2

1845 Words
Jimin merebahkan tubuhnya di lantai ruang latihan sesaat setelah tubuhnya dirasa tidak sanggup lagi untuk melanjutkan. Bagaimana tidak ambruk setelah ia berlatih nyaris lima jam non stop. Jimin tau kini tubuhnya mencapai limit latihan untuk sesi pertama ini. Jimin tentu saja tidak berniat berhenti. Ia hanya beristirahat sejenak mungkin sekitar dua atau tiga jam sebelum melanjutkan lagi di sesi dua nanti.   Hari ini Jimin ingin menyempurnakan koreografi Serendipity yang akan ia tampilkan untuk pertama kalinya di konser dua bulan yang akan datang. Dan dalam waktu dua bulan ini Jimin harus bekerja keras menyempurnakan tarian dan juga nyanyiannya. Karena menari sambil menyanyi tidaklah mudah. Apalagi Jimin begitupun member lain akan benar-benar tampil live selama konser. Kesalahan kecil saja akan langsung terlihat dan terdengar. Jimin tidak ingin mengecewakan siapapun. Ya. Begitulah Choi Jimin. Lelaki yang selalu bekerja keras dalam apapun yang dia kerjakan. Bahkan terkadang karena terlalu bekerja keras, ia tidak memedulikan dirinya sendiri. Membuat member lain khawatir. Seperti saat HTS comeback dengan Blood, Sweet and Tears. Bagaimana Jimin muncul dengan berat badan yang turun drastis. Fans bahkan non fans ikut terpesona dengan penampilan Jimin yang semakin tampan. Tapi di balik itu, ada perjuangan dan penderitaan yang harus Jimin alami sendirian. Seperti ia pernah pingsan karena hanya makan benar satu kali dalam sepuluh hari sambil melakukan latihan dance. Member lain bahkan sudah tidak tau lagi bagaimana harus memberi tau Jimin kalau Jimin sudah sempurna apa adanya tanpa harus melakukan hal yang menyakiti diri sendiri seperti itu. Dan kalian tau apa? Jimin kembali menyalahkan dirinya sendiri karena sudah membuat member dan manager khawatir. Di saat seharusnya yang ia salahkan adalah orang-orang yang kerap memintanya menurunkan berat badan padahal tidak ada yang salah sama sekali dengan berat badannya. Untungnya Jimin berhenti melakukan diet yang tidak sehat itu dan mulai kembali menikmati hidupnya seperti biasa bersama member. Jimin mencari cara lain yang lebih sehat dan tidak menyakiti diri. Itu soal diet. Berbeda lagi dengan soal latihan dance dan vocal. Jimin bisa lebih gila lagi daripada itu. Jimin bahkan pernah latihan non stop selama dua belas jam sampai-sampai San dan Manager Sejin yang harus menyeretnya pulang dengan paksa dan melarang Jimin datang ke kantor selama dua hari untuk istirahat. Suara Jimin bahkan sudah serak hari itu karena terlalu banyak digunakan. Jimin kini tengah memejamkan mata, menikmati udara dingin yang menyentuh tubuhnya setelah dibasahi keringat karena latihan hari ini ketika mendengar suara pintu ruang latihan dibuka dan ditutup kembali. Lalu tak lama Jimin merasakan kehadiran orang tersebut berjongkok di dekatnya. Jimin membuka mata dan menemukan Hobeom sedang berjongkok di dekat Jimin sambil memandanginya. Jimin mengangkat tangan, menyapa hyungnya tersebut. "Hai, hyung. Kenapa belum kembali ke dorm?" Hobeom berdecak. Dialah yang harus menanyakan hal tersebut pada dongsaengnya itu. "Itu adalah kalimatku, Choi Jimin. Sedang apa kau masih di sini?" tanyanya agak tidak bersahabat. Mungkin karena kesal melihat lagi-lagi Jimin terlalu bekerja kelewat keras. "Latihan, hyung. Ini penampilan serendipity perdanaku. Aku tidak mau mengacaukan lagu yang banyak mendapatkan cinta dari ARMY. Aku ingin menampilkannya dengan sempurna." Hobeom menghela napas. Here we go again. "Jiminie..." Jimin langsung bangkit dari rebahannya dan menatap Hobeom dengan matanya yang kini sudah berbentuk bulan sabit karena tersenyum menggemaskan. "Hyung... aku tidak apa-apa. Aku tidak akan berlebihan kali ini ataupun melewati batas, janji!" Hobeom tidak tahan untuk tidak melayangkan tangannya pada rambut Jimin. Mengacak rambut adik yang usianya hanya terpaut setahun itu. "Kamu sudah bekerja keras, Jiminie, selalu. Istirahatlah sekarang." Jimin mengerucutkan bibirnya secara tidak sadar. Jimin ini selalu saja mengatakan dirinya tidak bisa aegyo padahal 70% dari dirinya berisi aegyo. Dan hal itulah yang membuat Jimin punya kharismanya sendiri. Jimin tidak berlaku imut karena diminta melainkan hal itu dilakukannya secara alami—bahkan seringnya ia tidak sadar sudah berlaku imut. Tetapi di lain sisi, Jimin tetap laki-laki gentleman yang bahkan diakui oleh hampir semua orang yang mengenalnya. Laki-laki yang selalu bersikap manis dan baik pada siapapun. Lelaki yang selalu mendahulukan orang lain di atas dirinya sendiri. Itulah mengapa Jimin disayang banyak orang. Terutama membernya. Akhirnya Jimin pun membereskan barang-barangnya untuk bersiap pulang sesuai perintah Hobeom. "Hyung sendiri tidak pulang?" tanyanya sambil memasang jaket. Hobeom menggeleng. "Aku harus bertemu Yoonjun hyung di Genius Lab. Katanya dia butuh bantuan soal lagu solonya. Entahlah. Hyung kali ini sangat lama menyelesaikan lagunya." Jimin mengangguk. "Sampaikan pada Yoonjun hyung dia sudah bekerja keras. Jangan terlalu memaksakan diri." Jimin berkata tanpa sadar kalau kata-kata tersebut juga seharusnya ia katakan pada dirinya sendiri. Hobeom tidak berkomentar lagi. Jimin memang selalu seperti itu. Memerhatikan orang lain hingga terkadang lupa untuk memperhatikan dirinya sendiri. ***   Aera akhirnya menghentikan pencariannya setelah hari mulai gelap. Lampu-lampu jalan dan pertokoan mulai dinyalakan dan trotoar semakin dipadati orang-orang yang baru pulang bekerja ataupun sekolah. Hampir semua akademi tari yang Aera kunjungi mengharuskan Aera membayar biaya pelatihan di muka. Dan jika Aera tidak juga mendapatkan pekerjaan paruh waktu, itu berarti Aera belum bisa mendaftar di akademi manapun. Ternyata menjadi penari tidak semudah pikirannya saat ia masih tinggal di Busan dulu. Saat keluarganya masih baik-baik saja, saat semuanya masih menjadi miliknya. Aera tidak banyak mengingat masa kecilnya sebelum ia pindah ke Kanada. Empat belas tahun bukanlah waktu singkat. Apalagi banyak kejadian dan kesulitan yang harus Aera hadapi selama ia di sana membuatnya perlahan mengikis kenangan masa lalunya. Hanya segelintir yang ia ingat. Salah satunya adalah menari. Dan bayangan seorang teman kecil yang selalu menari bersamanya. Tapi Aera tidak ingat pasti siapa sosok itu. Hanya saja, Aera merindukan semua memori masa kecilnya. Aera pun berbelok ke convenience store untuk makan malam karena perutnya sudah meraung minta diisi. Tetapi karena terlalu tenggelam dalam pemikirannya, Aera sampai tidak sadar jika ia berjalan ke arah orang yang tengah berjalan berlawan arah dengannya. Hingga akhirnya mereka berdua bertubrukan. Aera terjatuh ke belakang begitupun dengan orang yang gadis itu tabrak. Orang yang Aera tabrak adalah laki-laki muda yang mengenakan masker dan kepalanya tertutup topi berbentuk hewan. Siapa suruh malam-malam berjalan dengan keadaan demikian? Aneh. Tetapi Aera tidak menyuarakan pikirannya tentu saja. Lagipula ia merasa ikut bersalah karena tidak fokus. "Joseonghamnida!" Aera buru-buru mencoba membantu laki-laki itu berdiri yang kemudian ditolak secara halus.     "Maafkan saya, agasshi, saya tidak berjalan dengan benar." Laki-laki itu membungkuk. Aera salah tingkah, ia juga membungkuk memohon maaf. "Ah, maafkan saya juga. Saya juga tidak melihat ke depan tadi. Maafkan saya." Lelaki itu kemudian menurunkan maskernya. Wow. Aera akui lelaki ini memiliki wajah yang rupawan. Kenapa ya wajah setampan itu harus disembunyikan? Apakah lelaki ini artis? "Ah, apakah agasshi terluka?" tanyanya sambil memperhatikan Aera dari ujung kaki ke kepala. "Apa ada yang sakit?" Ya ampun. Sopan sekali ternyata orang-orang di Seoul ini, ya? Aera akhirnya menggeleng karena memang dia tidak merasakan sakit apapun di tubuhnya selain ngilu di b****g karena menyentuh jalanan yang langsung hilang dalam sekejap. "Tidak. Saya baik-baik saja. Bagaimana denganmu sendiri?" Lelaki itu tersenyum lega. "Uhm, sepertinya tulang ekorku ngilu sedikit. Tapi tidak parah. Aku sudah biasa jatuh dengan posisi seperti tadi." Aera mengernyit mendengarnya. Apa maksudnya lelaki itu sering menabrak orang? Melihat kebingungan di wajah Aera, lelaki itu buru-buru menjelaskan. "Maksudnya saat aku berlatih menari." Mata Aera membulat. "Kau penari?" Lelaki itu tersenyum penuh arti. "Bukan. Tapi aku trainee idol di salah satu agency. Ah, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Ahn Jaebin." Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Aera. Aera menerima jabatan tersebut. "Aku Lee Aera. Senang bertemu denganmu." Tentu saja itu hanya berbasa-basi. Entah bagaimana akhirnya mereka berdua melanjutkan obrolan dengan makan berhadapan di satu meja yang sama. Satu cup mie instan dan satu buah gimbap segitiga menjadi menu makan malamnya hari ini.          "Sepertinya tadi kau terlihat tertarik saat mengiraku seorang penari. Apakah kau penari?" tanya Ahn Jaebin sambil membuka kotak doshiraknya. Menu yang tentunya lebih mahal dari yang Aera makan.          "Ya. Tapi terakhir kali aku menari adalah sepuluh tahun yang lalu." "Dan apakah kau ingin memulainya lagi sekarang?" Aera menghentikan mengaduk bumbu pada mienya. "Kenapa kesannya aku sedang diinterogasi?" Gadis itu mengerutkan kening menatap Jaebin yang sedang menyuap potongan ayam. Lelaki itu justru tertawa. "Okay, maaf kalau kesannya aku jadi mengintrogasimu. Well, aku punya rekomendasi beberapa akademi tari di sini siapa tau kau mau." "Aku sudah berkeliling. Semuanya mewajibkan bayar di muka, Aku tidak punya biaya karena belum mendapat kerja." "Boleh aku tau berapa usiamu?" tanya Jaebin. Kali ini dengan nada hati-hati. Mengenai umur, biasanya wanita jauh lebih sensitif. "Kenapa aku harus memberitaumu?" "Apakah itu mengganggu?" "Yeah, it's quit rude." Aera memukul bibirnya yang masih sering menggumam dalam bahasa Inggris karena kebiasaannya selama di Kanada. "Ah, maksudku itu sedikit tidak sopan. " "Kau bisa berbahasa Inggris?" Kini fokus Jaebin sudah bukan lagi kepada katsunya melainkan sepenuhnya pada gadis di hadapannya. "Ah maaf. Aku bertanya umur karena aku ingin mengajakmu ke agencyku. Siapa tau kau mau ikut audisi, aku akan merekomendasikanmu pada sajangnim." Aera menatap balik Jaebin. "Kau bercanda. Siapa bilang aku ingin menjadi idol?" "Kau bilang kau tidak punya uang dan kau ingin menari. Kalau kau menjadi idol kau bisa menari sekaligus mendapatkan uang lebih banyak daripada hanya menjadi seorang penari latar." Aera terdiam, mencoba mencerna apa yang dikatakan Jaebin. Menjadi idol? "Kau perlu mendengar suaraku. Kau pasti akan menangis." Jaebin tak bisa lagi menahan tawanya. "Itu bisa dilatih. Kau pikir semua idol yang berseliweran di TV itu bisa menyanyi semua? Bahkan beberapa agency yang menyerah karena idol mereka tidak punya suara bagus bisa menutupnya hanya dengan lipsync dan fanservice. Dan boom! Mereka akan bertahan di dalam popularitas." "Apa gunanya bekerja dengan membohongi orang seperti itu?" tanya Aera tidak mengerti. "Kalau itu aku, aku tidak akan bahagia." "Ya. Itu yang aku pikirkan sebelum kerasnya kehidupan menempaku." Jaebin tersenyum. Lalu ia memotongkan potongan katsu dan meletakkannya di atas tutup cup mie milik Aera. Membaginya dengan gadis itu. "Kau akan mengerti suatu hari nanti." Aera tidak ingin memberitau Jaebin soal perjuangannya selama sepuluh tahun terakhir ini dimana ia harus dipaksa berhenti melakukan hal yang dia sukai karena harus bekerja paruh waktu membantu keluarganya. Aera hanya ingin memulai kembali kehidupannya dengan menjadi penari seperti mimpinya sejak kecil. "Apakah di agencymu tidak ada lowongan back dancer? Aku tidak peduli soal gaji. Yang penting aku bisa menari." Jaebin menghabiskan minumannya sebelum menjawab pertanyaan Aera. Lelaki itu meneguk habis air berperisa lemon itu hingga tandas. "Aku tidak yakin. Bagaimana kalau kau datang langsung ke agency dan bicara dengan sajangnim?" Aera tampak berpikir. "Kau yakin?" Jaebin mengangguk. "Tenang saja. Sajangnim kami orang yang baik. Perusahaan kami bukan perusahaan besar, gedungnya pun masih menyatu dengan beberapa perusahaan lain dan kami hanya punya satu lantai. Tidak banyak staff yang kami punya, bahkan terkadang kami para trainee ikut membantu pekerjaan para staff. Karena itu kami sudah seperti keluarga." Lelaki itu menjelaskan panjang lebar ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menyodorkan benda persegi panjang berwarna hitam itu ke arah Aera. "Berikan nomormu." Dengan setengah hati yang dipenuhi keraguan, Aera menuliskan nomornya di ponsel Jaebin. Dalam hati ia sedikit berharap ada kesempatan yang bisa ia dapatkan untuk meraih mimpinya lewat laki-laki bertudung di hadapannya saat ini. Aera mendorong kembali ponsel itu ke pemiliknya. Dengan cepat Jaebin menghubungi nomor Aera. "Itu nomorku. Hubungi aku saat kau yakin. Siapkan tarian terbaikmu." Jantung Aera berdegup. Siapkan tarian terbaik. Apakah ia benar-benar bisa kembali menari kali ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD