Tanpa Status

1086 Words
"Jadi kalian itu pacaran, nggak, sih, Cit?" Pertanyaan Hesty yang diungkapkan dengan nada tak sabaran itu tepat mengena di lubuk hati Citra. Dia tak tahu bagaimana akan menjawabnya. Ingin berbohong, tapi itu bukan penyelesaian. Kalau jujur, dia sendiri yang akan jadi bahan bullyan. Biarlah dia berpura-pura tak mendengar. Sembari menyeruput es kopi dalam kemasan yang akhir-akhir ini disukainya, Citra kembali fokus kepada layar laptop di hadapan. Sibuk mengetikkan angka-angka dari data di buku laporan mingguan untuk diarsipkan bersama hasil rekapitulasi produksi harian. "Yess, dicuekin!" seru Hesty akhirnya setelah beberapa saat hening meraja. Hanya terdengar bunyi klak-klik keyboard yang beradu dengan jemari Citra. "Belum jadian, Hes. Kami nggak pacaran," jawab Citra akhirnya. Bagaimanapun, ia sangat ingin mendengar pendapat Hesty mengenai hubungannya dengan Rendra–sang agen asuransi. "Hah? Jadi bener belum? Terus, kalau udah lama jalan tapi tanpa jadian itu kenapa, sih? Heran gak, kamu?" Hesty kembali berceramah. Mereka berdua adalah karyawan di bagian akunting di P.T. Bisco–sebuah perusahaan produksi makanan ringan besar di pusat kota Bandung. Siang itu, dalam ruangan divisi Akunting seluas 12x14 meter dengan interior bernuansa simple minimalis dan bercat putih bersih dengan lantai keramik warna krem gelap, hanya tinggal mereka berdua yang harus lembur di jam istirahat karena saatnya tutup buku akhir bulan. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Hesty untuk membahas hal yang telah lama mengganggu pikirannya mengenai nasib percintaan Citra–sang sahabat. "Ya udah, ngalir aja, gitu, Hes. Nggak pernah ada kata jadian memang. Tapi kan, kita udah jalan bareng ke mana-mana. Pulang pergi ngantor kalau pas bareng jamnya juga diantar jemput. Menurutku itu cukup. Mungkin aja dia emang tipe pria yang tidak mementingkan sebuah status," ucap Citra mencoba menjelaskan. Penjelasan seperti itu spontan mengundang kerut dalam di dahi Hesty yang mendengar. "Oh, ayo lah, Cit. Sadar! Nggak ada pria yang mencintai wanitanya tetapi tanpa memberikan kejelasan status hubungan," tukasnya membantah argumen Citra. Mendengar bantahan dari Hesty, Citra merasa apa yang dikatakan sahabatnya itu ada benarnya. Ia terdiam sambil masih berkutat dengan kegiatan input data laporan ke dalam tabel-tabel jurnal di layar. Karena tak mendapat jawaban, Hesty merasa harus melanjutkan perkataan, "Kamu harus pastikan ke Rendra tentang hubungan kalian. Minta dia kasih kejelasan. Jadi kamu nggak ragu lagi kalian ini mau ke arah mana sebenarnya." "Tapi ... kalau aku tanyain dia kayak gitu, jadi seperti aku yang ngejar-ngejar dia, dong, Hes?" elak Citra tak setuju. Mana boleh seorang gadis menyatakan duluan perasaannya dan bahkan mengajak jadian prianya? Gengsinya memprotes. "Kalau aku jauh lebih baik nekat menanyakan kejelasan daripada terang-terangan dibodohi dengan hanya disuguhi hubungan tanpa status kayak kamu sekarang, sih!" Tanpa ampun, Hesty memberikan gambaran lugas kepada Citra. "Gitu, ya, Hes? Menurutmu itu penting?" tanya Citra seraya berpikir dan menimbang-nimbang saran Hesty barusan. "Woiya penting banget, lah, Cit. Cari kejelasan, pokoknya! Nggak peduli apa pun hasilnya nanti, yang penting kamu tahu rencana dia akan bawa ke mana hubungan kalian." Kembali Hesty mengutarakan titahnya. "Oke lah. Nanti kutanyain," tukas Citra pasrah tanpa niat memprotes lagi. Ia rasa memang sudah saatnya. Rendra dan dirinya telah menjalin hubungan cukup lama, hampir sekitar setahun. Namun, pria itu tak pernah terang-terangan berkata mereka tengah pacaran. Awalnya Citra tak mempermasalahkan. Hanya saja, setelah Hesty menanyakan progres hubungan mereka, ia jadi kelabakan bagaimana menjelaskannya. Akhirnya di sore kemudian ketika ia pulang kerja dijemput seperti biasa oleh Rendra, Citra memberanikan diri untuk melaksanakan saran dari Hesty tadi. "Masa' Hesty tanyain aku kapan nikah, Ren. Hahaha, ada-ada aja itu anak," pancing Citra. Mereka sedang mampir di sebuah cafe tempat ia dan Rendra sering nongkrong biasanya. Rendra yang tengah menyeruput kopinya sedikit tersedak dan terbatuk-batuk. Tergopoh, Citra langsung berdiri dan menepuk-nepuk punggung pria bersetelan santai kemeja lengan pendek dan celana blue jeans itu. "Duh, maaf, maaf, sampai tersedak gitu, kamu," ucap Citra dengan nada sedikit menyesal. Ia kembali ke kursinya setelah mengulurkan beberapa lembar tissue dari atas meja untuk Rendra. "Memangnya apa maksud Hesty bertanya seperti itu, sih? Bikin kaget, aja." Jawaban Rendra meluncur begitu saja setelah pria itu mendapatkan kembali suaranya usai terbatuk tadi. Terperangah mendengar kalimat terakhir Rendra barusan, seketika ada sesuatu yang membuat panas mata Citra kini. Namun, dicobanya menahan perasaan dahulu sampai benar-benar terungkap jelas apa yang ingin diketahuinya. "Ya wajar, kan, dia tanya. Soalnya kan kita sudah lama berhubungan—" Belum selesai bicara, ucapannya sudah disela oleh Rendra. "Berhubungan apa, Citra? Kita cuma jalan biasa aja, kan? Dasar temen kamu, tuh! Ada-ada aja pikirannya." Rendra mengucapkan hal itu dengan entengnya. Seenteng mengabarkan bahwa bumi itu bulat dan bulan berputar mengelilinginya. Bagai tersiram seember air es, kenyataan segera menerjang kesadaran Citra dengan telak. Apa yang ditakutkan oleh Hesty kini terungkap. Benar kata Hesty bahwa Rendra tak ada niatan serius dengan hubungan mereka. Hesty sering berucap bahwa sikap Rendra padanya seperti hanya menganggap Citra sebagai teman kencan tetapi bukan sebagai pacar apalagi calon istri. Saat Hesty mengatakannya, Citra pasti langsung senewen dan mengungkapkan betapa romantis kisah mereka. Betapa mereka berdua menjalani banyak hal indah bersama. Dan bahwa Rendra kerap kali menghujaninya dengan perhatian-perhatian serta sikap seorang pria yang mencintai wanitanya. Dan apa yang didengarnya dari mulut Rendra barusan membuatnya tersadar. Seolah ia tengah ditarik dari alam mimpi ke tengah alam nyata di mana banyak hal justru berjalan tidak sesuai dengan apa yang ada dalam impian. "Cit? Kamu kenapa?" tanya Rendra menampakkan raut wajah cemas saat terlihat olehnya reaksi Citra yang baginya tampak aneh. Gadis yang saat itu mengenakan dress biru muda bergaris halus dengan aksen kerut di pinggang itu berwajah datar tetapi ekspresinya menampakkan seolah tengah menahan mual yang teramat sangat. "Kamu nggak enak badan?" tanyanya lagi untuk memastikan. Gegas pria dengan rambut cepak itu mencondongkan tubuhnya ke depan dan meraba dahi Citra untuk mengecek suhu tubuh gadis itu. "Aku nggak baik-baik aja, Ren. Aku shock dengan perkataanmu barusan!" tukas Citra akhirnya. Rendra memindai manik hitam Citra, meminta kejelasan perkataannya. "Lho? Shock kenapa emangnya?" Citra menggelengkan kepalanya dan menolak menjawab pertanyaan yang menurutnya sangat konyol itu. Dengan tak berkata apa pun lagi, gadis itu segera bangkit dari kursinya dan berlalu pergi dengan langkah cepat. Ya, diputuskannya untuk langsung pergi tanpa menoleh lagi kepada pria b******k yang selama ini dikiranya pacar itu! Hatinya begitu sesak. Rasanya sebuah tombak tajam tengah menusuk tepat di jantungnya. Bahkan matanya mulai menggelap dan udara dingin seketika menyergap. Oh, dia tak mungkin akan pingsan hanya karena telah mendengar fakta dari pria aneh itu, bukan? Gengsi dalam dirinya merebak. Tak akan dibiarkan dirinya tampak lemah dan hancur oleh ultimatum Rendra tadi. Kalau pria itu bilang mereka hanya jalan biasa aja, oke. Tak akan lagi ada istilah berdua dalam hubungan mereka, tekadnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD