“Dengarkan perintahku Dea. Ini demi keselamatanmu, jangan membuatku marah,” tegas Aiden. Wajah lelaki itu terlihat sangar karena menahan amarah pada istrinya.
“Aku juga memiliki keperluan penting di luar, kamu tidak bisa seenaknya memerintahku seperti ini Aiden. Ingat isi perjanjian kita,” tutur Dea. Perempuan ini tak mau diatur oleh siapa pun, meski pun itu adalah suaminya sendiri.
Aiden hanya menghembuskan napas dengan kasar. Dea benar-benar keras kepala. Padahal Aiden melakukan hal ini demi menjaga keselamatan putri Wijaya, tapi Dea tak bisa diatur.
“Terserah kamu, jika terkena masalah tanggung sendiri,” ucap Aiden yang segera berdiri meninggalkan ruang makan.
Setelah Dea menyelesaikan sarapannya hingga tandas. Ia kembali ke kamar dan membersihkan tubuhnya.
Ketika akan merias wajahnya, lagi-lagi ponselnya berdering. Nama Ayahnya tertera di sana.
‘Apa ayah sudah merindukan aku?’ batin perempuan itu. Senyum manis tercetak di wajahnya.
“Hallo?” sapa Dea.
“Hallo Sayang,” jawab Wijaya dengan semangat. “Bagaimana kabarmu?” tanya lelaki itu pada putrinya.
“Baik Yah. Ada apa menelpon? Kagen Dea ya?” goda Dea dengan mata berbinar. Mereka baru berpisah satu hari, tapi ayahnya sudah menghubunginya lebih dahulu.
“Tidak, ayah akan memberimu tugas Sayang. Tolong kunjungi seseorang yang ada di dalam alamat ini. Ayah sudah mengirimkannya di ponselmu,” perintah Wijaya. Dea memanyunkan bibirnya, ada rasa kecewa dalam hatinya. Baru juga bersantai, dia langsung diberi tugas oleh ayahnya.
“Huft, aku masih capek Yah,” keluh wanita itu tak berdaya.
“Hahaha... apa kamu dan Aiden sudah melakukannya?” kode Wijaya yang tergelak mendengar penuturan putrinya.
“Tidak! Ayah jangan bicara sembarangan!” kesal Dea.
“Hahaha... Itu tidak masalah Sayang. Akan lebih baik kalau ayah bisa menggendong cucu pertama dengan cepat,” kekeh pria itu di seberang telepon.
“Apa hanya itu saja tugasku?” tanya Dea menyudahi pembicaraan ini.
“Ya, hanya itu saja. Cepat kunjungi dia. Itu teman lama ayah, dia akan akan membantumu ketika mendapat kesulitan di Solo. Ayah tidak bisa melindungimu secara langsung karena kita beda wilayah,” ujar Wijaya.
“Iya, kalau begitu aku matikan teleponnya ya,” izin Dea. Perempuan itu ingin menyelesaikan tugas secepat mungkin agar ia bisa bersantai dengan bebas.
“Iya, jaga dirimu baik-baik. Ayah sayang kamu,” tukas Wijaya.
Sambungan telepon pun terputus, kini Dea melanjutkan riasan wajahnya yang sempat tertunda karena mendapatkan telepon dari ayahnya.
Ketika semua dirasa rapi, perempuan itu bergegas pergi ke lantai satu menemui Bik Asih.
“Bik Asih!” panggil Dea. Wanita paruh baya itu langsung menghampiri majikannya.
“Iya Nyonya? Ada yang perlu saya bantu?” tanya Kepala pelayan itu.
“Tidak, aku akan pergi keluar.” Dea langsung berjalan menuju parkiran mobil milik Aiden, dengan sigap Bik Asih mengikutinya dari belakang. Ada banyak model yang bisa ia pilih.
“Apakah semua mobil ini bisa aku pakai?” tanya Dea.
“Bisa Nyonya.” Suara bariton itu sontak membuat Dea menoleh, ia hanya tau jika ada Bik Asih di belakangnya. Ternyata lelaki bertubuh tegap yang terlihat lebih muda darinya sedang menatapnya dengan ramah.
Dea mengerutkan dahinya melihat lelaki itu.
“Siapa kamu?” tanya Dea penasaran.
“Perkenalkan, saya Toni. Supir pribadi Nyonya Dea,” terang lelaki itu.
“Apa kamu disuruh Aiden?” tanya Dea sekali lagi.
Toni melangkah mendekat, lalu berbisik.
“Saya memang direkrut Pak Aiden, tapi ini tugas dari Pak Wijaya,” jelas Toni pelan, ia tak ingin orang lain mendengarnya.
Wanita itu paham dan hanya menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, aku ingin naik mobil itu.” Dea menunjuk mobil berbody compact berwarna hitam yang kelihatan usang di pojok parkiran.
“Apa Anda yakin Nyonya?” tanya Toni heran. Di parkiran ini ada banyak mobil keren yang bisa mereka pakai. Namun perempuan itu justru memilih mobil yang terkesan murah dan dekil.
“Ya, ayo cepat!” perintah Dea dan berjalan menuju mobil yang ia inginkan. Toni langsung berlari mendahului Dea untuk membukakan pintu. Jaraknya cukup jauh dari tempat mereka berbincang barusan, sehingga masih ada waktu untuk mencari kunci mobil itu.
“Silakan Nyonya,” ucap Toni ramah dan mempersilakan perempuan itu masuk.
“Tolong berikan kode QR ponselmu, aku akan mengirim lokasi yang ingin kukunjungi,” pinta Dea.
Toni memberikan kode QR tersebut, Dea langsung menyecan dan mengirim lokasi.
“Cepat berangkat,” perintah perempuan itu. Toni dengan cepat melajukan mobil ke jalanan.
Kondisi jalanan sedang sepi, sehingga mereka sampai ke tempat tujuan lebih cepat.
Terlihat rumah lapuk di sana, tetapi memiliki pekarangan yang sangat luas dengan gerbang yang sudah rusak satu sisi. Mobil yang ditumpangi Dea dan Tino masuk ke dalam pekarangan tersebut. Tak ada siapa pun, Dea memperhatikan sekitar.
“Saya turun sebentar Nyonya,” pamit Toni yang langsung turun dari mobil.
Lelaki itu menyelidiki setiap sudut pekarangan. Cukup lama Toni berkeliling di area rumah itu.
Dea yang tak sabar akhirnya ia memilih untuk ikut turun dari mengetuk pintu.
Tok... tok... tok...
“Permisi! Apakah ada orang?” teriak Dea. Toni berjaga di belakang Nyonyanya dengan waspada.
Tak ada sahutan, kedua orang itu menunggu sedikit lebih lama. Mereka mengharapkan ada sahutan seseorang yang ada di dalam rumah ini.
Karena tak ada sahutan apa pun setelah ketukan ketiga kalinya. Akhirnya Dea mendorong pelan pintu yang sebelumnya memang sedikit terbuka.
Dag... dig... dug... dadanya berdetak tak karuan. Takut ada hal yang tidak diinginkan akan terjadi.
Mata perempuan itu menyipit menjelajahi ruangan sekitar. Namun seketika melebar ketika menemukan pria tua tergeletak di lantai.
“Ya Tuhan! Apakah Anda baik-baik saja Pak?” tanya perempuan itu panik.
“Ton! Cepat bawa ke rumah sakit!” teriak Dea. Dengan sigap lelaki itu menjalankan perintah majikannya. Keduanya membopong pria tua tersebut ke dalam mobil. Dengan cepat Toni melajukan mobil itu ke rumah sakit.
“Bertahanlah Pak, kita akan sampai di rumah sakit,” cecar Dea yang merasa iba melihat orang di sampingnya tak berdaya.
Ketika sampai di rumah sakit, Toni langsung turun dan berlari meminta bantuan. Ada beberapa suster dan dokter yang mendorong kereta dorong.
Dea diberhentikan untuk mengisi administrasi agar pasien segera ditangani oleh pihak medis.
Setelah dokter memeriksa pria tua itu, ia memanggil Dea selaku wali dari pasien.
“Bu Dea, bisa ikut ke ruangan saya?” tanya Dokter itu.
“Bisa Dokter,” jawab Dea yang langsung mengikuti dokter laki-laki itu.
Di dalam ruangan Dea mendapatkan berbagai penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien.
“Jadi, Pak Hando menderita struk ringan dan komplikasi jantung? Dan sebagai wali saya harus menjaga emosi beliau agar tetap tenang?” ulang Dea setelah mendengarkan penjelasan yang panjang dari Dokter Richard.
“Iya, benar Bu,” koreksi Dokter Richard.
“Baiklah. Tapi... apakah Pak Hando bisa sembuh dari penyakit ini?” Perempuan itu benar-benar penasaran dengan kondisi teman lama ayahnya.
“Bisa Bu, tapi peluangnya tak besar. Ditambah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.” Dokter Richard menjelaskannya dengan penuh pengertian. Dea mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Setelah pembicaraan selesai, Dea segera kembali ke ruang Pak Hando. Dengan langkah yang gontai, ia memaksa tubuhnya yang lemah untuk tetap berjalan.
Ketika akan sampai di ruangan Pak Hando, tiba-tiba di pintu masuk terdapat keributan antara Toni dan lelaki asing yang tidak dikenali Dea.
Perempuan itu langsung berjalan cepat menghampiri supirnya.
“Kenapa kalian ribut di lorong rumah sakit!” sungut Dea yang tidak bisa menahan emosinya.