Warna-warni

1194 Words
“Hai, Fia. Aku bentar lagi otw ke rumah kalian ya,” isi pesan singkat yang akan dikirim Faruk untuk Nafia. “Ya Tuhan aku ingin membawakannya bunga karena aku tahu dia sangat menyukai bunga mawar. Tapi kalau aku bawakan sekarang, Kiral akan curiga.” “Ya Tuhan aku berharap hubungan mereka segera berakhir agar aku bisa meminang Nafia secepatnya.” “Eh, ngapain ‘sih orang ini datang kemari?” keluh Nafia melihat pesan dari Faruk. “Harus bales apa nih? Bangkit lagi enggak di rumah lagi aku terima tamu yang bukan mahramku.” “Ah. Aku jujur aja lagian itu kan bisa dititip sama bang Kiki enggak ada hal yang penting juga.” Di saat hatinya sudah benar-benar hancur dan remuk. Namun ia masih tetap memikirkan perasaan dan kehormatan suaminya. Itulah yang membuat Nafia selalu terlihat spesial di mana pun ia berada. Ketika ia sudah mencintai sesuatu terlebih seseorang maka ini akan sangat menjunjung tinggi kehormatan belum juga norma dari orang tersebut. Novel tahu betul keharusan ia sebagai seorang istri dalam agamanya. Dia juga tahu batasan-batasan yang tidak boleh dilewati ketika iya sudah menjadi milik seorang lelaki. Kiral sebenarnya tahu betul bahwa Ia melakukan kesalahan besar karena sudah menghancurkan hati dari wanita yang paling berharga. Maka dari itu ia ingin memperbaiki semuanya. Kiral tampak melamun meski dalam keadaan sedang mengendarai motor. Hingga tanpa sadar kendaraan di depannya berhenti begitu saja. Kiral tidak mampu menguasai keseimbangannya dan akhirnya ia membanting setir ke kiri. Brak! Kira bersama motornya terjatuh ke dalam selokan tepi jalan. Orang-orang yang berada ada di jalan pun langsung menghentikan kendaraan mereka untuk membantu Kiral. Begitu pula orang pemilik mobil yang menyadari bahwa kelakuannya membahayakan seseorang. Kiral meringis menahan perih di bagian kakinya. Begini keadaannya tidak begitu parah namun punya mobil tetap bersikeras untuk membawanya ke rumah sakit sebagai bentuk dari tanggung jawabnya. Baru saja Nafia akan membalas pesan untuk Faruk. Tiba-tiba ada panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Untuk sejenak Nafia terlihat menimbang akan menerima panggilan tersebut atau menolaknya. Namun pada akhirnya ia tetap menerima panggilan tersebut. “Halo,” sapa Nafia. “Halo selamat pagi, apa benar ini dengan Ibu Nafia, istri dari bapak Kiral Umay Uner?” tanya seseorang dari sambungan telepon tersebut. “Iya benar dengan saya sendiri. Maaf ini dari mana, ya?” Nafia mengerutkan dahinya. “Maaf Bu. Saya Bapak Handoko orang yang sudah menabrak suami ibu. Tapi, Ibu jangan panik suami ibu sudah saya bawa ke rumah sakit dan saat ini kami berada di rumah sakit. Apakah bisa Ibu bisa datang ke rumah sakit untuk melihat kondisi suami ibu?” “Apa! Suami saya kecelakaan, tolong kirimkan alamat rumah sakitnya segera pak saya akan ke sana.” “Baik Bu, saya akan segera mengirimkan alamat rumah sakit kepada Ibu.” “Baik Pak Handoko. Terima kasih kalau begitu saya mau siap-siap dulu sebentar lagi saya akan menuju ke sana.” “Baik Bu.” Setelah menutup panggilan telepon tersebut Nafia langsung terduduk lemas di lantai. “Ya Allah kenapa sih bang. Ya Allah maafin aku ini semua pasti karena aku dia jadi enggak fokus. Semoga aja kondisinya enggak parah,” gumamnya menyalahkan diri sendiri. Tanpa pikir panjang Nafia langsung menyiapkan segala keperluan untuk dibawa ke rumah sakit. Ia juga langsung memandikan sang buah hati dan bersiap untuk dirinya sendiri. Ketika Nafia tengah menutup pintu rumah dan akan segera bergegas mencari angkutan untuk menuju rumah sakit. Tiba-tiba saat itu juga Faruk muncul dengan mobilnya. Nafia terlihat bingung harus bersikap lega atau justru khawatir. Bagaimanapun dengan kedatangan Faruk ia bisa menumpang dan tidak perlu menunggu angkutan umum lagi. Akan tetapi disisi lain ia belum mengambil izin dari suaminya untuk menaiki kendaraan pria lain. Perut terlihat panik dan langsung turun dari mobilnya ketika melihat Nafia dengan barang-barang dan juga anaknya berdiri di hadapan pintu rumah mereka. “Fia kamu mau ke mana? Kenapa bawa barang-barang kayak gini?” tanya Faruk terlihat sangat khawatir. “Eh, A—nu, Bang. Aku mau ke rumah sakit,” sahut Nafia terlihat gugup. “Rumah sakit? Siapa yang sakit?” “Itu tadi ada yang telepon bilangnya Bang Kiral kecelakaan.” “Apa! Yang bener kamu, Fia?” “Iya Bang.” “Oke kalau gitu aku antar kalian ke sana, ya.” Mendengar perkataan Faruk, Nafia terlihat bimbang memikirkannya. Iya bisa saja menolak tawaran dari Faruk. Namun bukannya dia harus secepatnya sampai di rumah sakit. Nafia terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan suaminya. Bagaimanapun kondisi mereka sekarang ia tetaplah lelaki yang paling berharga bagi Nafia. Faruk menanti jawaban dari Nafia dengan waswas. Seakan ia takut wanita yang berada di hadapannya saat ini akan menolak tawarannya. Bukan tanpa alasan akan tetapi jelas masih ingat bagaimana dulu Nafia sering kali menolak tawaran dari Faruk. Meski berulang kali Faruk mencoba berbagai hal untuk mendekati Nafia. Namun wanita itu tetap kokoh dengan pendiriannya. “Fia, gimana mau kan pergi sama aku? Daripada kamu harus menunggu angkutan umum lagi dan itu pasti membutuhkan waktu. Mending kamu aku antar aja,” bujuk Faruk kembali meyakinkan Nafia untuk pergi bersamanya. Wajah dari Nafia masih memperlihatkan kebimbangan. Namun setelah menimbang beberapa waktu itu pada akhirnya ia pun mengiyakan. Faruk dengan cekatan langsung membawa kemudian memasukkan barang-barang Nafia ke dalam bagasi mobilnya. Setelah itu dengan cepat ia langsung membukakan pintu mobil bagian depan. Yaitu tu kursi di sebelah pengemudi. “Aku bukan sopir lo ya. Aku juga bukan taksi online jadi kamu enggak boleh duduk di belakang,” ujar Faruk badan Nafia sambil tersenyum. “Apaan ‘sih Bang,” kisah Nafia sambil membalas senyuman dari Faruk. Di tengah perjalanan sesekali dengan jelas Faruk mencuri-curi pandang menatap wajah Nafia yang terlihat cemas. “Sudah enggak usah dipikiri. Aku yakin kok Kiral enggak kenapa-kenapa,” ungkap Faruk mencoba menenangkan pikiran Nafia. “Aku cuman khawatir Bang. Banyak hal yang kini ada dalam kepalaku,” balas Nafia seraya menatap Faruk. “Sudah, Fia. Kamu jangan banyak pikiran. Nanti kalau kamu sakit gimana anak kamu, Kiral juga pasti butuh kamu. Jadi kamu enggak boleh kenapa-kenapa.” “Iya Bang.” Nafia tertunduk lesu seraya memeluk erat sang buah hati. Perlu memperhatikan hal tersebut seraya tersenyum tipis. Sepertinya ia membayangkan menggantikan posisi Kiral dalam kehidupan Nafia. Wanita manis yang saat ini duduk di sampingnya terlihat begitu penuh cinta. Fariz sendiri mungkin tak akan tega melukai hati wanita tersebut, akan tetapi tanpa sadar ia juga orang yang sudah membuat Nafia menderita. Akal bulusnya untuk memiliki Nafia terbilang cukup jahat. Iya rela melihat wanita pujaannya tersiksa dan menderita hanya demi mencapai keinginannya untuk memiliki sosok wanita tersebut, meski ia tahu Nafia dan juga Kiral saling mencintai. Hubungan mereka sejak dulu memang terbilang rumit. Sudah lama mereka pun sampai di rumah sakit yang dituju. Nafia langsung menuju ke bagian IGD di mana Kiral masih berada di sana. Namun bertepatan dengan kedatangan Nafia. Kiral baru saja akan dipindahkan ke ruangan lain. Dikarenakan kondisinya tidak begitu parah dan dia hanya disarankan jalan rawat inap selama beberapa hari ke depan. Nafia langsung menghampiri dan membuatnya terlihat begitu khawatir dan mencemaskan keadaan suaminya. “Kamu kenapa begini Bang. Aku kan sudah berapa kali bilang kalo lagi naik motor enggak boleh ngelamun,” Nafia langsung mengomeli suaminya yang selalu saja mengindahkan saran darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD