Kondisi Andhini

1345 Words
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dimas sudah mandi dan saat ini tengah tertidur kembali dengan baik di dalam kamarnya. Andhini sendiri bersiap pergi ke suatu tempat yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun selama ini. Rumah sakit ... Ya, tempat itu’lah yang akan dituju oleh Andhini sore ini. Sudah dua bulan wanita itu memeriksakan dirinya seorang diri tanpa siapa pun yang tahu. Andhini benar-benar menyimpan masalahnya seorang diri. “Mbak, tolong titip Dimas sebentar ya ... Aku ada urusan keluar sebentar.” “Iya, Bu. Hati-hati di jalan.” Andhini mengangguk. Wanita itu pun pergi menuju mobilnya dan mengendarai mobilnya sendiri. Seharusnya Andhini tidak melakukan hal itu. Setidaknya ia pergi dengan sopir pribadi yang sudah disiapkan Reinald untuknya. Tapi seperti komitmennya di awal jika Andhini tidak ingin siapa pun tahu apa yang terjadi dengan dirinya saat ini. Andhini berusaha menyembunyikan semuanya dari siapa pun termasuk dari sopir pribadi dan asisten rumah tangganya. Beberapa menit mengendarai mobilnya, Andhini pun sampai di depan sebuah rumah sakit. Mendaftar sebagai pasien umum seorang diri dan beruntung dapat antrian paling awal hingga ia tidak perlu menunggu lama. “Selamat pagi, Bu Andhini,” sapa sang dokter ramah. “Selamat pagi, Dokter.” Andhini menyalami sang dokter seraya tersenyum ramah. “Bagaimana rasanya, Bu?” “Sakitnya sering kambuh, Dokter. Apa lagi kalau sedang berhubungan.” “Ibu Andhini masih merahasiakannya dari suami?” Andhini mengangguk, “Saya tidak berani mengatakannya, Dokter. Saya takut suami dan anak-anak saya jadi khawatir.” “Tapi, Bu. Ibu tidak bisa menyembunyikan semua ini selamanya? Ibu harus segera mendapatkan pengobatan, khususnya operasi.” “Apa tidak ada cara lain selain operasi pengangkatan rahim?” “Bahkan jika rahim bu Andhini diangkat sekali pun, tidak menjami sel tumornya akan mati begitu saja. Sebab sel tumornya sudah menyebar ke luar rahim. Tapi setidaknya, jika rahim bu Andhini diangkat, kita akan membunuh sumber utama penyebaran tumor. Dengan kata lain, besar kemungkinan semua sel tumor yang sudah mejalar keluar rahim ikut mati.” “Atau mereka tetap berkembang biak?” Andhini seketika memotong pembicaraan sang dokter. “Bu Andhini, sebagai manusia kita hanya bisa ikhtiar dan berusaha. Jika Allah menhendaki, bisa saja semua sel tumor itu mati setelah proses pengangkatan rahim karena beberapa pasien saya mengalaminya. Tapi betul, ada juga beberapa yang tetap saja selnya berkembang walau rahimnya sudah diangkat. Itu karena selnya sudah menyebar keluar rahim.” “Saya akan pikirkan lagi, Dokter.” Sang dokter mengangguk, “Saya sarankan untuk segera melakukan operasi itu, Bu. Jangan sampai terlambat karena nanti bisa saja selnya berkembang dengan sangat cepat.” “Iya, Dokter. Terima kasih atas sarannya.” “Saya akan resepkan obat pengurang rasa sakit dan vitamin. Jika bu Andhini mau, silahkan hubungi saya secara pribadi nanti, atau silahkan datang langsung ke tempat praktek saya agar konsultasinya bisa lebih leluasa dan lama.” Sang dokter memberikan sebuah kartu nama kepada Andhini. “Iya, Terima kasih, Dokter.” “Sama-sama, Bu. Saya sarankan agar bu Andhini membicarakannya dengan suami. Semakin cepat penanganan diberikan, maka akan semakin baik pula nanti hasilnya.” “Iya, Dokter. Saya akan pertimbangkan. Kalau begitu saya permisi dulu.” “Silahkan, Bu Andhini.” Andhini pun keluar dari ruangan itu dengan perasaan gelisah. Sakit yang ia derita bukanlah sakit biasa yang bisa diobati hanya dengan satu atau dua kali resep dokter. Andhini harus mendapatkan penanganan serius dan itu tidak main-main. Setelah menebus resep obat, Andhini pun segera meninggalkan rumah sakit menuju kediamannya. Ia ingin bertemu dengan Dimas—cucu kesayangannya. Andhini juga berniat ingin menghubungi Aulia lewat panggilan suara karena wanita itu juga sudah sangat merindukan putri kandungnya dari suami pertamanya itu. Di tempat berbeda, Reinald tengah sibuk dengan pekerjaannya. Jabatannya kini yang sudah tinggi si sebuah instansi pemerintahan, memaksanya bekerja lebih teliti dan ekstra. Bahkan Reinald digadang-gadang akan dicalonkan jadi kepala dinas periode mendatang. Namun Reinald menolak mentah-mentah tawaran itu. Ia tidak ingin otaknya dibebani oleh etos kerja yang tinggi. Lagi pula bisnisnya juga berkembang sangat pesat. Uang bukan masalah besar lagi bagi Reinald dan pria tampan yang sudah tidak muda lagi itu juga tidak berambisi dengan jabatan dan kekuasaan. Bahkan jika Reinald boleh memilih, ia ingin pensiun dini agar bisa menikmati masa tuanya bersama keluarga. Di tengah-tengah waktunya yang fokus pada pekerjaan, tiba-tiba saja Reinald dikejutkan dengan sebuah bunyi ketukan pintu. Reinald membuka kaca matanya dan menoleh ke arah pintu. Belum sempat pria itumenjawab untuk memberi izin pintu dibuka, pintu itu sudah terbuka dengan sendirinya. Reinald langsung saja berdiri melihat siapa yang saat ini berdiri di hadapannya. Andi—sahabat baik Reinald—datang mengunjunginya. “Andi, itu kamu?” Reinald langsung menghampiri dan memeluk Andi. Pria itu sangat bahagia dengan kedatangan sahabat baiknya yang kini sudah dipindah tugaskan ke Sumatera Barat. “Rei, apa kabar?” Andi membalas pelukan itu. “Kenapa tidak mengabariku kalau mau ke sini? Silahkan duduk.” “Buat apa, ha? Seperti kita ini orang lain saja. Oiya, bagaimana kabar Andhini dan yang lainnya? Aku benar-benar minta maaf karena tidak bisa datang ke pesta pernikahan Asri waktu itu. Namun aku sangat berkesan dengan pestanya dari vidio yang kamu kirimkan. Luar biasa.” “Tidak apa-apa, Andi. Kami pun memakluni atas ketidak datangan kamu dan keluarga pada pesta Asri. Bagaimana keadaan tante Ida?” “Alhamdulillah ... Ibu sudah keluar dari rumah sakit. Tapi maaf kalau Haniva tidak bisa ikut datang ke sini karena ibu masih butuh perhatian dan penjagaan di rumah. Sebenarnya ibu menyuruh Haniva untuk ikut, tapi aku melarangnya.” “Iya, tidak apa-apa, Andi. Aku juga sudah rindu dengan tante Ida dan om Ali. Sudah lama juga kami tidak berkunjung ke sana.” “Iya, Rei. Ayah dan ibu semakin hari kondisinya semakin melemah. Maklumlah sudah tua juga. Beruntung, ayah masih kuat pergi ke Masjid dengan berjalan kaki, walau kadang harus pakai tongkat. Tapi ibu sekarang harus pakai kursi roda.” Reinald mengangguk, “Nanti aku akan coba bicarakan dengan Andhini. Sekarang Asri dan Deden tengah ke Bali, aku memaksa ke duanya untuk berbulan madu walau awalnya mereka menolak. Selepas mereka kembali nanti, aku akan usahakan untuk berkunjung ke Padang.” “Jadi pengantin baru itu tidak di rumah? Ah, sayang sekali, padahal aku ingin bertemu dan mengucapkan selamat kepada mereka. Sekalian aku mau memberikan kado titipan dari Haniva.” “Tidak apa-apa. Bukankah ada Dimas di rumah? Oiya, berhubung karena kamu sudah datang, sebaiknya aku lipat lagi laptopnya dan kita pulang sekarang.” “Jangan, Rei. Nanti sore saja sebab aku tidak mau menganggu pekerjaanmu. Aku akan ke rumah nanti sekitar jam lima sore sebab aku mau pergi dulu sebentar, ada urusan.” “Benar nih?” Reinald menatap Andi karena merasa tidak yakin dengan sahabatnya itu. “Benar, Rei. Insyaa Allah nanti sekitar jam lima sore akan ke rumah. Aku mau pergi dulu, karena ada urusan yang harus aku selesaikan juga di sini.” Reinald mengangguk, “Baiklah. Jangan lupa nnati mampir ke rumah.” “Insyaa Allah ... Selamat bekerja, Sobat. Tidak menyangka jika kamu sudah punya dua orang cucu. Sementara aku? Anakku masih kecil, hehehe ....” Andi terkekeh ringan. “Salah kamu sendiri yang terlalu lama membujang.” “Tidak apa-apa telat, asal dapat yang di hati.” Reinald mengangguk seraya tersenyum. “Oke, aku pergi dulu. Nanti malam kita lanjutkan lagi obrolannya. Selamat bekerja.” “Hati-hati di jalan.” Reinald membuka’kan pintu ruangannya untuk Andi. Sebelum melangkahkan kaki meninggalkan ruang kerja Reinald, mereka pun berjabat tangan sejenak. Belum lepas rasa rindu itu, tapi apa boleh buat sebab Andi pun harus menyelesaikan urusannya. Reinald pun demikian, masih banyak dokumen yang harus di tanda tangani oleh suami Andhini itu. Setelah kepergian Andi, Reinald kembali menutup pintu. Pria itu menghela napas sejenak, lalu kembali berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen yang harus ia tanda tangani di atas mejanya. Reinald kembali mengenakan kaca mata dan mulai bekerja. Namun, belum jadi ia melanjutkan pekerjaannya, pria itu teringat akan wanita yang sangat ia cintai. Putri kodok yang selalu menyemangati hidupnya selama ini. Reinald kembali membuka kaca mata, lalu mulai meraih ponselnya. Ia ingin menghubungi Andhini sesaat. Memastikan kalau istrinya itu dalam keadaan baik-baik saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD