Bukan Seperti Saat Aku Jatuh Cinta Dulu.

1168 Words
Cukup lama ia tegak dalam diam dengan rasa penyesalan di hatinya yang teramat jelas tergambar. Berkali-kali ia menarik napas panjang lalu menghempaskannya dengan keras. Hingga akhirnya Kiral memiliki keberanian untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tidak lama terlihat bayangan seseorang mendekati pintu. Pintu terbuka dan di sana Nafia dengan penampilan kusut dan matanya yang tampak bengkak, berdiri dengan lesu seakan ia hidup dengan ruh kosong. “Assalamualaikum, Dek,” ucap Kiral berusaha menyembunyikan rasa sesalnya. “Waalaikumsallam,” sahut Nafia singkat. Setelah itu dia langsung beranjak menjauhi Kiral. “Fia, apa kamu sakit?” “—” “Fia, kamu masih marah, ya?” “—” Tetap tidak ada jawaban dari Nafia. Wanita yang sejatinya sangat mencintai Kiral itu kini tampak seakan mati rasa. Bahkan, baru kali ini Nafia sampai tidak menyiapkan apa-apa di meja makan. Biasanya meski ia dalam keadaan marah kepada Kiral. Tetap akan ada santapan untuk suaminya tersaji di tudung. Kiral yang membuka tudung saji dengan harapan dapat menyantap makanan terlezat buatan sang istri. Harus tertunduk lemah dengan embusan napas kepedihan. Bagaimana pun ia tentu tidak dapat berbuat apa-apa karena memang dialah dalang dari perubahan sang istri. Kiral menutup kembali rangkaian rotan yang berbentuk bundar dan dilapisi kain bordir berwarna putih itu dengan wajah lesu. Ia berjalan menuju kamar mereka dengan menahan rasa lapar diperutnya. Hal itu sungguh terlihat pada raut wajah Kiral yang meringis seraya memegang bagian perut. Sesampainya di ambang pintu. Terlihat Nafia tengah berbaring menatap kosong pada langit-langit kamar, sedangkan buah hati mereka tengah tertidur lelap di samping Nafia. “Fia ... apakah aku boleh berbicara?” tanya Kiral dengan nada yang lembut. “Aku tau kamu masih kesal. Tapi, aku benar-benar minta maaf, Fia dan aku janji akan menyelesaikan semua ini.” “Nafia, tolong respons aku. Jangan diamkan aku kayak gini. Aku bisa gila kalo kamu terus begini.” “Kenapa kamu tidak pergi aja sama dia. Kenapa harus tetap di sini? Apa kamu kasihan sama aku?” balas Nafia dengan suara yang terdengar sangat pilu. “Apa maksud kamu ngomong kayak gitu, Fia?” “Enggak usah pura-pura bego Kiral. Aku lihat semuanya kok, kenapa kamu usir dia? Harusnya kamu ketemuin aku sama dia. Jujur aku juga bisa emosi.” Seketika Kiral terdiam tanpa kata mendengar perkataan Nafia. Sepertinya Kiral tidak menyangka bahwa sang istri mengetahui pertemuan antara dia dan Perin beberapa saat yang lalu. Kiral tampak berusaha mengatur napasnya. Sebelum akhirnya ia “Iya, aku tahu aku salah sama kamu karena sudah ingkari janjiku sendiri. Tapi jujur saja aku ingin memperbaiki semuanya. Aku hancur kalau kamu tidak ada di kehidupanku.” Kira berusaha bersungguh-sungguh dengan kalimat yang ia ucapkan. Iya memang sudah apa yang ia lakukan. Tampaknya Cirebon yang benar sadar bahwa hanya Nafia yang bisa menerima dia apa adanya. Jurnal berusaha bersimpuh bisa bikin tempat tidur yang dijadikan istrinya sebagai tempat ber baring. Namun Nafia masih saja enggan untuk bergeming. Sepanjang perjalanan pernikahan keduanya baru kali inilah Nafia benar-benar terlihat hancur. Ditambah lagi Iya baru saja menyaksikan suami bertemu dengan selingkuhannya di depan kediaman mereka. Hati wanita mana yang tak akan hancur. Harus menyaksikan pria yang selalu dinantikannya untuk berbagi kasih. Malah berjumpa dengan wanita lain yang jelas-jelas ingin menghancurkan hubungan mereka. “Andai aja aku bisa memutar waktu. Mungkin sekarang aku enggak akan kayak gini,” umpat Nafia dengan jelas didepan Kiral. “Kamu tahu Ki. Aku rela menjauhi semua laki-laki hanya untuk bersama denganmu karena ku yakin kamu bisa menjadi sosok imam dan yang baik IQ untuk aku dan keturunan kita.” “Sayangnya perasaan itu sepertinya cuman aku yang ngerasain Ki.” Kiral tertunduk diam ia sadar bahwa kelakuannya selama ini sangat buruk. Sementara itu perin malah langsung menuju sebuah kafe dengan wajah sumringah. Iya tampak tidak begitu fokus menyetir karena iya ya sesekali melihat keakraban selnya seperti sedang menunggu panggilan dari seseorang. Tidak lama dari itu benar saja telepon genggam milik Perin berbunyi. Dan ternyata yang menelepon adalah Faruk. “Kenapa kayaknya seneng banget,” ujar Faruk di balik sambungan telepon. “Iya gua lagi bahagia banget nih, Far. Temani gua, yak,” balas Perin seraya menyetir dengan senyum-senyum. “Oke. Kita ketemu di tempat biasa.” “Oke, ba—” kalimat Perin pun terputus karena Faruk langsung menyelanya. “Ini ada hubungannya sama mereka bedua gak? “Pastilah!” “Okeh. Gua langsung otw!” Tut! Tut! Tut! Panggilan tersebut pun berakhir. Perin malah terlihat sangat bersemangat. Sampai-sampai dia bernyanyi kencang di dalam mobil. Sepertinya Perin benar-benar merasa di atas awang. Tampak jelas dia yakin Kiral akan mempertahankannya. Perin sangat yakin Kiral akan meninggalkan Nafia demi dia. Tidak lama dia sampai pada cafe yang sudah ditentukan. Perin turun dari mobilnya dan langsung mencoba menghubungi Faruk. “Gua udah sampai ini, elu ada di mana?” tanya Perin saat Faruk menerima panggilan miliknya. “Gua ada di lantai dua. Berhubung di sini sepi. Jadi kita bisa bahas rencana dengan serius,” sahut Faruk yang tampak sangat yakin dengan keputusannya. “Oke.” Perin pun langsung berjalan menuju tempat yang disebutkan Faruk padanya. Setelah keduanya benar-benar bertatap wajah. Perin langsung menyerobot minuman milik Faruk. Pria yang sudah sangat paham akan kebiasaan Perin. “Kebiasaan banget ‘sih lu kek gini, Pe,” ujar Faruk seraya menggelengkan kepalanya. “Aelah. Selo ‘sih Lu. Timbang minum doang,” sahut Perin masih menikmati minuman kekasihnya. “Timbang minum doang lu bilang. Kalo gua misalnya kena penyakit menular gimana?” “Apa ‘sih lu, Far! Gua juga gak akan mau asal comot! ” “Hehe, bercanda kali, Non.” “Bercanda lu gak asik!” “Ya udah. Lu kenapa mau ketemu gua? ” Perin tampak terpancing emosi. Hingga dia sedikit terbawa suasana ketika diajak bercanda. Keduanya melanjutkan untuk memesan makanan untuk Perin. Orang lain yang melihat mereka pasti akan mengira keduanya sepasang kekasih. Meski kebenarannya adalah Perin dan Faruk hanya teman biasa. Tidak lama menunggu pesanan mereka pun sudah jadi. Perin tampak menyantap makanan tersebut dengan lahap. Wajahnya pun terlihat sangat semringah. Seakan ia sangat menikmati semua yang telah terjadi. Hubungannya dengan Kiral yang teramat rumit dijadikan kisah indah olehnya. “Lu punya rencana ?” tanya Faruk tampak sangat penasaran. “Santai kali Far. Gak usah buru-buru juga,” sahut Perin dengan senyuman manisnya. “Gua sudah enggak sabar mau milikin Nafia. Dia itu gadis incaran Gua dari dulu.” “Iya Gua paham. Lu kira gua enggak mau hidup bareng Kiral? Gua punya rasa yang lebih besar dari lu Far.” “Gua nyesal dulu enggak gerak cepat pas mau dapetin dia.” “Gua lebih sebel lagi kenapa baru kenal Kiral sekarang.” “Iya lu bener Pe.” “Lu punya rencana untuk mereka?” tanya Faruk kepada Ferin yang tampak sangat menikmati makanannya. “ Lu tenang aja Gua udah siapin semuanya Gua yakin rencana ini pasti akan berhasil,” ungkap Perin dengan penuh percaya diri. Untuk seorang Perin. Mendapatkan sesuatu yang merupakan milik orang lain adalah sebuah keberhasilan. Meski ia tahu hal itu justru akan melukai ba,nyak orang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD