Chapter 2

1009 Words
Ayah sibuk dengan ponselnya sembari tersenyam-senyum, dapat kutebak dirinya kemungkinan saling mengirim pesan dengan calon mama baru atau tiri, segala upaya harus aku lakukan untuk membatalkan niatan mereka. Namun, menggunakan cara apa? Apakah aku harus mempermalukan ayah? Akan tetapi ... aku takut kalau ayah sampai marah atau kecewa karena putrinya menghancurkan harga diri di hadapan janda itu. "Nak, nanti malam siap-siap, kita bakalan ke rumah calon mama tiri kamu, ingat ... jangan sampai membuat Ayah malu yah," pinta Ayah, sorotan matanya pun memancarkan kebahagiaan, membuatku berpikiran ulang untuk melakukan hal bodoh di hadapan calon istrinya, akan tetapi aku juga tidak ingin jika ayah menikah lagi. "Iyah, Ayah, tapi tergantung dari calon mamah juga nantinya, kalau bagus Aristela bakalan nerima, kalau agak kegatelan, maaf, Aristela bakalan nunjukkin sifat malu-maluin secara alamiah," balasku dan Ayah berdecak sebal. "Awas!" "Iyah, Ayah." Pikiranku pun bergelut di malam hari, serta diriku pun telah bersiap-siap untuk menuju rumah calon mamahku itu, bagaimana dengan sifatnya? Bagaimana pula dengan anak-anaknya nanti yang akan menjadi saudaraku. Tiba-tiba, ketukan di balik pintu kamar terdengar, dan suara ayah mulai menyahut, "Aristela, kamu udah siap? Soalnya kita udah mau berangkat nih." "Iyah, Ayah. Aristela udah siap, tunggu sebentar," balasku, kemudian menghirup udara sedalam mungkin lalu mengembuskannya secara perlahan, semoga calon ayah baik dan seperti ibu kandungku yang telah meninggal pada dua tahun yang lalu. Aku mulai melangkah, membuka pintu dan kini berhadapan dengan ayah yang begitu tampan dan memesona, membuatki makin tak rela jika calon istrinya nanti bagaikan wanita haus hanya akan harta ayah saja. Ngomong-ngomong, ayahku memiliki usaha cafe menengah, tidak terlalu besar tapi penghasilannya lumayanlah untuk menghidupiku serta membayar uang kuliahku yang agak mahal. Bukan hanya usaha cafe, tetapi usaha bunga dari almarhum mamahku pun ayah yang mengurusnya, walau terkadang diserahkan kepadaku untuk menggantikannya sebentar kalau ayah sedang sibuk. Selain itu, ayah juga seorang PNS lebih tepatnya kepala sekolah di salah satu sekolah menengah atas, jika dipikir-pikir, sesibuk apa sih ayahku? Jelas sangat sibuk, kadang manajemen waktunya pun sampai keteteran dan membuatnya selalu pusing, untunglah aku selalu membantunya walau ayah pun selalu melarangku. Namun, sebagai anak, jika melihat ayahnya terlalu lelah, apakah dia tega? Tidak, aku takkan membiarkan hal itu terjadi, karena aku sangat menyayangi ayah, melihatnya saja sakit aku pasti selalu menangis karena takut kehilangannya, maka dari itu ... aku agak posesif ke ayah dan selalu menanyakan ke mana dia akan pergi pada waktu di luar pekerjaannya. Sekarang, kami pun berangkat ke rumah calon istri ayah. Di perjalanan ayah terlihat tidak sabaran sekali, sampai membuatku semakin penasaran, sewah apa sih wanita yang berstatus janda itu? Aku sedikit bersyukur jika dia janda, karena kalau gadis, pasti aku meradang, mengingat gadis-gadis jaman now itu memilih sugar daddy kebanyakan karena hanya ingin memanfaatkan harta atau memiliki tujuan tertentu. "Kita sudah sampai." Ucapannya ayah menyadarkanku dari lamunan yang terlalu mengarah negatif ke calon ibu tiri, ditambah lagi pikiran itu langsung sirna saat suatu pemandangan menggantikan segalanya, di mana rumah yang disinggahi begitu megah dan besar. Perlahan pikiran burukku pun berkurang terutama pada janda itu yang berkemungkinan menikahi ayahku karena hanya ingin mengeruk hartanya. Namun, dengan rumah yang megah itu sudah membuktikan bahwa diriku salah prasangka. Selanjutnya, batinku bertanya-tanya, apakah janda ini lebih kaya dari ayah? Entahlah, karena sekarang aku hanya mengikuti langkah ayah dari belakang. "Oh, Bapak Adibal Keswara, yah?" Ayah mengangguk dan menunjukkan senyum ramahnya kepada seorang laki-laki yang mengenakan baju kaos serta celana training. "Silakan masuk, Pak. Saya akan panggilkan Ibu Cahyani," lanjut bapak-bapak tersebut memersilakan kami untuk masuk, sementara dia sedang mencari seorang wanita yang bernama Cahyani dan kemungkinan dialah calon ibu tiriku. "Nak, jangan malu-maluin Ayah, yah." "Siap, Ayah. Kalau gini mah enggak bakalan malu-maluin, he he." Niat yang telah kupersiapkan pun perlahan memudar tapi tidak hilang sepenuhnya, karena aku akan terus mengawasi Ibu Cahyani itu yang sekarang sudah berjalan ke arah kami dengan senyumnya yang tipis. "Akhirnya kamu mau datang juga, Adibal, padahal ... udah berapa kali aku undang kamu selalu ngebatalin, loh." "Aku kan sudah bilang kalau semuanya tergantung sama kesempatannya putriku Aristela, jadi baru malam ini sempatnya," balas Ayah yang nampak canggung sekali, padahal sewaktu berbalas pesan begitu terlihat bahagia. Apakah waktu perkenalan mereka baru beberapa bulan ini? "Aristela, yang di samping kamu, bukan?" Namaku disebut dan otomatis aku tersenyum lalu menyapanya, "Halo, Tante." "Aduh, cantik banget, loh." Tante Cahyani menghampiriku dan menyubit pipiku dengan gemas, aku merasa agak aneh lantaran umurku sudah 20 tahun tapi diperlakukan seperti ini, akan tetapi ... aku kembali mengingat ucapan ayah untuk tidak mempermalukannya, maka dari itu aku masih bisa menahan diri untuk tidak menghancurkan moment ini. "Salam kenal Tante, saya Aristela." "Nama Tante Cahyani, kamu tunggu sebentar yah, Tante mau manggil mereka dulu," balasnya dan aku mengernyit karena tidak tahu siapa mereka itu. Beberapa detik kemudian, sebelum Tante Cahyani pergi, aku merasa kebelet untuk buang air kecil, segera aku menyahut, "Tante, maaf. Kamar mandinya di mana yah? Saya mau pipis, he he." "Owalah, mau pipis toh, Pak Raden, Pak Raden," panggil Bu Cahyani, dan pria yang menyambut kedatangan kami tadi segera datang dan membalas, "Iyah Nyonya, ada apa?" "Kamu antar dia ke kamar mandi yah, sekalian panggilin anak-anak juga, mumpung lagi lengkap dan momentnya pas sekali untuk membicarakan sesuatu yang serius," jawab Tante Cahyani, dan Pak Raden pun mengangguk lalu menuntunku ke toilet. Sampai di tujuan, tak lupa diriku berterima kasih kepada bapak-bapak tersebut lalu dengan cepat diriku masuk ke kamar mandi. Rasanya amat lega setelah mengeluarkan sesuatu yang begitu meresahkan, jika aku pipis berdiri di sana, rasa malu pasti tak terbayangkan. Saat menuju tempat semula, aku mendengar suara seseorang bernyanyi dan suaranya itu sangat bagus, karena penasaran, aku mencoba mengintip dan karena situasinya mendukung yang berupa pintu sedikit terbuka, tentu aku memanfaatkannya dengan baik serta dengan langkah yang pelan agar si laki-laki itu tidak sadar kalau ada bidadari cantik yang mendengar suaranya. Suaranya semakin jelas, bahkan bentuk tubuhnya pun juga tak kalah jelas, dan ... astaga, ganteng sekali! Mataku langsung cerah begitu saja ketika disuguhkan pemandangan yang luar biasa indahnya. "Hei, kamu lagi ngapain di sana?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD