Perang Ranjang

1727 Words
Di dalam kamarnya, Deden masih terpaku dan duduk di atas sebuah sofa. Ia sama sekali belum berani beranjak dari sana. Asri sendiri juga tidak mengatakan apa pun karena ia benar-benar sangat lelah malam ini. Wanita itu segera beranjak ke dalam kamar mandi setelah memastikan Dimas tertidur dengan lelap di dalam ranjang bayi. “Kang, kalau akang mau mandi, handuk dan pakaian ganti sudah aku siapkan di atas meja. Aku capek banget, mau tidur duluan, boleh ya?” tanya Asri sesaat setelah selesai merapikan dirinya. “I—iya ...,” jawab Deden tergagap. Asri yang memang sangat amat lelah, langsung merebahkan dirinya ke atas ranjang setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan piyama tidur biasa. Wanita itu belum tertarik untuk melakukan aktifitas apa pun selain tidur. Tampaknya Asri memang sangat amat lelah. Hanya dalam beberapa detik saja, ia langsung terlelap dalam nikmat. Deden yang baru saja keluar dari kamar mandi, menatap wajah cantik itu dengan saksama. Ia masih menjaga jarak. Walau Asri sudah sah menjadi istrinya, tidak serta merta membuat Deden sesuka hati menyentuh istrinya itu. ia masih tampak kaku dan takut. Setelah puas memandangi wajah cantik Asri, netra itu pun beralih menatap Dimas yang tengah berbaring di atas ranjang bayinya. Asri dan Deden memang menginginkan Dimas tetap satu kamar dengan mereka, itu agar Deden dan Asri tetap bisa menjaga, mengawasi dan mengurus bayi mereka sendiri. Masih teringat di benak Deden, bagaimana Andhini membujuk pengantin baru itu agar mau membiarkan Dimas tidur bersama mereka, namun Deden dan Asri tetap bersikeras untuk tetap membawa bayi mereka ke kamar pengantin itu. Deden menatap wajah tampan Dimas dengan senyum merona. Netranya pun berkaca-kaca seraya membelai wajah mulus bayi yang sebentar lagi akan genap berumur empat bulan itu. Ingin rasanya Deden mengangkat dan menggendong bayi itu, tapi ia takut Dimas akan terjaga. Akhirnya Deden hanya mengecup keningnya pelan, lalu membiarkan Dimas teridur dalam nikmat. Deden pun duduk di atas ranjang. Pria itu bingung, sebab ia tidak tahu harus tidur di mana. Beberapa kali ia menguap karena rasa kantuk dan lelah memang sudah sedari tadi menyerangnya. Saat ini, Asri tidur di bagian tepi ranjang. Bukan niat Asri untuk tidur si sana, akan tetapi memang ia tertidur begitu saja setelah merebahkan tubuhnya di sana. Sebenarnya Deden bisa saja naik ke atas ranjang dan tidur di ruang kosong di sebelah Asri, namun pria itu terlalu jengah. Pada akhirnya, Deden memutuskan untuk mengistirahatkan dirinya di atas karpet di bawah tempat tidur Asri. *** Pukul dua malam. Asri terbangun karena sebuah hasrat yang tidak bisa ia tahan. Lagi pula, tumben Dimas tidak rewel, biasanya bayi kecil itu akan terjaga untuk minta s**u atau gelisah. Tapi kali ini Dimas benar-benar aman dan damai. Asri membuka matanya, ia terkejut karena tidak melihat siapa-siapa di sebelahnya. Sementara jam dinding dari ukiran kayu jati itu menunjukkan pukul dua malam. Kemana Deden? Apa mungkin masih di luar di jam segini? Asri bergumam dalam hatinya. Tapi tiba-tiba, ia kembali teringat dengan hajatnya. Sesuatu itu kembali mendesak minta untuk segera dikeluarkan. Asri pun menurunkan kakinya dan berdiri, namun ... “AAAAHHH ....” Asri berteriak keras tatkala merasakan kakinya menyentuh sesuatu yang lunak sekaligus keras. “Auuuhhh ....” Seiringan dengan teriakan Asri, ia mendengar suara lenguhan tertahan. “Kamu? Ngapaian kamu tidur di bawah? Eh, maaf ... maksudnya akang ngapain tidur di bawah?” Asri ingin membiasakan dirinya memanggil Deden dengan sebutan akang, biar terkesan lebih tradisional. “Ma—maaf ... akang tidak tahu harus tidur di mana?” Deden memegang dadanya yang sempat di pijak oleh Asri. “Lha? Itu tempat tidur’kan besar. Kamu, eh maksudnya akang ‘kan bisa tidur di sisi lainnya.” Asri melupakan hajatnya sejenak. “Ta—tapi, tidak enak kalau belum izin dulu sama Asri.” “Astaghfirullah ....” tangan kiri Asri berada di pinggang dan tangan kanannya menyeka kening dan menarik rambutnya sendiri, “Kamu ini suami aku atau apa sih, ha?” Suara Asri sedikit meninggi. “Ma—maaf, nanti dikira akang tidak sopan.” Asri menarik napas panjang, lalu ia ingat kembali dengan hajatnya. Asri pun segera berlalu menuju kamar mandi meninggalkan Deden. “Asri teh mau ke mana?” tanya Deden. “Mau zikir!” jawab Asri, asal. “Ngapain zikir di dalam kamar mandi?” “Au ah, gelap,” jawab Asri seraya membanting pintu kamar mandi. “Saya teh salah apa?” Deden kebingungan. Setelah menyelesaikan hajatnya, Asri pun keluar dari kamar mandi. Ia tampak lega. Asri melihat Deden duduk di tepi ranjang seraya memainkan jari-jarinya. “Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?” Asri memukul mulutnya sendiri, “Eh, maaf ... maksudnya akang memikirkan apa?” Asri mulai berkata lembut. “Akang teh salah apa? Kok Asri malah marah-marah sama akang?” Asri mulai duduk di samping suaminya. Tepi bokongnya ia satukan dengan tepi b****g Deden, “Nggak kok, akang nggak salah apa-apa. Asri yang salah ....” Asri tersenyum manja. Akan tetapi, Deden menggeser tubuhnya menjauhi Asri. Asri bergeser lagi, Deden kembali bergeser. Asri melotot melihat sikap suaminya namun ia terus merapatkan tepi bokongnya, namun Deden tetap bergeser lagi. Hinga akhirnya ... “Haduh ....” Deden terjatuh dan mengelus bokongnya sendiri. “Hahaha ... makanya jangan sok jual mahal.” Asri terkekeh. Deden berdiri, “Siapa yang jual mahal? Akang hanya belum berani ngapa-ngapain Asri? Takut dikira tidak sopan.” “Tidak sopan bagaimana? Saya ini’kan istri kamu!” “Ya ... iya sih ....” Deden menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Okay, tunggu sebentar. Aku ingin lihat sampai dimana pertahanan kamu itu.” Asri bangkit dan beranjak menuju lemarinya. “Asri teh mau kemana?” “Mau tidur di kamar mandi.” “Kok tidur di kamar mandi?” Deden semakin bingung sementara Asri tetap masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lama, Asri pun keluar. Wanita itu tampak anggun dan begitu memesona. Tidak hanya memesona, Asri juga tampak sangat menggairahkan tatkala mengenakan lingerie seksi berwarna merah menyala. Deden terkesima, ia terus menatap bidadari cantik yang baru saja keluar dari kamar mandi itu. Tubuhnya seketika terbakar dan berkali-kali ia menelan salivanya menahan hasrat yang sudah berkumpul di ubun-ubun. Asri berjalan mendekat dengan anggunnya. Entah dari mana Asri beajar gaya semacam itu. padahal selama ini ia adalah wanita yang sangat sopan dan tidak pernah mengotori matanya dengan tontonan gila seperti itu. Oiya, mungkin karena Asri adalah salah satu penggemarnya NHOVIE EN dan belia selalu mengikuti semua cerita penulis amatiran itu. Secara tidak langsung, Asri pun sudah piawai secara teori untuk menyenangkan suaminya. Deden semakin gemetar tatkala Asri mulai mendekat. Setelah jarak mereka hanya sekitar satu meter saja, Deden pun membuang muka. Asri meletakkan satu kakinya ke atas ranjang tepat di samping suaminya, sementara tangannya mulai memegang rahang Deden dan memaksa pria itu menatap wajahnya. “Ap—ap—apa yang Asri lakukan? Akang—.” Deden tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Keringat mulai keluar dari dahi Deden, padahal AC ruangan itu sudah diatur ke suhu rendah. Wajah Deden sangat tegang, bibirnya kaku dan tangannya gemetaran, “Kenapa? Mengapa aku tidak boleh menggoda suamiku sendiri? Aku sengaja membaca novelnya NHOVIE EN agar aku tahu bagaimana caranya menggoda suamiku,” ucap Asri dengan sikap menggoda. Deden semakin tegang, ia bahkan tidak tahu harus berkata apa. Matanya bahkan tidak berkedip memandang dekat wajah wanita yang begitu ia puja. “Mengapa kamu terlihat sangat takut? Memangnya aku ini setan, ha?” Asri terus berkata seraya memainkan rambutnya. “Bu—bukan begitu, saya takut kalau dianggap kurang ajar.” Deden masih gugup. Asri mengambil tangan kiri suaminya dan melingkarkan tangan itu dipinggangnya, “Aku ini istrimu atau siapamu? Atau jangan-jangan kamu tidak tertarik denganku? Kau ingin menikah denganku hanya ingin Dimas saja, bukan asli mencintaiku, iya?” Asri berkata tepat di depan daun telinga suaminya. Ya Allah ... ya Allah ... ya Allah ... Deden terus bergumam dalam hatinya. Napasnya sudah memburu seiring dengan birahinya yang mulai memuncak. Deden pun akhirnya tidak tahan, ia memeluk Asri dengan sangat erat dan membawa tubuh itu jatuh ke atas ranjang. Ia menindih tubuh istrinya dan mulai menyeka dahinya yang berkeringat. “Jangan membangunkan harimau yang tengah tidur, Asri Anjani!” seru Deden seraya membelai rambut Asri. “Harimau itu memang harus bangun. Karena jika ia diam saja maka ia sudah menyalahi kodratnya,” seru Asri dengan suara yag sangat lembut. Deden memegangi ke dua tangan Asri dengan tangannya. Perlahan, ia menggenggam, jemari istrinya dan menumpukannya dengan kuat ke atas ranjang, “Harimau itu akan menggila jika dibangunkan dengan cara seperti ini.” “Biar saja. Aku ingin lihat seberapa gilanya harimau itu.” Asri menyunggingkan senyum sinis dari sudut bibirnya. Ia berniat menggoda Deden dengan sebuah cemoohan. Namun tiba-tiba Asri terkejut. Di saat ia belum siap, Deden sudah mendaratkan bibirnya di atas bibir manis Asri. Harimau itu benar-benar sudah terjaga. Kekakuan dan ketegangan itu hilang seketika. Deden terus mengulum bibir istrinya dengan penuh gairah. Awalnya pelan, tapi semakin lama semakin kasar. Apalagi Asri memberi akses untuk suaminya berselancar di dalam rongga itu. Asri dan Deden masih terus berciman manis hingga beberapa menit lamanya. Asri pun akhirnya mengerang pelan. Ciuman Deden membuat bibirnya sedikit perih dan tebal tapi nikmat. “Bagaimana Asri Anjani? Masih ingin membangunkan harimau itu?” Deden masih menindih tubuh istrinya sementara ia masih menggenggam kuat ke dua telapak tangan Asri. “Cuma segitu? Heh, harimau lemah!” Asri tidak asli mencemooh suaminya. Ia bersikap demikian hanya untuk menggoda Deden. Wajah Deden memerah, pria itu pun melepaskan genggamannya. Dengan cepat, ia melepaskan semua pakaiannya. Bahkan segi tiga pengamannya juga. “Apa yang kamu lakukan?” Asri tekejut melihat sikap suaminya. Tubuh hitam manis itu tampak sangat bersih dan gagah. Sedikit kurus tapi tidak terlalu kurus. Perut dan dadanya masih bidang dan bagus. Bulu-bulu halus tampak manis di bagian d**a Deden yang semakin membuatnya terlihat macho. Ada satu benda lagi yang membuat Asri terngaga. Benda panjang dan sawo matang yang sudah tegak sempurna. Bulu-bulu lebat yang tumbuh di sekelilingnya membuat benda itu semakin berkharisma. “Kenapa, ha? Inilah resikonya karena sudah membangunkan harimau yang tertidur pulas.” Deden kembali menindih tubuh Asri dan mulai melakukan permainan-permainan terhadap tubuh istrinya. Di balik sikapnya yang sopan dan kaku, ternyata Deden adalah pria yang sangat hebat di ranjang. Ia membuat istrinya kelimpungan. Suara desahan dan erangan kini mendominasi di kamar itu. Beruntung, Dimas bayi yang sangat pengertian. Dimas sama sekali tidak terjaga tatkala ibu dan ayahnya menikmati peperangan untuk pertama kalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD