“Sorry, aku baru bisa nemui kamu,” ucap Arif memasang senyum ketika duduk di hadapan Nila. “Sidang hari ini agak molor, jadi ada jadwal yang harus di reschedule dan padat merayap.”
“Nggak masalah.” Nila tersenyum kecil pada pria itu.
“Tapi, bukannya kamu libur, Yang?” tanya Arif sembari mengedarkan pandangan pada area lobi kantor Nila. Suasananya masih saja ramai, kendati jam normal operasional kerja sudah berakhir dua jam yang lalu.
Namun, hal seperti itu tentunya tidak berlaku di perusahaan Nila, karena industri media memang tidak pernah benar-benar tidur.
“Tadinya.” Nila mengangkat satu bahunya sekilas. Kemudian, ia menghela panjang tanpa ingin menjelaskan perihal pekerjaannya hari ini. “Aku mau bicara serius.”
“Di sini?” tanya Arif kembali melihat ke sekeliling area lobi sejenak. “Kita bisa ke kafe sebelah at—”
“Aku ketemu tante Deswita tadi pagi,” sela Nila lalu menarik napas dalam-dalam. Jantungnya mulai berdebar-debar tidak nyaman, karena mengingat pertemuannya dengan Deswita pagi ini. “Bundamu, minta aku jauhin kamu.”
Arif melepas tawa singkat. Berusaha untuk tidak menganggap serius ucapan Nila. “Nggak mungkin.”
“Pulang dan tanyakan sendiri sama bundamu,” ucap Nila berusaha tenang dan mengatur emosinya sekalem mungkin. Meskipun, dadanya sudah bergejolak tidak karuan dan ingin meluapkan semuanya di pelukan pria itu.
“Sayang.” Arif menggeleng kuat. “Begini, akhir tahun ini, aku punya niat ngelamar kamu dan bunda sudah setuju.”
Nila pun ikut menggeleng. Debaran jantungnya semakin terasa nyata ketika mendengar Arif memiliki rencana untuk melamarnya bulan depan. Namun, semua mimpi itu tidak akan lagi bisa terwujud, karena tembok di antara mereka terlalu kokoh.
“Pulang, dan tanyakan sendiri sama bundamu kalau kamu nggak percaya,” ulangnya penuh penekanan. “Karena itu, aku mau kita selesai sampai di sini.”
Arif menelan ludah. Perkataan yang hendak ia lontarkan tercekat di ujung lidah. Jika melihat ekspresi Nila dan tatapannya yang berat, gadis itu memang tidak sedang bercanda. Deswita memang meminta Nila untuk mengakhiri hubungan mereka.
“Mas—”
“Dan kamu menyerah?” sela Arif cepat. Setelah ini, ia akan segera pulang dan mengkonfrontasi bundanya.
“Demi kebaikanmu.” Nila mengangguk. “Bundamu bilang, aku anak haram dan nggak level kalau harus jadi menantu keluarga Adiningrat.”
Arif reflek mengumpat detik itu juga. Wajar jika Nila sakit hati karena perkataan Deswita sudah melewati batas.
Sebenarnya, Arif sendiri tidak pernah mempermasalahkan asal usul Nila. Gadis itu sudah jujur sedari awal ketika Arif sedang gencar-gencarnya mendekati Nila. Yang haram adalah perbuatan orang tuanya, sementara Nila tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan tersebut.
“Sayang—”
“Nggak akan ada nama ayahku di undangan.” Nila tersenyum pahit lalu menunduk sambil meremas kedua tangan yang saling tertaut di atas meja. Seharian ini, ia sudah berusaha menekan semua kesedihannya rapat-rapat. Kembali ke kantor di hari libur dan menyibukkan diri dengan apa pun yang bisa dilakukan. “Dan waktu ijab kabul, tamu-tamu yang hadir pasti ... kamu dan keluargamu pasti jadi bahan gosip karena menikah dengan perempuan sepertiku.”
“Aku nggak peduli,” sanggah Arif tetap pada keyakinannya. “Ak—”
“Tapi aku peduli,” sanggah Nila menoleh cepat pada Arif. “Jadi, kita sudahi semuanya sampai di sini.”
“Mana bisa begitu.”
“Bisa.” Nila menahan napas. Mulai berdiri dan bersiap pergi meskipun semua pembicaraan mereka mungkin belum tuntas sepenuhnya. “Kita selesai dan jangan lagi temui aku.”
Arif beranjak cepat dan mencekal pergelangan tangan Nila. “Aku tahu kamu syok dengan omongan bundaku, jadi—”
“Nila! Ikut saya.”
Arif melepaskan genggaman tangannya dengan perlahan, saat seorang pria berhenti dan berdiri dengan jarak sekitar satu meter dari mereka.
“Baik, Pak.” Nila menggeleng pelan pada Arif. Menatap pria itu dengan sendu, sebelum akhirnya berpaling dan bergegas menghampiri kepala divisi produksi yang baru saja memanggilnya.
“Ini kantor, Rif. Bukan tempat untuk pacaran.”
Arif mengangguk dan tersenyum canggung. Ia segan dan tidak akan membantah, karena pria tersebut adalah sahabat ayahnya sekaligus atasan Nila. “Maaf, Pak Hamid.”
Hamid mengangguk lalu berbalik pergi meninggalkan Arif tanpa berucap apa pun. Berjalan cepat menuju lorong di samping meja resepsionis, lalu berhenti sebelum mencapai pintu kaca yang berada di ujung, bertolak pinggang menatap Nila.
“Bapak salah paham.” Nila segera meluruskan sebuah kesalahpahaman yang telah dilihat pria itu. “Saya sama mas—”
“Djiwa nelpon saya.” Hamid kemudian bersedekap. Menatap tanya dan tidak lagi meneruskan ucapannya karena menunggu penjelasan dari Nila.
“Pak Djiwa?” Nila mengusap tengkuknya sejenak. “Tapi saya baru bicara sama Nena, Pak, bukan pak Djiwa”
“Dan Nena langsung bicara tentang keinginanmu itu dengan Djiwa.”
“Itu di luar kendali saya.”
“Dan dia setuju.”
“What?” Nila yang sempat tersenyum dalam keterkejutannya, segera melipat bibir. “Jadi, pak Djiwa setuju?”
“Seharusnya kamu bicarakan ini dengan saya lebih dulu.” Hamid menggeleng pelan lalu menghela. “Kamu sudah jadi reporter selama tiga tahun. Memutuskan mundur dan jadi sekred itu keputusan yang ... bodoh.”
“Pak—”
“Kamu reporter yang luar biasa dan nggak ada jenjang karir ketika kamu memutuskan untuk jadi sekred,” putus Hamid memberi pandangan baru pada Nila. Gadis itu berniat mundur dari profesinya dan beralih menggantikan posisi yang akan ditinggalkan oleh Nena. “Tapi di sini, kamu bisa jadi PA, Produser, dan nggak menutup kemungkinan kamu bisa ada di posisi saya suatu saat nanti.”
“Saya.” Nila menarik napas panjang terlebih dahulu. Ia sudah memikirkan hal ini dengan cermat meskipun dalam waktu singkat. “Saya butuh rutinitas yang stabil, Pak. Dan selama tiga tahun ini—”
“Apa ini karena Arif?” sela Hamid sembari menunjuk ke arah lobi.
Nila menggeleng. “Saya sama mas Arif sudah selesai.”
Hamid tidak jadi berkomentar tentang kehidupan pribadi Nila, setelah mendengar jawaban gadis itu. Ia reflek mengangkat kedua tangan dan menggeleng. Menunjukkan ia tidak ingin lagi ikut campur dalam hal tersebut.
“Intinya, saya keberatan kalau kamu jadi sekred.” Hamid berdecak ketika ponsel di saku celananya berdering. Ia segera mengeluarkannya lalu menatap kesal pada Nila. “Dan orang yang sedang kita bicarakan nelpon. Djiwa!”
~~~~~
PA: Production Assistant
Sekred: Sekretaris Redaksi