahan jeritan, tapi sebuah erangan “Aghhh!” yang sangat keras berhasil keluar dari mulutnya, diikuti dengan lenguhan parau dan berat yang membuat Harry terdengar seperti orang yang sedang mengalami sakaratul maut dan dia begitu kesakitan. “Apa barusan itu?” tanya Eijun. Ivan sedang mengemudi, berbicara di telepon, dan secara tiba-tiba dikejutkan oleh kejang-kejang dari Harry. “Sebentar, aku akan menghubungimu lagi,” katanya kemudian mematikan teleponnya. “Aku mau muntah,” kata Harry sambil meraih gagang pintu. Ivan mulai meginjak rem dan mengarahkan mobilnya ke bahu jalan. Sebuah truk beroda 18 di belakangnya mengayun dan membunyikan klakson. Mereka akhirnya behenti, dan Harry mencengkeram sabuk pengamannya. Begitu sudah terlepas, dia langsung menjulurkan tubuh ke luar pintu yang terbuka dan mulai muntah. Ivan ikut keluar, berjalan ke belakang mobil dan memutuskan agar tidak melihat. Harry Kazuya muntah begitu lama, dan saat dia akhirnya berhenti, Ivan memberikannya satu botol berisi air. “Aku musti berbaring,” ucap Harry, dan segera dia merangkak ke jok belakang. “Jangan memindahkan mobil ini,” pintanya. “Aku masih mual.” Ivan berjalan sedikit menjauh dan menghubungi istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD